Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Pria Merana
“Nin, tadi Prof. Baskoro bilang bimbingan kita di-reschedule. Beliau ada tugas luar,” begitu pesan yang ditulis oleh Alina–teman satu bimbingannya.
Anindya yang semula menyayangkan tidak bisa datang saat bimbingan, ternyata malah bimbingan berganti jadwal. “Syukurlah,” ucapnya merasa lega karena dia tidak merasa rugi sebab telah dilarang pergi.
Sekarang yang menjadi masalah adalah rasa bersalahnya pada ayah dari keponakannya ini. Sudah dua hari dia tidak keluar dari kamar si kembar karena rasa segan untuk bertemu dengan mantan kakak ipar.
Ranti yang selalu membawakan makanan dan minum untuk menantunya itu, “Tante, Mas Satya di rumah?” tanya dia dengan lirih dan ragu sebab sejak kemarin dia tidak mau bertemu atau bahkan menyebut nama pria itu.
“Satya belum pulang sejak kemarin, Nin,” jawab Ranti yang sedang membawakan nampan berisi makan siang.
“Sejak kami bertengkar?” tanya Anindya memastikan.
“Iya,” Ranti memvalidasi kekhawatiran Anindya.
“Kemana, Tan? Apa Mas Satya masih marah sama Anin? Padahal, bimbingannya juga gak jadi. Apa Anin perlu minta maaf supaya dia pulang?”
“Arsatya tidak suka diminta maafnya begitu saja, tapi Anin,”
Anindya menunggu kalimat Ranti yang terputus, wanita paruh baya itu lantas menjeda perkataannya dengan menggendong salah satu cucunya.
“Tapi apa, Tan?” tanya Anindya yang sudah menunggu.
“Hem, kalian kan sudah menikah. Bukan maksud Mama mencampuri urusan rumah tangga kalian, tapi, Mama belum pernah melihat kalian tidur seranjang. Jangan kan seranjang, sekamar saja tidak pernah. Anin tentu tahu kan apa yang harus dilakukan ketika sudah menjadi istri? Bukan sekadar menjadi ibu untuk si kembar, tapi juga istri untuk Arsatya,” ucap Ranti menasihati.
“Kami sepakat untuk tidak saling campur dulu, Tan. Maaf sebelumnya, Anin tidak mau membahas perihal itu terlebih dulu karena Anin tahu kalau Mas Satya masih kehilangan Kak Amelia, apalagi ini baru empat puluh hari sejak kepergiannya. Dan ada satu lain hal yang membuat kita sepakat untuk tidak bersama,” jawab Anindya tidak merasa kecil hati dengan pertanyaan sensitif itu.
“Ya, kamu benar,”
“Jadi, bagaimana membujuk Mas Satya supaya pulang dan memaafkanku, Tan?”
“Kirim saja pesan padanya supaya pulang, bilang saja malam ini ada pengajian 40 hari wafat istrinya.”
Malam hari, saat acara pengajian 40 hari setelah kepergiaan mendiang Amelia. Arsatya sudah duduk dan membaca doa bersama dengan para kyai, ustad, dan tetangga yang turut serta diundang untuk mendoakan.
Pria itu masih belum bisa melepaskan dengan ikhlas, beberapa kali saat surah yassin di bacakan oleh salah seorang ulama dengan tartil, dia mengusap air matanya dan sebelum tangisnya didapati oleh orang lain, dia menyingkir ke tempat yang lebih sepi untuk menumpahkan kerinduan pada mendiang istrinya.
Ranti lantas menyenggol lengan Anindya untuk menyusul suaminya lewat belakang. Melihat pria yang sedang menangis tersedu-sedu di tengah taman, membuatnya ikut menitikkan cairan bening dari matanya. Menyadari jika bukan hanya dirinya yang merasa kehilangan, bukan hanya dirinya yang mencintai sosok Amelia sedalam itu.
Arsatya menatap ke atas, matanya terpejam menghadap langit malam yang mendung tanpa bintang.
“Mas, kakakku sudah tenang di sana. InsyaAllah dia husnul khatimah sebab kepergiannya karena berjuang melahirkan dua buah hatinya. MasyaAllah. Tapi, dia pasti ikut sedih melihatmu yang sedih meratapi kepergiaannya,” ucap Anindya yang berjalan mendekat pada Arsatya yang berpegangan pada sandaran kursi besi yang berada di tengah taman.
Arsatya terkesiap mendengar suara yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Tanpa menoleh, dia menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong.
“Kak Amel pasti sedang berbahagia di sana melihat dua buah hatinya tumbuh dengan sehat bersama dengan ayahnya. Setahuku, kak Amel pernah berkata jika pernikahannya akan sempurna setelah kedua putri kembarnya terlahir. Kak Amelia menginginkan mereka dan kamu bahagia, Mas, bukan malah bersedih walaupun ditinggal pergi olehnya” ucap Anindya mencoba menghibur hati yang sedih itu.
“Kalau aku jadi Kak Amel, mungkin–”
“Diamlah, Anin! Kamu tidak tahu bagaimana rasanya jadi aku, apalah arti kebahagiaan jika dia pergi meninggalkanku. Apalah artinya anak-anak jika dia tidak ada di sini bersamaku,” ketus Arsatya menimpali ucapan Anindya.
Anindya terperanjak, “Astaghfirullah, Mas Satya. Kamu menyalahkan anak-anakmu yang sudah ditakdirkan terlahir itu?”
“Diam dan pergilah, jangan mencampuri urusanku!” sentak pria itu lantas meninggalkan Anindya seorang diri di tengah bangku taman.
Di tengah pintu belakang yang jauh, Ranti menggelengkan kepalanya sembari mengusap dadanya meminta Anindya bersabar atas sikap putranya. Namun, jelas, Anindya mengacungkan jempol kanannya memberitahukan jika dia baik-baik saja.
Anindya yang biasanya bersikap temperamental, kini seolah dia yang dituntut harus mengerti dan peka akan keadaan, situasi, dan kondisi pria yang sedang merana ditinggalkan kekasih hatinya.
...🦋🦋🦋...
Sabar ya, Anin...
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano