Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.
Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Saat Waktu Berhenti di Antara Bayang"
Sore itu turun perlahan seperti kabar duka yang belum sempat diucapkan. Langit menggantung mendung, seolah menyembunyikan rahasia yang terlalu berat untuk dijelaskan. Angin bertiup pelan, seperti sedang berbisik pada daun-daun yang tak bisa menjawab. Hutan yang biasa tenang kini terasa asing, seakan sedang bersiap menjadi panggung untuk sesuatu yang tak bisa dihentikan. Tapi, jiwa-jiwa yang merindukan kebebasan tidak pernah benar-benar menyerah. Mereka hanya menunggu saat yang tepat untuk melangkah.
Di dalam perut bumi yang basah dan dingin—di sebuah goa sunyi—Johan sibuk. Tangannya cekatan membagi ransum makanan. Gerakannya cepat, namun tetap tenang. Seperti seseorang yang telah memikirkan semuanya jauh sebelum waktu menuntut keputusan. Parang demi parang ia serahkan, satu untuk kelompok kecil, tiga untuk kelompok besar. Senter-senter disortir, dibagi sesuai porsinya. Tidak ada yang berlebih, tidak ada yang terlewat. Ia tahu, benda-benda kecil itu bisa menjadi batas tipis antara selamat dan binasa.
Setelah briefing singkat, rencana pun diluncurkan. Tiga orang, satu kelompok kecil: Johan, Kalmi, dan Liana. Tugas mereka jelas—menjadi pengalih perhatian. Sementara kelompok besar yang dipimpin Imam tetap menunggu dalam gelap, memperhatikan dari kejauhan. Mereka hanya akan bergerak saat asap muncul, tanda yang telah disepakati.
“Baiklah, kami berangkat dulu, ya, Mam, Pak, semuanya,” kata Kalmi. Suaranya tak keras, tapi cukup untuk membuat semua mata menatapnya sejenak lebih lama.
“Hati-hati, ya kalian. Semoga segalanya berjalan sesuai rencana,” sahut Imam. Ia berdiri tegak, seperti pilar terakhir yang masih bertahan di tengah reruntuhan.
“Iya, kalian juga jaga diri,” Johan menambahkan sambil tersenyum tipis. Tangannya melambai, diikuti oleh Kalmi dan Liana. Di belakang mereka, doa-doa mengepul dalam diam. Tak semua doa butuh suara.
Mereka bertiga menapaki belantara.
Langkah pelan. Nafas teratur.
Tak ada suara selain desir semak yang disibak dan aliran sungai kecil yang mereka lintasi.
Waktu tak mereka hitung dengan jam.
Hanya lewat bayangan matahari, detak jantung, dan keheningan.
Dua jam berjalan.
Akhirnya mereka tiba.
Sebuah pohon besar berdiri di hadapan mereka.
Tegak. Tua. Tenang.
Akarnya menjalar seperti tangan-tangan purba yang menolak mati.
Di bawahnya—tak ada rumput.
Tanahnya bersih. Kering.
Seolah sedang menunggu sesuatu. Atau seseorang.
“Tempat ini cocok,” gumam Kalmi. Ia melihat sekeliling.
“Kalau api dinyalakan di sini, nggak bakal nyebar. Aman.”
Johan mengangguk.
Meneguk air dari botol, lalu langsung menyodorkannya ke Liana.
Dia tahu dia lebih haus. Tapi tak berkata apa-apa.
“Dan tempat ini juga cukup jauh dari jalur utama pelarian,” lanjut Johan. “Mereka bakal pikir kita lewat sini. Kita pancing ke sini.”
Liana tak banyak bicara. Tapi matanya sigap, membaca sekitar.
Tenang di luar, tapi pikirannya seperti pisau—tajam dan terus bergerak.
Kalmi berseru, sambil memutar badan.
“Oke, kita bagi tugas. Gue cari dedaunan kering, biar asapnya naik tebal. Kalian cari kayu. Yang kering juga. Yang banyak.”
Lalu ia menyengir.
Satu alis terangkat. Matanya melirik Johan.
Dan... mengedip. Nakal.
Johan menghela napas.
“Paham, Mi. Paham.”
Tangannya menjitak kepala Kalmi pelan.
“Jangan banyak gaya, bro. Fokus!”
Kalmi tertawa kecil, lalu berlari kecil ke arah rerimbunan.
Langkahnya ringan. Tapi matanya tetap waspada.
Liana mengambil langkah ke arah kanan.
Johan mengikutinya.
Langkah mereka pelan, tapi seirama.
“Kalmi matanya masih kedip-kedip ya?” tanya Liana polos, sambil menggendong tumpukan kayu di pelukannya.
“Efek pukulan Broto kemarin?”
Johan terkekeh. Suaranya pelan tapi tak bisa menyembunyikan geli.
“Mungkin. Nanti aku periksa, sekalian kasih plester.”
Liana melotot kecil.
“Jahat banget sih. Teman sakit malah ditertawain.”
