Prolog :
Nama ku Anjani Tirtania Ganendra biasa di panggil Jani oleh keluarga dan teman-temanku. Sosok ku seperti tidak terlihat oleh orang lain, aku penyendiri dan pemalu. Merasa selalu membebani banyak orang dalam menjalani kehidupan ku selama ini.
Jangan tanya alasannya, semua terjadi begitu saja karena kehidupan nahas yang harus aku jalani sebagai takdir ku.
Bukan tidak berusaha keluar dari kubangan penuh penderitaan ini, segala cara yang aku lakukan rasanya tidak pernah menemukan titik terang untuk aku jadikan pijakan hidup yang lebih baik. Semua mengarah pada hal mengerikan lain yang sungguh aku tidak ingin menjalaninya.
Selamat menikmati perjalanan kisah ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Supir Baru
"Tebak siapa yang tadi datang ke rumah sakit." Pesan Glenn pada Bianca.
"Siapa? Jangan menggangguku Beb, aku sedang bersama Calvin." Balas Bianca yang memang sedang sangat sibuk sekarang.
"Aku tadi bertemu istrinya. Dia datang dengan temannya yang jatuh dari motor." Bianca menoleh ke arah Calvin dan kembali fokus pada obat-obatan yang dirinya sedang racik.
"Mana mungkin, Calvin mana mungkin membiarkan wanita miliknya berkeliaran sendirian ke rumah sakit. Apalagi dengan pria." Bianca penasaran meski dengan perasaan cemas.
"Apa lebih baik kita diam saja? Calvin pasti bisa membunuhku jika dia tahu." Bianca pernah ada di posisi suaminya dan di salahkan karena diam saja.
"Kau pasti salah lihat, dia tidak mungkin Anjani. Kau salah lihat." Mencoba menyadarkan suaminya yang pagi-pagi sudah membuat keributan.
"Aku merasakan yang sama awalnya, aku bahkan bertanya untuk memastikan itu dia."
"Benarkah? Kau mungkin kelelahan karena melakukan operasi tiga kali dalam sehari. Anjani tidak mungkin ada di sana Beb."
"Aku masih waras ya Bi. Mataku masih normal."
Bianca menatap Calvin yang sedang fokus dengan laptop nya. Menunggu vitamin yang sedang Bianca siapkan untuk perjalannya seminggu ke depan.
"Kenapa melihat ku seperti itu Dok." Bianca tersadar.
"Tidak ada, aku hanya memikirkan vitamin yang terbaik untuk kesehatan mu." Bianca tidak mau menyulut api. Tapi rasanya dirinya seperti sedang berkhianat.
"Kau juga harus resepkan vitamin untuk Jani. Dia suka makan dan minum sembarangan." Bianca mengangguk.
Sebaik ini Calvin jika sudah mencintai seorang wanita. Jani tidak seharusnya pagi-pagi begini berada di rumah sakit dengan laki-laki lain. Apa yang sudah mereka lakukan?.
Pengalaman pahit Calvin membuat Bianca tersulut emosi mengingat pesan yang baru saja dirinya terima.
Bianca meremas jemarinya sendiri cukup kuat.
"Bianca....hey....kenapa kau melamun sejak tadi." Bianca sedikit mendekat kan duduknya.
"Pak....apa kau benar-benar yakin dengan Jani? Apa kau yakin dia tidak akan mengkhianati mu? Apa kau yakin dia mau dengan mu bukan karena uang dan kekayaan?"
"Tiba-tiba Bi?" Calvin jarang sekali mendapat protes dari Bianca, dokter yang juga sahabat baiknya. “Ada apa sebenarnya?”
"Lupakan, aku lupa Glenn suka bercanda." Bianca berdiri dari duduknya.
Mencoba menghindar karena merasa bersalah sudah membuat pembicaraan tidak penting.
Dreettt…..drtttt……
"Aku memotret nya dari kejauhan."
Notifikasi pesan yang berhasil terbaca jelas oleh Calvin.
"Buka ponsel mu." Bianca menggeleng. "Jangan buat aku berteriak Bi. Biarkan aku baca sendiri pesan dari suami mu."
"Dia pasti salah orang Vin. Glenn suka menggodaku kan Vin."
"Aku bukan bocah kecil ya Bi. Cepat buka." Dengan terpaksa Bianca membuka pesan yang Calvin minta.
Calvin terdiam, Bianca mendekat meraih tangan Calvin yang terlihat sedang menahan emosinya.
“Kenapa sih buru-buru menikah Vin. Semua wanita yang tahu siapa dirimu akan sama saja Vin, mereka hanya mengejar kemewahan yang kau miliki.”
“Jani aku yang bawa Bi, aku yang memintanya menyetujui pernikahan ini. Aku bahkan bersikeras pada Langit agar membawakan ku wanita lugu yang mudah aku kendalikan.” Bianca menyesal membuat sahabatnya kembali terluka.
“Tapi kalau dia juga berkhianat kau harus mancari kemana lagi wanita lugu itu Vin.” Calvin sadar Bianca sedang menyesali semua yang terjadi dalam hidup nya.
“Mungkin aku harus mendidik nya agar jadi wanita lugu itu Bi. Kau tenang saja.”
