NovelToon NovelToon
Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Nagita Putri

Nathan memilih untuk menceraikan Elara, istrinya karena menyadari saat malam pertama mereka Elara tidak lagi suci.

Perempuan yang sangat ia cintai itu ternyata tidak menjaga kehormatannya, dan berakhir membuat Nathan menceraikan perempuan cantik itu. Namun bagi Elara ia tidak pernah tidur dengan siapapun, sampai akhirnya sebuah fakta terungkap.

Elara lupa dengan kejadian masa lalu yang membuatnya ditiduri oleh seorang pria, pertemuan itu terjadi ketika Elara sudah resmi bercerai dari Nathan. Pria terkenal kejam namun tampan itu mulai mengejar Elara dan terus menginginkan Elara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

****

Acara telah selesai. Musik perlahan memudar, tamu-tamu mulai keluar dari aula, dan pelayan sibuk membereskan gelas serta piring yang tersisa.

Marvin berjalan tenang menuju mobil hitam mewahnya, sementara Elara mengikuti di sampingnya.

Saat sopir membukakan pintu, Marvin justru mengangkat tangan.

“Tidak usah. Aku yang menyetir malam ini.” ucap Marvin.

Sopir menunduk patuh. Elara sempat melirik bingung, tapi ia tak berani bertanya banyak.

Mereka berdua masuk ke mobil, suasana hening cukup lama. Mesin menyala, lampu jalan menyinari wajah Marvin yang serius.

Beberapa menit hanya terdengar suara roda melaju di aspal. Elara menatap jendela, mencoba menenangkan pikirannya setelah pertemuan tak terduga dengan Nathan. Namun tiba-tiba, suara berat Marvin memecah keheningan.

“Pria itu… Nathan. Dia siapa sebenarnya?” tanya Marvin.

Elara sontak menoleh cepat, matanya sedikit melebar karena terkejut dengan pertanyaan itu.

“Tuan? Mengapa Anda menanyakan itu?” tanya Elara heran.

Marvin menatap lurus ke depan, ekspresinya datar.

“Aku hanya ingin tahu. Sikapmu berubah ketika melihatnya. Dan cara dia menatapmu bukan sekedar kenalan biasa.” ucap Marvin lagi.

Elara menarik napas, mencoba menguasai dirinya dalam menghadapi pertanyaan milik Marvin.

“Dia hanyalah, masa lalu. Tidak lebih dari itu.” balas Elara.

Marvin melirik sekilas, lalu kembali fokus pada jalan.

“Masa lalu yang membuatmu terlihat seperti sedang berperang dengan dirimu sendiri?” tanya Marvin.

Elara merasa tertekan, suara terdengar lebih pelan dari sebelumnya.

“Tuan, itu bukan urusan yang relevan dengan pekerjaan saya.” balas Elara.

Marvin terdiam beberapa saat, lalu tersenyum tipis.

“Kau benar. Tapi aku tetap ingin tahu. Aku punya hak, bukan sebagai atasan, tapi sebagai seseorang yang setiap hari menghabiskan waktu denganmu.” ucap Marvin entah mengapa jadi pengucap seperti itu.

Elara memandangnya heran. Marvin yang dingin dan tegas, tiba-tiba terdengar begitu personal.

“Nathan hanyalah kenalan lama. Tidak ada hubungan lagi antara saya dan dia.” lanjut Elara tetap menanggapi.

Marvin suaranya sedikit lebih rendah.

“Kau yakin?” tanya Marvin.

Elara menelan ludah, kedua tangannya menggenggam tas miliknya lebih erat.

“Saya yakin, Tuan. Tolong percayalah, dia hanya masa lalu yang tidak perlu digali lagi.” ucap Elara terus menjawab.

Marvin menghela napas pelan, lalu senyum samar terbit di wajahnya.

“Kau memiliki status tidak menikah di biodata kerjamu. Apa jangan-jangan dia…”

Ucapan Marvin terhenti ketika Elara, dengan suara bergetar namun tegas, memotongnya.

“Nathan mantan suami saya.” akhirnya Elara berucap jujur.

Mobil mendadak terasa lebih sunyi. Marvin menoleh sejenak, matanya seakan mempelajari wajah Elara. Senyum kecil yang tak biasa muncul di bibirnya.

“Mantan suami, oh.” singkat Marvin.

Elara menunduk, merasa kikuk.

“Ya. Saya tidak berniat menyembunyikan, hanya, tidak ada yang perlu diceritakan.” balas Elara.

