Frisha Natalia, kabur dari rumah ketika dipaksa menikah dengan pria beristri, sebagai penebus hutang ayahnya. Di jalan, Frisha mengalami kecelakaan hingga mengakibatkan gadis itu lumpuh.
Clyton Xavier Sebastian, pria yang tidak sengaja menabraknya, bersedia bertanggung jawab memberi kompensasi dan menjamin pengobatannya.
Akan tetapi, Frisha menolak. Dia menuntut tanggung jawab dalam bentuk lain, yakni menikahinya.
Apakah Xavier, seorang CEO perusahaan besar, mau menerima pernikahan dengan wanita asing begitu saja? Ikuti kisahnya yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12. PENYELAMATAN
Senja mulai membentang langit di belahan bumi Palembang. Xavier yang tidak sabar dengan kinerja anak buahnya bergegas ke kantor Morgan.
Dengan langkah arogant, pria itu memasuki lobi kantor. Bahkan harus memukuli satpam saat mencegahnya masuk. Ia tak peduli dengan orang-orang yang kini tengah memusatkan perhatian padanya.
“Di mana ruangannya?” seru Xavier menarik kerah salah satu satpam yang dia hajar tadi.
“Ru—ruangan siapa, Tuan?” tanya satpam tersebut ketakutan.
“Morgan! Siapa lagi boss mu di sini?” seru Xavier tepat di depan wajah pria berseragam keamanan itu.
Satpam tersebut segera menunjukkan ruangan presdir. Xavier lalu membanting tubuh lelaki yang lebih pendek darinya itu.
Gemeletuk gigi Xavier terdengar dengan jelas, mata elang pria kekar itu menyalang penuh amarah. Kakinya melangkah dengan tegas lalu menendang pintu ruangan tersebut.
Di sana, Yogi sudah bersama sekretaris pribadi Morgan yang sedang duduk di meja kerja Morgan sembari mengakses komputer tuannya itu.
Yogi segera mengangguk ketika melihat sang boss ternyata sudah sampai di sana. Ia menegakkan punggung sembari menoleh pada sekretaris Morgan.
Xavier melenggang cepat dan berdiri di belakang gadis yang berpakaian sangat rapi itu. Matanya menilik pada layar komputer di hadapannya. Kemudian mengeluarkan sebuah dessert deagle dari saku jasnya dan menempelkan pada pelipis gadis itu. Gerakan gadis itu sontak terhenti, dengan mata mendelik dan jantung yang berlarian.
“Kau mau coba-coba mengelabuhi kami? Cepat katakan sekarang atau aku ledakkan kepalamu ini!” tandas Xavier dengan suara dinginnya.
“Tuan,” panggil Yogi khawatir.
“Sssstt! Aku butuh informasinya segera! Cepat katakan di mana bossmu sekarang!” Xavier semakin menekan pelipis gadis itu.
“Di Pulau Florist, Tuan,” sahut gadis itu dengan sekujur tubuh bergetar. “Be—beliau ada proyek penggalian minyak bumi di sana,” sambungnya lagi dengan jelas.
“Bawa dia, Yo!” titah Xavier kembali memasukkan senjata apinya, lalu bergegas keluar dari ruangan itu.
Langkah kakinya begitu panjang dan cepat. Ia menghubungi anak buahnya untuk mencari tahu letak Pulau Florist. Xavier juga meminta armada penerbangan untuk bersiap.
Setelah 30 menit penelusuran, mereka berhasil menemukan pulau tersebut. Tepat kedatangan Xavier di kantornya. Ia langsung masuk ke ruangan IT, di mana para bawahan hebatnya itu bekerja. Gemeletuk suara keyboard memecah keheningan dan ketegangan di ruangan dingin tersebut.
Xavier bisa melihat jelas lokasi pulau tersebut, layar yang begitu banyak membias di depan, kini menunjukkan setiap sudut lokasi pulau tersebut.
“Tuan, tidak ada lokasi untuk pendaratan pesawat,” lapor salah satunya.
“Siapkan helikopter!” tegas Xavier tanpa menoleh. Pandangannya fokus ke depan, meneliti satu per satu gambar. “Di mana saja titik lokasinya?” tanya Xavier.
Satu per satu dari mereka melaporkan titik lokasi. Apa saja yang ada di sana, jarak dan semua bangunan yang hanya ada beberapa.
“Sial!” desis Xavier menggeram dengan deru napas yang sangat kasar.
“Tuan, helikopter sudah siap take off!” lapor salah satu bawaannya.
“Hmmm! Kirim juga dua rombongan ke sana! Arahkan dan terus pantau!” ucap Xavier bergegas ke ruangannya.
Xavier bersiap, mengeluarkan semua perlengkapan dan juga senjata yang akan ia bawa. Dia juga mengenakan sabuk pengaman khusus dengan kualitas terbaik. Tak hanya itu, ia juga mengenakan sarung tangan dan perlengkapan lainnya untuk safety.
Gerakannya begitu cepat dan seperti sudah diperhitungkan. Xavier berlari memasuki lift untuk naik ke roof top di mana helikopter sudah bersiap menunggunya.
“Silakan, Tuan!” ucap para bawahannya serentak sembari membungkuk, ketika melihat kedatangan Xavier.
