"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Janji dalam Sujud
Pagi itu, matahari menyinari langit Barru dengan sinar keemasan yang hangat, seolah menghapus luka lama dan menggantinya dengan harapan baru. Di halaman rumah peninggalan Mahfudz yang telah berubah menjadi tempat tahfidz, bendera putih berkibar perlahan tertiup angin. Di balik pintu rumah yang sederhana namun sarat makna itu, Aisyah mengenakan gaun putih berhias renda, dengan jilbab lembut yang membingkai wajahnya yang bersinar oleh cahaya iman dan kebahagiaan.
Hari ini adalah hari yang tak pernah ia bayangkan akan tiba seperti ini. Pernikahan bukan lagi hanya tentang penyatuan dua insan, tapi juga tentang penyembuhan dua jiwa yang terluka oleh sejarah yang panjang dan gelap. Namun kini, di hadapan para saksi dan malaikat langit, Aisyah dan Khaerul akan menyatukan hidup mereka dalam ikatan suci.
Tak banyak tamu yang hadir. Hanya keluarga terdekat, santri-santri kecil dari rumah tahfidz, dan beberapa warga yang selama ini mengikuti perjalanan mereka dari kejauhan. Namun suasana terasa lebih sakral dari pesta pernikahan megah manapun. Setiap tawa dan doa terasa tulus, setiap air mata bahagia mengandung sejarah yang panjang.
Aisyah duduk tenang di bawah pelaminan sederhana yang dihias oleh tangan-tangan relawan rumah tahfidz. Hatinya berdebar bukan karena gugup, tetapi karena haru yang tak mampu diucap dengan kata. Di sudut ruangan, terlihat mushaf tua milik ibunya diletakkan di atas meja kecil dengan lampu gantung yang menerangi lembarannya. Seolah Nuraini hadir menyaksikan hari bahagia putrinya.
Khaerul melangkah masuk dengan senyum meneduhkan. Jas putih yang dikenakannya kontras dengan kulitnya yang mulai kecokelatan karena aktivitas luar ruang selama membangun kembali rumah tahfidz. Namun tatapan matanya—tajam dan tenang—masih sama seperti saat pertama kali Aisyah melihatnya dari balik pagar masjid tua.
“Qabiltu nikahaha...”
Kata-kata ijab kabul mengalun pelan tapi mantap dari bibir Khaerul. Kalimat pendek itu mengguncang ruang dan hati semua yang hadir. Aisyah menunduk, air matanya mengalir perlahan. Sujud syukur pun ia lakukan saat para hadirin mengaminkan doa-doa panjang yang mengiringi pernikahan itu.
Malam harinya, mereka duduk berdua di teras rumah yang kini dihiasi lampu-lampu kecil menggantung. Angin membawa harum bunga melati yang ditanam kembali oleh Aisyah di taman kecil. Tangan Khaerul menggenggam tangan Aisyah. Tak ada kata. Hanya diam yang dipenuhi rasa syukur.
“Setelah semua badai, Allah memberi kita pelangi,” bisik Aisyah.
Khaerul menatap langit. “Tapi pelangi ini bukan tanda akhir. Ia adalah awal. Karena pernikahan ini bukan garis finis, tapi garis mulai.”
Aisyah mengangguk. “Dan kita akan berjalan bersisian, melangkah dalam iman.”
Mereka tak membicarakan romantisme dunia seperti film atau novel. Cinta mereka tumbuh dari akar yang dalam: penderitaan, ujian, keimanan, dan rahasia yang telah mereka pecahkan bersama. Kini cinta itu berbunga, tidak dengan gemerlap, tapi dengan ketenangan yang langka.
Beberapa hari setelah pernikahan, mereka menggelar syukuran kecil untuk anak-anak tahfidz. Khaerul duduk di depan, memberi ceramah ringan tentang keteguhan dan keikhlasan. Aisyah duduk di belakang bersama para ibu, sesekali melempar senyum yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya—senyum penuh makna.
Malam-malam mereka kini diisi dengan zikir dan saling belajar. Mushaf tua itu menjadi saksi setiap lembar hafalan yang mereka ulang bersama. Aisyah mulai menulis kembali, namun kali ini bukan catatan penuh kesedihan, melainkan kisah-kisah tentang cinta yang bertumbuh dalam cahaya iman.
Namun meski semua misteri telah terpecahkan, bayang-bayang masa lalu tidak benar-benar hilang. Beberapa kali mereka masih menerima ancaman tak dikenal. Sisa-sisa kekuasaan Pak Wahid yang belum bisa menerima kekalahan.
Namun berbeda dari dulu, kali ini mereka tak gentar. Mereka punya cinta. Mereka punya kebenaran. Dan yang terpenting, mereka punya Allah di barisan depan.
“Bersamamu, aku tak takut lagi,” kata Aisyah di suatu malam saat angin kembali berhembus keras.
Khaerul tersenyum dan membacakan ayat:
“Dan orang-orang yang berkata: Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka, (dan berkata): Janganlah kamu takut dan janganlah kamu bersedih hati...” (QS. Fussilat: 30)
Tangisan masa lalu telah digantikan oleh tawa dan doa. Rumah yang dulunya menyimpan rahasia kini menjadi tempat menumbuhkan harapan. Dan di balik setiap langkah, cinta mereka menjadi tali yang tidak hanya mengikat dua hati, tetapi juga menyambung nasab yang selama ini terputus.
Romansa mereka bukan romansa biasa. Tapi romansa yang lahir dari kehendak Ilahi, dibentuk oleh derita, diuji oleh rahasia, dan kini tumbuh dalam tanah bernama takdir.
Langit Barru malam itu bersih tanpa awan. Di pelataran rumah tahfidz, terdengar suara hafalan anak-anak yang dilantunkan perlahan.
Dan di dalam rumah, dua insan yang pernah hilang arah kini menemukan rumah sejati: dalam hati satu sama lain, dan dalam cinta yang bersujud.
Beberapa minggu berlalu sejak pernikahan mereka. Kegiatan rumah tahfidz makin semarak. Aisyah membuka kelas khusus bagi anak perempuan yang ingin belajar tajwid dan tafsir. Ia menyisipkan kisah-kisah perjuangannya sebagai ibrah, bukan untuk dikasihani, tapi agar mereka paham bahwa cahaya bisa muncul bahkan dari reruntuhan terdalam.
Sementara itu, Khaerul membentuk kelompok halaqah remaja masjid. Ia mengajak para pemuda untuk kembali ke masjid, bukan dengan ceramah yang menggurui, tapi dengan diskusi hangat dan pendekatan akrab. Bersama Aisyah, mereka membangun generasi baru yang tak hanya cerdas, tapi juga beriman dan berani.
“Cinta bukan hanya antara kita,” kata Khaerul suatu sore. “Tapi cinta ini harus menyebar. Menjadi rahmat untuk sekitar.”
Aisyah mengangguk sambil tersenyum. Mereka berdiri di teras, menyaksikan anak-anak berlarian di halaman dengan mushaf kecil di tangan. Hati mereka penuh. Bukan karena dunia yang dimiliki, tapi karena hidup yang kini punya makna lebih dalam dari sebelumnya.