Ini kelanjutan cerita Mia dan Rafa di novel author Dibalik Cadar Istriku.
Saat mengikuti acara amal kampus ternyata Mia di jebak oleh seorang pria dengan memberinya obat perangsang yang dicampurkan ke dalam minumannya.
Nahasnya Rafa juga tanpa sengaja meminum minuman yang dicampur obat perangsang itu.
Rafa yang menyadari ada yang tidak beres dengan minuman yang diminumnya seketika mengkhawatirkan keadaan Mia.
Dan benar saja, saat dirinya mencari keberadaan Mia, wanita itu hampir saja dilecehkan seseorang.
Namun, setelah Rafa berhasil menyelamatkan Mia, sesuatu yang tak terduga terjadi diantara mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Air mata wanita itu kembali berguguran. Terisak-isak memeluk putranya.
Tiga tamparan yang ia berikan pada Rafa adalah pertama kali dalam hidupnya ia lakukan.
"Maafkan Ibu."
"Jangan merasa bersalah, Bu. Bahkan kalau Ibu menghukum aku lebih dari itu, tidak apa-apa. Aku tidak bisa menjaga amanat Ibu. Aku kalah, Bu."
"Sudah, yang terjadi biar terjadi. Yang penting lain kali berhati-hati dan lebih jaga diri."
Joane muncul dari arah dapur dengan membawa kotak obat. Ia letakkan ke meja.
"Ayah, jangan sampai Yasmin dan Nayra tahu kejadian ini. Mereka pasti malu," pinta Rafa.
Joane mengangguk. Kejadian ini akan mereka tutup rapat-rapat demi kebaikan semua orang dan tentunya menjaga kehormatan Mia.
Rafa mendesis ketika Joane meraba beberapa luka lebam pada wajahnya.
Tulang hidung Rafa nyaris patah dihantam kerasnya kepalan tinju Brayn.
Rafa bahkan pasrah dan tidak melawan, padahal ia dan Brayn memiliki kemampuan bela diri yang setara.
Bahkan keduanya sama-sama pemegang sabuk hitam.
Andai Rafa melawan, mungkin kondisinya tidak separah sekarang.
"Apa tidak sebaiknya kita ke dokter?" tanya Joane, melihat luka lebam di wajah Rafa.
"Tidak usah. Nanti sembuh sendiri."
"Takutnya ada tulang yang retak."
Baru saja Joane akan mengoles cairan antiseptik, tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi.
Rina segera menuju pintu dan membukanya.
"Assalamualaikum, Bu," ucap Brayn, yang berdiri di ambang pintu.
"Walaikumsalam, Nak."
"Rafa ada, kan?"
"Ada, ayo masuk."
Rina melangkah lebih dulu dengan diikuti Brayn di belakang punggungnya.
Kemudian Joane dan Rina memilih masuk ke kamar. Membiarkan Rafa dan Brayn duduk berdua.
"Maaf," ucap Brayn, sambil mengoles obat ke bagian luka yang ia buat sendiri.
"Tidak apa-apa," jawab Rafa, sambil sesekali meringis pelan saat Brayn menekan kapas pada lukanya.
"Aku ke sini mau mengobati lukamu. Sekalian mau ambil sampel darah untuk bukti. Aku juga sudah mengambil sampel darahnya Mia."
Rafa mengangguk pelan.
"Maafkan aku. Aku sudah menghancurkan semuanya. Mia pasti membenciku."
Dalam sekejap bola mata Rafa berkaca-kaca. Rasa bersalah dan hina memenuhi hatinya.
Bahkan saat Brayn meninggalkan rumah setelah mengobati lukanya dan mengambil sampel darah, Rafa masih merenung seorang diri.
Menghabiskan waktu berjam-jam di kamar mandi.
"Astaghfirullah, Ya Allah." Ia menjerit dalam hati.
Entah iblis apa yang merasuki dirinya sampai melakukan dosa zina yang tak terampuni. Bagaimana ia bisa terpedaya dan kalah oleh nafsu sesaat.
Harapan untuk menghalalkan gadis kesayangannya dengan cara yang baik akhirnya hancur ketika ia sendiri yang telah merusak gadis yang paling dia jaga.
Sajadah membentang, bahkan ia merasa tidak pantas langi berdiri menghadap kiblat.
Air mata terus mengiringi setiap sujudnya.
**
**
"Menikahkan mereka adalah cara terbaik untuk menjaga aib ini, menjaga kehormatan Mia, dan menjaga marwahnya di hadapan keluarga kita," ucap Pak Vino.
Gilang mengangguk dengan hela napas berat.
"Aku tidak menyangka akan menikahkan anakku melalui jalan seperti ini, Vin. Sakit sekali rasanya," ucap Gilang dengan mata berkaca-kaca.
"Aku paham perasaanmu. Tapi, mereka tidak sepenuhnya bersalah dan kita tidak boleh menghakimi mereka."
"Ya, aku tahu itu."
"Ini memang salah, ini aib dan dosa besar. Tapi, andai tidak ditolong Rafa, mungkin Mia akan jatuh ke tangan orang yang salah dan tidak bertanggung jawab."