“Lia… di kota, itu bentuk perhatian. Ditertawain dulu, baru ditolong.”
Nada Johan santai, seperti sedang menjelaskan budaya suku asing.
“Kau orang kota memang aneh,” gumam Liana, tapi bibirnya melengkung juga.
Ia tak benar-benar marah. Hanya pura-pura.
Johan tertawa lepas sekarang.
“Nanti kamu juga akan terbiasa. Atau… ikut aneh sekalian.”
Langkah mereka terus menapaki semak.
Ranting-ranting kering mereka kumpulkan dalam diam yang nyaman.
Langit mulai redup. Awan menggantung seperti rahasia.
Tak lama, mereka kembali ke titik api.
Kalmi sudah di sana.
Berjongkok di dekat tumpukan daun dan rumput kering, tangannya sibuk, matanya fokus.
Senyumnya muncul saat melihat mereka datang.
Tanpa banyak kata, Johan mengambil korek dan menyalakan api.
Lidah-lidah merah mulai menari, menjilat kayu dengan lembut.
Seolah tahu tugasnya: menjadi umpan.
Ia menumpuk lebih banyak daun kering di atas api.
Tak butuh waktu lama—
Asap tebal mengepul, naik ke langit.
Seperti kabar tak kasat mata yang dikirimkan diam-diam:
“Kami ada di sini.”
“Semoga mereka lihat ini,” ujar Kalmi pelan.
Tatapannya menembus asap, jauh ke balik hutan yang memeluk rahasia.
“Mereka pasti datang,” sahut Liana.
Penuh yakin, penuh percaya diri.
“Pengintai itu selalu nyisir sekitar ladang. Mereka bakal kira kita lagi istirahat di sini.”
“Semoga,” Kalmi mengangguk cepat.
Suaranya merapat ke perintah.
“Ayo… kita pergi sebelum mereka datang beneran.”
Tak ada yang membalas.
Mereka tahu waktu mereka tak banyak.
Langkah mereka meninggalkan api yang terus membara.
Di belakang, asap terus naik.
Bukan hanya tanda. Tapi juga jebakan.
Langit mulai gelap, waktu merambat ke angka lima. Mereka meninggalkan tempat itu. Baru berjalan tiga puluh menit, suara langkah-langkah mulai terdengar. Irama kaki menghantam tanah, daun-daun kering bergemerisik. Suara itu datang seperti mimpi buruk yang tak bisa dihindari.
“Tiarap,” bisik Johan. Tak ada ruang untuk ragu. Mereka segera menunduk di balik semak.
Dari celah dedaunan, terlihat rombongan bersenjata. Lima puluh orang. Langkah mereka cepat. Di barisan depan—Broto. Matanya liar, tubuhnya luka-luka, tapi auranya tetap menakutkan. Ia bukan hanya pemimpin. Ia adalah bencana yang bisa berjalan.
“Habisi mereka semua! Jangan ada yang lolos!” suaranya menggelegar.
Pasukan itu melaju ke arah asap. Tapi langkah Broto tiba-tiba berhenti. Kepalanya menoleh. Ia mengendus udara. Matanya menyipit.
“Tunggu. Ada yang aneh. Periksa sekitar sini. Ada yang bersembunyi.”
Anak buahnya langsung berpencar.
Kalmi melepas ranselnya. “Kalian tunggu di sini,” bisiknya.
“Mi, jangan,” cegah Johan. Suaranya hampir pecah.
“Percaya padaku. Kalau kita diam, mereka akan menemukan kita juga. Biarkan aku mengalihkan perhatian.”
Ia pergi perlahan, merayap seperti bayangan yang enggan menghilang. Jauh di depan, di balik pohon, Kalmi berdiri. Matanya menatap tajam. Dan tiba-tiba, ia berlari.
“Itu dia!” teriak salah satu dari mereka. “Tembak!”
Peluru menghujani hutan. Tapi Kalmi terus berlari. Tak menoleh, tak gentar. Tubuhnya meliuk di antara pepohonan, seperti angin yang menolak ditangkap.
“Kejar dia!” Broto meraung. Amarahnya pecah.
Di antara gemuruh tembakan dan langkah pengejar, Broto berhenti. Ia menatap ke depan, lalu mendesis pelan, “Benar. Ini hanya tipuan. Dia mengorbankan dirinya seorang agar yang lain bisa langsung lolos.”
Sementara itu, Johan dan Liana tetap tiarap. Mereka mendengar semuanya. Tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Hanya bisa berharap… bahwa keberanian satu orang hari ini cukup untuk menyelamatkan banyak yang lain.
Sementara itu, denting tembakan kian menjauh, perlahan memudar di balik rimbun pepohonan seperti mimpi buruk yang enggan berakhir. Johan dan Liana masih tiarap di balik semak-semak, tubuh mereka nyaris tak bergerak, namun di dada masing-masing, ada riuh yang tak bisa diredakan.
“Bagaimana ini, Jo? Apa Kalmi bisa selamat dari mereka?” bisik Liana, suaranya serupa desir angin yang membawa getir kekhawatiran.