Bianca menyeka sudut matanya yang basah.
Calvin yang dirinya kenal tidak seperti ini sifatnya. Dia mudah marah dan arogan, apa yang sudah merubahnya?
“Aku harus segera pergi, Langit dan Ara sudah menunggu ku di landasan.”
Bianca menghela nafasnya panjang. Sahabat nya sudah cukup pintar mengatur emosinya.
“Ara….ganti supir untuk Nona Jani, pilih yang tidak mudah di suruh-suruh Jani dan hanya patuh padaku.”
Ara yang ada di dalam helicopter mengernyitkan dahinya. Pesan tiba-tiba yang membuat dirinya harus bekerja keras mencari orang yang Calvin inginkan.
“Akan aku rekomendasikan beberapa orang. Tunggu tiga puluh menit Pak.”
“Sekarang, aku tidak mau menunggu selama itu.”
“Siap Pak.” Ara turun dari helicopter, menelpon ke sana ke mari mencari orang dengan kriteria yang Calvin sebutkan.
Tringggg……
Pesan masuk selang lima menit dari perintah yang Calvin kirimkan. Calvin membaca sekilas, ada dua kandidat yang menyita perhatiannya.
“Menurutmu Juan atau Kevin?” Pesan masuk ke ponsel Ara kembali.
“Juan lebih unggul dalam beberapa bidang di banding Karlo. Menurutku Juan pilihan yang tepat.” Balas Ara cepat, dia paling tahu Calvin tidak suka menunggu.
“Suruh dia jemput Jani pulang kuliah nanti. Jangan kemanapun tanpa ijin dan instruksi dari ku. Mutasi supir saat ini, beri pesangon yang cukup untuk kehidupannya di tempat baru.”
“Siap Pak.”
Setelahnya Calvin kembali bersiap-siap, pekerjaannya tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia memang sangat teliti, semua berkas yang Ara siapkan di periksa ulang dengan teliti.
Calvin paling tidak mau melakukan kesalahan dan membuat kerja kerasnya sia-sia. Hidup sebatang kara membuat Calvin kejam pada dirinya sendiri. Semua urusannya harus selesai tepat waktu agar tidak menyita waktu nya yang berharga.
Jani mondar mandir mencari supir pribadinya yang tidak juga nampak.
“Biasanya Pak Supir selalu menunggu Jani di sini kan.”
Gumamnya lirih.
“Nona….maaf menunggu lama, saya terjebak macet di belokan depan.” Jani menajamkan tatapan matanya.
“Sia..pa kau?” Tanya Jani heran.
“Aku Supir Nona.” Bicaranya lebih santai dan tampak masih sangat muda. “Dilarang menyebutkan nama.” Ujar Kevin mengingatkan Jani.
“Di mana Pak Supir yang sebelumnya?” Tanya Jani penasaran.
“Saya tidak tahu Nona, mari saya antar pulang.” Jani menurut, dia berjalan menuju mobil dan masuk ke dalam mobil tanpa protes.
Jani mulai overthinking, bisa jadi Pak Supir di ganti dengan supir yang baru ini.
Bagaimana kalau semua ini terjadi karena dirinya yang pagi tadi meminta Pak Supir mengantarnya ke rumah sakit. Tapi kan tidak ada yang tahu!
Jani pusing sendiri memikirkan semua yang bisa saja terjadi. Kesal dan bingung bercampur menjadi satu membuat Jani tegang.
Jani turun dari mobilnya dengan perasaan masih bercampur aduk dengan perasaan sedih. Menyalahkan dirinya sendiri karena membuat Pak Supir tidak lagi Nampak di sekitaran rumah besarnya.
Jani ingin sekali bertanya pada pegawai lain, tapi mereka semua selalu saja bilang tidak tahu. Jani harus berurusan dengan Kak Calvin jika seperti ini keadannya.
Sudah tengah malam, tapi Jani masih terjaga dan sulit sekali melupakan kejadian hari ini. Perasaan bersalah sampai membuat kepala nya berdenyut kesakitan. Jani turun dari kasurnya, mencoba mencari kotak obat yang tidak ada di manapun di sudut kamar nya.
“Minum ini saja, mungkin besok sudah sembuh sakit kepala ku.” Jani memijat mijat kepalanya yang sungguh nyeri dan menyiksa.
Apa aku cari tahu saja yah Pak Supir pergi ke mana? Tidak mungkin kan hanya karena kejadian pagi tadi dia di berhentikan? Apa mungkin Pak Supir sakit yah? Apa dia cuti dan pergi liburan?
Aakkkhhhhh……..
Jani mengusak kepalanya frustasi. Kesal sekali perasaan bersalahnya membuatnya sangat tersiksa sepanjang hari.
Jani bahkan tidak bisa memejamkan matanya karena penasaran dengan keadaan Pak Supir baik hati yang sekarang sudah di ganti orang lain.
Baru beberapa hari dirinya sudah berulah, sudah menyusahkan orang lain dan merugikan Kak Calvin yang sudah merawatnya dengan baik.
“Maaf Kak.” Jani tertidur di sofa, di ruang tengah yang tersambung dengan kamar utamanya yang sangat besar dan megah.