Marvin mengangguk sekali, lalu mengembalikan pandangannya ke jalan.

“Jujur saja sejak awal. Aku hanya ingin tahu itu saja. Selebihnya, ya sudah.” ucap Marvin.

Elara mengerutkan kening, tak mengerti maksud ucapan itu.

“Maksud Anda?” tanya Elara tak paham.

Marvin menyalakan lampu sein, nada santai tapi misterius terdengar.

“Maksudku, aku tidak peduli apa pun masa lalumu. Yang penting bagaimana kau bekerja sekarang.” ucapan itu bahkan terkesan aneh.

Elara diam, menatapnya lekat. Ada ketenangan sekaligus kejanggalan di hati wanita itu. Marvin terdengar seakan cuek, tapi sikapnya sejak tadi jelas menunjukkan rasa ingin tahu yang lebih dari sekedar urusan pekerjaan.

Mobil melaju membelah jalanan kota. Elara menunduk, masih memikirkan arti senyum kecil Marvin.

'Mengapa ia ingin tahu sejauh itu? Bukankah baginya aku hanya sekretaris biasa? Dia semakin membuatku bingung dengan sikapnya.' ucap Elara membatin.

Marvin di balik kemudi, dengan senyum samar yang hanya sebentar terlihat, menyimpan pikirannya sendiri.

'Jujur dari awal memang lebih baik Elara.' ucap Marvin membatin.

Malam itu berakhir dengan penuh tanda tanya bagi Elara. Ia tak tahu apakah Marvin sekedar ingin tahu, atau ada sesuatu yang lebih tersembunyi di balik rasa penasarannya.

***

Keesokan harinya...

Pagi itu, kantor pusat Luther Corporation sudah ramai. Para karyawan berlalu-lalang dengan berkas di tangan.

Elara melangkah cepat menuju ruangannya yang terhubung langsung dengan ruangan Marvin.

Rambutnya dikuncir rapi, kemeja putih dan rok pensil hitam membuatnya tampak profesional. Namun dalam hatinya, bayangan percakapan pribadi semalam masih menghantui.

'Apa maksudnya dia berkata “ya sudah”? Apakah benar-benar hanya sekedar rasa ingin tahu, atau ada hal lain?' lagi-lagi Elara hanya bisa membatin.

Sesampainya di meja, Elara menyalakan laptop, menata beberapa berkas yang sudah ia siapkan sejak semalam. Ia mencoba fokus, meski perasaan canggung masih tersisa.

Pintu ruangan Marvin terbuka. Marvin masuk dengan langkah tegap, jas hitamnya jatuh sempurna di bahu. Tatapannya lurus tanpa ekspresi. Elara segera berdiri.

“Selamat pagi, Tuan Marvin.” sapa Elara.

Marvin singkat menjawab.

“Pagi.” balasnya.

Tanpa menoleh, Marvin masuk ke ruangannya, menutup pintu perlahan. Elara kembali duduk, berusaha menetralkan perasaan yang sempat berdebar karena sikap Marvin yang sulit di duga.

**

Beberapa menit kemudian.

Elara sedang sibuk mengetik laporan ketika pintu ruangan Marvin terbuka lagi. Pria itu keluar dengan membawa dua gelas kaca. Tanpa banyak bicara, ia meletakkan salah satunya di meja Elara.

“Cappuccino. Minumlah sebelum dingin.” ucap Marvin kembali mengejutkan Elara.

Elara terperangah, matanya melebar. Ia menoleh ke Marvin yang sudah hendak berbalik.

“Tu-Tuan… maksudnya, untuk saya?” tanya Elara.

Marvin melirik sekilas, tenang.

“Kalau bukan untukmu, lalu untuk siapa? Aku tidak minum dua sekaligus.” balas Marvin.

Elara tercekat, lalu segera meraih gelas itu dengan kikuk.

“Terima kasih, Tuan, tapi seharusnya saya yang menyiapkan untuk Anda, bukan sebaliknya.” balas Elara.

Marvin masih bersuara datar, tapi dengan nada yang cukup aneh. Ucapannya seperti bukan sosok Marvin biasanya.

“Anggap saja aku sedang tidak ingin repot. Tidak usah dipikirkan.” ucap Marvin tenang.

Marvin kembali masuk ke ruangannya. Elara menatap cappuccino itu lama, jari-jarinya menyentuh hangat gelas itu.

Elara berbisik pada dirinya sendiri.

“Ini sungguh aneh. Seorang atasan membuatkan kopi untuk sekretarisnya.” ucap Elara pelan.

