Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.
Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
Helen hanya bersikap biasa saja dan tetap melayani dengan muka datar.
“Mau pesan apa, Om?”
Helen tidak tahu harus memanggil apa, karena semua orang yang ada di dekatnya selalu dipanggil “Om” tanpa basa-basi.
Pria itu hanya tersenyum seakan meledek Helen, tapi Helen tidak peduli kalau pria itu menganggapnya ledekan.
Helen tidak mau cari ribut dan langsung membuat minuman yang menurutnya enak dan sesuai usia.
“Om, ini minumannya. Kalau tidak mau, nanti saya buat minuman lain.”
“Buatin saya minuman yang lain, karena saya belum ketemu minuman yang saya suka.”
Helen mulai berpikir, minuman seperti apa yang Om ini suka? Kenapa susah sekali memilih minuman yang cocok untuknya?
Pria itu yang menatap Helen saat membuat minuman untuk dirinya merasa terhibur. Ia tidak menyangka kalau wanita sekecil itu bisa pintar membuat minuman.
Tatapan pria itu membuat Helen tidak nyaman. Ia bingung, apakah ada yang aneh di wajahnya sampai-sampai pria itu terus menatapnya begitu?
Setelah membuat kurang lebih empat puluh minuman, tetap saja tidak ada yang cocok untuk pria itu.
Ini adalah tantangan yang sulit bagi Helen. Ia sadar harus banyak riset tentang minuman.
Tidak ada satu orang pun yang berani mendekat kepada pria itu, karena pria tersebut memiliki kekuasaan besar. Maka dari itu, tidak ada yang berani mengusiknya.
Helen pun mencoba mencari tahu minuman seperti apa yang disukai pria ini. Entah kenapa, mencari minuman kesukaannya terasa sangat sulit.
Namun, pria itu terus mengganggu Helen. Ia menyukai Helen, seolah sudah lama mengenalnya.
Pria itu terus memandang Helen, tapi Helen sama sekali tidak peduli, seolah ia memang tidak tahu siapa pria itu.
Pria itu merasa Helen seperti patung wanita dengan banyak pahatan, tak bisa menemukan satu cela pun darinya.
Ia terus menatap Helen yang sibuk membuat minuman, sampai sekretarisnya pun tidak bisa menghentikan bosnya.
Sekretarisnya berpikir, lebih baik bosnya seperti itu daripada mencari masalah. Setidaknya, ia bisa sedikit santai melihat bosnya sedang “bucin” pada wanita lain.
Setelah itu, Helen berpikir, mungkin ini minuman terakhir yang akan ia buat. Kalau pria itu masih tidak suka, ia akan angkat kaki dari tempat itu.
“Om, ini minuman terakhir dari saya. Kalau misalnya Om tetap tidak cocok, berarti Om memang tidak suka dengan minuman ini.”
Pria itu yang mendengar perkataan Helen hanya diam. Ia merasa harus membuat wanita itu bertahan, agar bisa terus menatapnya.
Setelah mencicipi minuman buatan Helen, pria itu langsung menyukainya dan mengambil minuman itu. Ia membayar semua minuman yang sudah dibuat Helen dengan kartu hitamnya.
Helen yang melihat kartu hitam itu tidak heran, karena sudah biasa orang di tempat itu membayar dengan kartu hitam—sesuatu yang nilainya tak terhingga.
Setelah selesai membayar, Helen ingin mengembalikan kartu itu, tapi pria tersebut sudah hilang, seolah tidak ingin dicari.
Helen bingung dan bertanya-tanya, ke mana pria itu pergi dan apa alasannya meninggalkannya begitu saja. Ia sudah mencoba mencari, tapi tidak ketemu.
Helen merasa kehilangan arah dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya diam.
“Aku simpan dulu deh, siapa tahu nanti ketemu lagi sama pria itu,” ucapnya pelan.
Saat Helen hendak ganti baju, temannya menghampirinya. Helen tetap santai seolah tidak melakukan kesalahan apa pun, meskipun sedang berganti pakaian.
“Helen, pria tadi itu siapa kamu?”
“Tidak tahu. Dia cuma customer doang. Kenapa? Lu naksir sama dia, ya? Kalau naksir, bilang aja. Siapa tahu nanti bisa jadi cinta, ya kan?”