Detik itu juga, Xavier melesat terbang menuju pulau terpencil itu diikuti beberapa anak buahnya. Ia langsung mengenakan helm yang sudah terdapat alat komunikasinya, menyambungkan tali pada sabuk pengaman yang membelit tubuhnya.
“Turunkan tepat di atas bangunan yang paling besar. Aku yakin di sana tua bangka sialan itu berada,” tutur Xavier.
“Baik, Tuan!”
Sepanjang perjalanan Xavier meremas jari jemari tangannya. Dadanya bergemuruh tidak tenang. Ia takut jika Frisha kenapa-napa.
...\=\=\=\=000\=\=\=\=...
Langit mulai menggelap, hawa dingin semakin merambat permukaan kulit Frisha. Ia sama sekali tidak bergerak, masih di posisi yang sama sejak ditinggalkan oleh Morgan.
Makanan yang disiapkan lelaki itu bahkan tidak dilirik sedikit pun. Ia tidak tahu bagaimana nasibnya selanjutnya. Tidak berani berharap Xavier akan datang menyelamatkannya. Mengingat, sikap Xavier selama ini padanya begitu dingin dan tak acuh.
“Apakah hidupku memang akan berakhir tragis di sini? Tanpa ada seorang pun yang tahu kematianku nanti?” gumam Frisha masih menitikkan air mata.
Rambutnya yang tergerai dan menutupi wajah sama sekali tidak ia sibak. Frisha merasa putus asa dan sudah waktunya hidupnya berakhir.
“Mommy, apa kau akan mencariku? Apa kau akan merindukanku?” Frisha semakin menangis mengingat ibu mertuanya. Satu-satunya orang yang sangat peduli dan menyayanginya dengan tulus.
“Mungkin Xavier justru senang kehilangan aku. Dan mommy akan mendapat penggantiku yang jauh lebih baik dalam segala hal. Tidak menjadi beban sepertiku,” ucapnya di tengah isak tangisnya.
Derit pintu terbuka, Frisha enggan menoleh. Ia sudah tahu siapa yang akan menghampirinya. Tubuhnya menegang ketika langkah kaki Morgan semakin dekat.
Pria itu kemudian duduk di tepi ranjang, membelai rambut panjang Frisha dan menciumnya dalam-dalam. “Ahh! Wangi sekali!” gumam Morgan yang semakin merapatkan tubuhnya.
Jemari besar lelaki itu mulai meraba pipi Frisha yang membengkak akibat tamparannya tadi. "Oh, Sayang! Maafkan aku, sepertinya terlalu keras padamu," ucap Morgan berbisik di telinga Frisha.
Frisha merasa jijik disentuh oleh pria tua itu, bahkan kini tangannya semakin turun dan meraba bahu mulus gadis itu.
“Tuan, jangan lakukan itu! Aku sedang sakit! Aku mohon,” rintih gadis itu akhirnya bersuara. Frisha masih enggan menatap wajah itu.
“Begitu ya? Tapi, aku justru sangat tak sabar. Karena kamu tidak akan bisa melawan!” seringai Morgan lalu tertawa terbahak-bahak.
Jantung Frisha berdentum begitu hebat. Kedua tangannya mengepal dengan sangat kuat. Ia ingin mati saja saat ini.
Frisha menoleh dengan cepat, ia meraih gelas dan memecahkan ujungnya. Air pun sudah meleber ke mana-mana.
“Jangan sentuh aku!” ancam Frisha menodongkan pecahan gelas tersebut.
“Wow! Kau ingin melukaiku dengan itu, Cantik?” Morgan mencengkeram pergelangan tangan Frisha, melotot dengan tajam pada gadis itu. “Kekuatanmu tidak seberapa!” cibir Morgan tertawa mengejek.
Morgan merebut gelas itu lalu membuangnya. Pria itu menarik kedua tangan Frisha ke atas kepala. “Sudah cacat masih mencoba melawan kamu?” geram Morgan menampar pipi Frisha bergantian hingga sudut bibirnya mengeluarkna darah.
“Bunuh aku saja! Bunuh!” jerit Frisha.
“Oooh, kau mau menyusul ayahmu yang tidak berguna itu?” ujar Morgan merobek gaun yang dikenakan Frisha. Dada putih gadis itu tereskpose di depan Morgan membuat gejolak dalam tubuhnya semain menanjak.
“Jadi kamu yang telah membunuh ayahku? Brengsek! Bajingan! Pembunuh! Sekalian bunuh aku sekarang juga!” teriak Frisha menangis histeris. Tubuhnya berusaha memberontak, meski terasa sangat berat.
Morgan mulai menindihnya, masih mencengkeram kedua tangan Frisha. “Tentu saja, tapi ... setelah aku bisa menikmati tubuhmu yang sangat indah ini!” bisik lelaki itu.
“XAVIIIIEEERRR!!” jerit Frisha sekuat tenaga.
“PYAARRRR!”
Terdengar pecahan jendela yang menggelegar di kamar tersebut. Serpihannya berhamburan ke mana-mana.
Bersambung~
con; ketika panik, terburu2, kan gak mungkin memakai kata melenggang.
Melenggang itu lbh ke arah berjalan santai...
sdh terburu2 mosok pakai kata melenggang..
sungguh mantap sekali ✌️🌹🌹🌹
terus lah berkarya dan sehat selalu 😘😘