Siang harinya, Marvin memanggil Elara untuk rapat kecil di ruangannya. Ia menyerahkan beberapa berkas, suaranya seperti biasa, tegas.

“Ini laporan keuangan cabang. Aku ingin kamu periksa ulang angka-angka ini, jangan ada kesalahan sekecil apa pun. Aku benci pekerjaan yang asal-asalan.” ucap Marvin.

Elara serius, ia mencatat.

“Baik, Tuan. Saya akan cek detail setiap bagian dan laporkan kembali sore ini.” ucap Elara.

Marvin menatap Elara dengan tajam seperti biasanya.

“Sore? Jam tiga sudah harus ada di mejaku. Bisa?” tanya Marvin.

Elara sedikit gugup tapi tetap menjawab.

“Bisa, Tuan.” balasnya.

Marvin menutup map, lalu bersandar di kursinya. Tatapannya sebentar jatuh pada Elara, tapi segera dialihkan ke layar komputer.

“Kalau begitu kau boleh keluar. Fokus pada pekerjaanmu.” ucap Marvin.

Elara mengangguk dan keluar.

'Dia bisa sangat keras dalam pekerjaan, tapi mengapa tadi pagi dia memberikan cappuccino padaku?' gumam Elara dalam hati.

Tepat pukul tiga kurang lima menit, Elara sudah berdiri di depan meja Marvin dengan laporan yang ia koreksi.

“Ini laporan yang sudah saya periksa ulang, Tuan. Semua angka sudah saya cocokkan dengan data asli.” ucap Elara.

Marvin menerima, membuka beberapa halaman dengan cepat. Alisnya sedikit terangkat.

“Tidak ada yang terlewat?” tanya Marvin.

“Tidak ada, Tuan. Saya memastikannya dua kali.” balas Elara.

Marvin menutup map, nada tenang ia berucap.

“Bagus. Itu yang kupinta.” ucap Marvin terdengar puas.

Elara menghela napas lega, lalu hendak mundur. Tapi Marvin memanggilnya lagi.

“Elara.” ucapnya.

Elara segera menoleh cepat.

“Ya, Tuan?” balas Elara.

Marvin melirik singkat, nada lebih pelan.

“Kopi tadi… bagaimana rasanya?” tanya Marvin cukup mengejutkan dan membuat Elara heran.

Elara bahkan sempat terpaku.

“Ma… maksud Anda cappuccino tadi pagi ya, Tuan?” tanya Elara.

Marvin mengangguk kecil.

“Hm. Aku tidak tanya basa-basi. Aku ingin tahu apakah sesuai seleramu?” tanya Marvin lagi.

Elara menelan ludah, tak menyangka ditanya begitu oleh Marvin.

“Ya, rasanya enak. Sebenarnya cukup mengejutkan. Saya tidak menyangka Tuan memperhatikan hal seperti itu.” ucap Elara.

Senyum samar muncul di sudut bibir Marvin, meski cepat sekali hilang.

“Sekretaris yang baik tidak boleh kehabisan tenaga. Kopi bisa membantumu tetap fokus. Itu saja alasannya.” ucap Marvin.

Elara mengangguk perlahan, walau di dalam hatinya ia semakin bingung.

Marvin mengibaskan tangannya, tanda bahwa Elara boleh pergi.

“Kembali bekerja.” ucap Marvin.

“Baik, Tuan.” balas Elara.

Sore saat jam pulang.

Elara berjalan keluar dari kantor dengan langkah pelan. Di tangannya masih terbayang gelas cappuccino pagi tadi. Sesuatu yang kecil, sederhana, tapi cukup membuatnya resah.

"Tuan Marvin sungguh sulit ditebak. Tegas, keras, dingin tapi kenapa ada sisi yang membuatku merasa diperhatikan?" gumam Elara tersenyum kecil.

Sementara itu, dari balik jendela kantornya di lantai atas, Marvin berdiri dengan kedua tangan di saku celananya, menatap punggung Elara yang menjauh, tentu saja melalui CCTV kantor.

Senyum tipis kembali terbit, hanya sebentar, lalu ia berbalik ke meja kerjanya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Bersambung…

1
Rasmi Linda
kau bodoh dia naksir kau
Jumiah
jangan kawatir lara kmu akan mendapatkan yg lebih baik dri sebelum x..
Tzuyu Twice: setuju
total 1 replies
Siti Hawa
aku mmpir thoor... dari awal aku baca, aku tertarik dengan ceritanya... semangat berkarya thoor👍💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!