Helen tidak peduli dengan pria mana pun, karena baginya semua pria sama seperti pamannya—tidak baik dan hanya menyukai wanita karena keinginan, bukan kebutuhan.
“Kalau gue deketin pria tadi, nggak apa-apa?”
“Ya, nggak apa-apa. Lakuin aja selama lu suka. Gue juga nggak punya hak buat ngelarang. Buat apa juga lu dengerin gue? Gue nggak mau lu jadi nggak nyaman sama gue nantinya.”
Helen lalu menatap pria yang ada di depannya. Walau pria itu tinggi, Helen tidak bisa menyalahkannya. Setelah itu, ia hanya diam sambil dipayungi oleh pria itu.
“Om, kenapa Om ada di sini? Oh ya, ini...” ucap Helen sambil merogoh isi tasnya.
Pria itu menahan tangan Helen, lalu mengecup punggung tangannya tanpa berkata apa-apa.
Helen hanya diam, seolah setuju diperlakukan seperti itu. Pria itu tersenyum kepadanya.
“Om, kartu Om ada sama saya. Ini silakan diambil. Saya tidak mau mengambil hak milik orang lain, walau Om kasih saya.”
“Saya tidak mau kamu kembalikan. Bagi saya itu untuk kamu. Ambil aja. Saya terlalu banyak, saya tidak mau menampung sampah.”
Helen yang mendengar itu hanya diam dan tersenyum. Dalam hati, ia merasa dirinya dianggap sampah oleh pria itu.
“Haha... kalau begitu, makasih untuk sampah ini, ya. Sampahnya sangat berharga, dan saya tidak akan meminta apa pun. Makasih, Om.”
“Kenapa tidak mau minta? Minta aja, nggak apa-apa. Saya bisa kasih kamu apa pun yang kamu butuhkan. Kamu percaya itu, kan?”
Helen merasa benar-benar tidak berguna di mata pria itu. Ia hanya bisa menghela napas tanpa berkata apa-apa.
“Maaf, Om. Saya nggak punya waktu buat meladeni Om. Saya orang sibuk, jadi maaf ya, Om.”
Saat Helen hendak pergi, pria itu menahan tangannya. Helen menatapnya dengan tatapan kosong.
Pria itu hanya diam, lalu tersenyum sambil menarik tangan Helen dan mengecupnya secara paksa, tanpa meminta persetujuannya.
Ia menganggap Helen pasti setuju dengan semua tindakannya. Maka dari itu, Helen tidak pernah menuntut apa pun, bahkan kepada keluarganya.
Helen merasa sejak dulu dirinya tidak pernah bisa memilih, jadi ia hanya memilih diam dan tidak peduli dengan jalan pikiran siapa pun.
Ia tetap berusaha tenang menghadapi pria itu, berpikir bahwa dengan kepala dingin, semuanya bisa diselesaikan.
“Om suka sama saya, apa gimana? Emang Om nggak takut suka sama wanita di bawah umur?”
“Kalau iya, kenapa? Kan saya bisa beli siapa aja. Emang kamu nggak ingat saya?”
Helen bingung mendengar kata-kata itu. Seingatnya, pria seperti ini pasti sudah menikah.
Ia juga merasa dirinya tidak menarik. Lantas, kenapa pria ini begitu penasaran dengannya, padahal ia tidak pernah mencoba menggoda siapa pun?
Helen mencoba pergi dari hadapan pria itu, tapi pria itu malah menahannya agar tidak pergi dari pandangannya.
“Kamu kenapa sih terus menghindar? Apa kamu nggak bisa jawab hal yang saya inginkan?”
Helen semakin bingung. Jawaban apa yang sebenarnya diinginkan pria itu? Dan kenapa dirinya yang harus menjadi orang yang dituju?
Pria itu mencoba menarik Helen masuk ke dalam mobilnya, tapi Helen menolak. Ia bingung apa sebenarnya yang pria itu inginkan darinya.
Helen menatap pria itu dengan kebingungan. Pria itu yang melihat tatapan itu menjadi mati kutu, tak bisa berkata apa-apa.
Sampai akhirnya, di dalam mobil... pria itu hilang kendali terhadap dirinya. Helen hanya diam, tanpa bisa berharap apa pun dari pria itu.