Johan diam sesaat, menelan kalimat yang tak sanggup ia ungkap. “Aku juga khawatir, Lia,” jawabnya akhirnya, lirih. “Dia memilih menjadi umpan. Demi kita.”
Kata-kata itu menggantung di udara, seperti daun yang jatuh perlahan dari ranting, menabrak tanah tanpa suara. Tapi keduanya tahu, mereka tidak bisa diam terlalu lama. Diam adalah bahaya.
“Kita harus pergi. Sekarang. Semakin cepat, semakin besar peluang menyelamatkannya,” ucap Johan kemudian, setenang batu di dasar sungai, padahal hatinya remuk seperti riak yang tak pernah reda.
Setelah memastikan segalanya aman, mereka melangkah, menjauh dari tempat itu dengan jejak-jejak yang nyaris tak meninggalkan tanda. Langkah demi langkah, dalam sunyi yang penuh waspada.
Langit perlahan meluruhkan cahayanya. Jingga memudar menjadi abu, dan malam menelan segala rupa warna. Hutan Bukit Barisan menjelma menjadi lautan gelap, menggembok semua rahasia dalam diam dan bayang. Johan dan Liana terus berjalan, berbekal senter yang mulai meredup dan parang yang tak lagi setajam semangat mereka di awal.
“Jo, aku takut gelap…” suara Liana pecah, lirih dan getir, seolah baru saja mengoyak dirinya sendiri.
Johan menggenggam tangannya, perlahan. “Tenang… Aku di sini. Kamu tidak sendirian,” katanya. Suaranya tenang, tapi di balik ucapnya ada badai yang sedang ia redam sendiri.
Tiga jam berlalu. Waktu seakan lupa berjalan. Dan tiba-tiba—cahaya senter itu mati. Seperti nyawa terakhir yang padam. Hutan kini menjadi kegelapan yang sempurna. Seolah dunia telah menghilang, menyisakan mereka berdua, ditelan malam.
“Joooooo… aku takut…” seru Liana, nyaris menangis. Ketakutan itu nyata. Bahkan keberanian seorang gadis pedalaman pun punya batas.
Johan menggenggam tangannya lebih erat, menjadi jangkar dalam gelombang yang mengguncang. “Aku di sini, Lia,” ujarnya, pelan. Tapi ada sesuatu dalam genggaman itu. Sebuah rasa yang tak diundang. Hangat, namun menggetarkan.
Liana tak berkata apa-apa. Tapi matanya tak pernah lepas dari Johan. Jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan hanya karena gelap, tapi karena sesuatu yang ia sendiri tak mengerti. Mungkin, itulah kali pertama ia merasa ada yang benar-benar melindunginya.
Mereka terus meraba jalan, menyusuri kegelapan yang tak mengenal ampun. Hingga—
Sreeekk!
Liana tersandung akar pepohonan. Tubuhnya oleng, jatuh. Johan, yang masih menggenggam tangannya, ikut tertarik. Mereka terjerembab. Dalam sekejap, bibir mereka bersentuhan. Bukan karena niat, tapi karena takdir.
“Ma-ma-maaf, Lia… Aku tidak sengaja,” ucap Johan gugup, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen.
“Ti-tidak apa-apa… Ini salahku. Aku yang terjatuh,” balas Liana terbata, wajahnya merah meski malam tak membiarkan warna itu terlihat.
Mereka bangkit dalam diam. Canggung, tapi ada sesuatu yang tak lagi sama.
“Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan. Terlalu gelap,” ucap Johan pelan. “Kita istirahat di sini saja malam ini.”
Liana mengangguk.
Johan mulai mengumpulkan kayu kering. Cahaya api kecil akhirnya menyala, menerangi wajah mereka yang lelah namun masih menyimpan sisa rasa hangat yang aneh. Tenda didirikan. Angin malam menyelinap, membawa udara dingin, tapi hati mereka justru mulai menghangat.
Saat semuanya siap, Johan berkata, “Kamu bisa istirahat di dalam. Aku jaga di luar.”
“Kamu juga harus istirahat, Jo,” balas Liana.
Mereka masuk ke dalam tenda, memilih sisi berlawanan. Tapi hening itu seperti memiliki nyawa, merayap ke dalam hati mereka.
Johan menatap langit-langit tenda, tak bisa memejamkan mata. “Apa ini?” batinnya. “Sudah lama aku tidak merasa seperti ini. Gugup, hangat, dan… takut kehilangan.”
Ia menarik napas panjang. “Tapi tidak mungkin. Keysha… cintaku sudah lama pergi bersamanya. Tidak mungkin aku mencintai lagi…”
Namun, rasa itu tetap ada. Diam, tapi hidup.
Dan di sampingnya, Liana juga terpejam dalam resah yang sama. Tak berani menyentuh kenyataan, tapi juga tak mampu menolaknya.
Di malam hutan yang gelap, dua hati yang terluka mulai saling menyentuh. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan keheningan yang jujur.