"Sekarang tinggal menunggu Mia bangun. Ya Allah, aku benar-benar tidak bisa bayangkan akan seperti apa dia saat terbangun nanti."
"Semoga dia kuat. Kita hanya perlu meyakinkan bahwa semua dalam keadaan baik dan kita tidak akan merendahkannya."
Gilang melirik angka yang tertera pada jam, kemudian melirik ke arah kamar putrinya yang berada tak jauh dari ruang tempat mereka duduk.
Lelaki itu segera berdiri, melangkah menuju kamar dan membuka pintu. Akan tetapi, di tempat tidur tidak terlihat Mia.
Suara gemercik air yang berasal dari kamar mandi mengalihkan perhatian Gilang. Ia segera mendekat dan mengetuk pintu.
"Mia, kamu di dalam, Nak?"
Tak ada sahutan, selain suara desiran air bercampur isak tangis.
Khawatir, Gilang mendorong pintu. Menatap ke dalam.
Hatinya seakan remuk melihat putrinya duduk telungkup memeluk lutut di bawah guyuran air. Menggigil kedinginan.
"Anakku...."
"Jangan sentuh aku, Ayah. Aku kotor."
Ia sesegukan.
"Tangan kalian akan ikut kotor kalau menyentuhku." Suara Mia terdengar lirih bercampur isak tangis.
Gilang menahan sesak di dada. Ia melangkah masuk dan berjongkok di hadapan putrinya.
Meskipun Mia terus menepis dan menolak disentuh, namun Gilang tetap mendekapnya sehingga tubuhnya ikut basah.
"Ayo, Nak. Kamu bisa sakit kalau seperti ini," bujuk Gilang.
"Biarkan aku di sini, Ayah. Aku mau mandi yang lama sampai nodanya hilang."
"Bukan seperti ini caranya. Ayo, kita bicara baik-baik. Tindakan seperti ini hanya akan memperburuk keadaan."
"Tidak ada keadaan yang lebih buruk dari ini, Ayah."
"Jangan berpikir seperti itu, Nak. Semua ada jalan keluarnya."
Khawatir Mia akan sakit, Pak Vino yang berada di ambang pintu kamar mandi segera masuk dan menutup aliran air dari shower.
Menarik jubah mandi dan membalutkan ke tubuh keponakannya.
"Mia kedinginan, cepat bawa dia keluar. Jangan sampai sakit."
Merasakan tubuh putrinya menggigil kedinginan, Gilang segera menggendongnya keluar dan mendudukkan di kursi.
Mengusap tubuhnya yang dingin dengan handuk.
Airin yang baru masuk menjadi sangat terkejut saat mendapati putrinya dalam keadaan basah kuyup.
"Ada apa dengan Mia, Mas?"
"Tenang, jangan panik. Tolong gantikan dulu pakaiannya. Dia kedinginan," pinta Gilang.
Menahan air mata, Airin mendekap tubuh lemah itu. Sementara Pak Vino dan Gilang keluar dari kamar.
Mempercayakan pada Airin untuk membujuk Mia.
"Sabar," ucap Pak Vino ketika Gilang duduk di sisinya setelah mengganti kemeja yang basah.
"Aku harus apa, Vin? Kamu tahu sendiri seperti apa Mia. Dia jauh lebih manja dan tidak sekuat saudaranya yang lain."
"Karena itulah kita harus bisa lebih bersabar untuknya. Tidak menghakimi atau merendahkannya. Jangan biarkan dia merasa sendiri."
"Ujian ini bukan hanya untuk Mia, tapi juga Airin. Dia yang merasa paling bersalah dan menganggap kejadian ini sebagai hukuman karena kesalahannya di masa lalu."
"Insyaallah semua yang terjadi dalam hidup manusia ada hikmahnya. Kadang memang sesuatu terasa menyakitkan, tapi tidak disangka itu malah yang terbaik."
Gilang mengangguk.
"Contohnya kejadian Mia sekarang. Aku tidak bisa bayangkan kalau tidak ada Rafa. Jika orang yang ingin menjebaknya berhasil, apa yang akan kita lakukan? Ya, walaupun kejadian ini tetap menjadi aib, tapi setidaknya orang itu adalah Rafa yang tidak akan lari dari tanggung jawab."
"Kamu benar."
Gilang dan Pak Vino masih duduk di ruang keluarga ketika Brayn tiba. Pak Vino menatap putranya yang terlihat cukup lelah.
Setelah mengobati luka Rafa dan mengambil sampel darah, Brayn meminta bantuan salah satu rekannya di rumah sakit yang bertugas di laboratorium untuk memeriksa sampel darah milik Mia dan Rafa.
Tak perlu menunggu lama, ia bisa mendapatkan hasilnya.
"Papa, aku membawa hasil tes lab sampel darahnya Mia dan Rafa," ucap pemuda itu sambil menjatuhkan diri di sofa.
"Bagaimana hasilnya?"
Brayn mengeluarkan selembar kertas dari amplop dan menggeser ke hadapan sang papa.
"Ucapan Rafa benar. Mereka dalam pengaruh obat."
*************
*************
jangan mudah terhasut mia
apa Mia GX tinggal bareng Rafa, terus Rafa gmana
tambah lagi thor..🙏😁🫣