Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Catatan Keramat
Pria berambut hitam sedikit bergelombang itu mengusap hidung mancungnya dengan jari telunjuk, wajahnya terlihat serius menatapku. "Bisikan seperti apa? Apa yang kamu dengar?" tanyanya.
"Dia menyayangiku, ingin membawaku pergi ke dunianya, melindungi ku dari orang-orang yang berniat jahat padaku. Dia bilang dunianya sangat ramah padaku, aku permaisuri yang mereka tunggu ratusan tahun."
"Dia?" lirihnya. "Laki atau perempuan?" tanyanya ingin lebih detail.
"Keduanya."
"Dia terkadang menjadi mereka? Berapa usia si dia? Dan usia yang satunya?" tanyanya lagi.
Aku mengedipkan mata secara cepat.
Hanya dokter Sabil yang mengerti maksudku, sosok itu sering hadir dalam dua bagian. Kadang mereka datang secara bersamaan dengan wujud yang berbeda, seringkali sendiri dengan wujud pemuda tampan memakai pakaian kerajaan Padjajaran bersama macan putihnya yang sangat besar.
"Aku tidak tahu, dok." aku memalingkan wajah dari tatapannya yang intens, aku tidak ingin dia tahu seperti apa duniaku yang lain.
"Tidak apa-apa," jawabnya lembut. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, kakinya ia silangkan dengan tangan bertumpu pada pahanya.
"Sejak kapan itu terjadi Hania?" tanyanya lagi.
'Sejak mas Danu tidak lagi hangat padaku. Senyumnya palsu, kata-katanya seperti template yang diberi alarm pengingat agar aku tidak lebih dulu meninggalkannya. Sejak desahan wanita lain terdengar dari kamar pengantinku. Sejak mereka pergi meninggalkan hutang yang bertumpuk dan masalah yang mencekik leherku,' rintihanku dalam hati.
Aku menunduk dalam. Mulutku bungkam, hingga detik itu aku tidak ingin membuka masalah yang membuatku trauma pada siapapun. Andai saja aku bisa menukar ingatanku, mungkin hidupku akan baik-baik saja tanpa rasa sakit yang membelenggu.
"Oiya, Wina ada beri kamu tugas apa. Boleh aku lihat?" tanyanya.
"Tidak dok, tidak ada," dustaku.
Keheningan menggantung di udara. Agak lama.
"Kembali ke novel, kamu pernah buat genre romantis?" tanyanya mengalihkan kecanggungan yang hampir membuatku bungkam lagi.
Aku hanya mengangguk.
Dokter Sabil melirik jam di pergelangan tangannya. Ia membuka kakinya yang tadi bertumpu di atas kaki satunya. Sepertinya ia siap-siap akan visit ke ruangan lain. Aku sedikit lega, perlahan aku tarik napas dengan begitu dalam. Aku penuhi rongga dadaku dengan udara yang sudah bercampur aroma parfum dokter Sabil, sebanyaknya.
Aroma maskulin, sedikit aroma kayu cendana yang lembut dan aroma musk yang hangat memenuhi rongga hidungku.
Dokter Sabil menarik laci di meja samping kasur pasien. Ia mengeluarkan buku catatan yang setiap malam aku tulis sesuai arahan dokter Wina. Mataku terbelalak, tidak menyangka ia akan memeriksanya dengan teliti.
"Dok ... " cegah ku
"Saya harus tahu apa penyebab yang membuatmu relapse berulangkali," ucapnya. Nadanya rendah namun tidak menghakimi.
Ia membuka lembar demi lembar, wajahnya semakin serius setiap membuka lembaran yang seringkali ditemukan tulisannya sudah tercemar air mataku, tintanya bleber hingga kalimatnya tidak bisa terbaca. Tangannya menyentuh setiap kalimat yang tertulis di sana dengan hati-hati seperti menyentuh luka yang masih basah. Kulihat matanya dipenuhi kaca-kaca yang siap retak dan tumpah.
Seperti merasakan apa yang aku rasakan dari setiap kata yang tersusun di sana.
Aku memalingkan wajahku saat dokter Sabil mengangkat wajahnya menatap langit-langit ruangan. Menjaga agar airmatanya tidak jatuh membasahi buku catatan keramatku. Kudengar saat ia menarik napas disertai getaran, seperti menyimpan beban berat di dadanya. Entah rasa iba atau kesedihan lain yang ia rasakan dalam hidupnya.
Sekian menit kulihat matanya menatap jendela dengan tatapan kosong. Tidak lagi fokus dengan catatan keramatku. Jarinya memutar-mutar cincin emas putih yang melingkar di jari tengahnya.
"Terkadang, hidup bersama dengan seseorang yang tidak mau tahu kemeja favoritku juga melelahkan ... " ucap Sabil lirih, meluncur begitu saja.
Seperti bicara pada dirinya sendiri, tapi ia ingin aku tahu bahwa ia menyimpan beban yang berat, dia juga bisa lelah.
Aku menatapnya sekilas, takut ia risih dengan tatapanku. Aku tidak ingin tahu masalah pribadinya, tapi aku tahu apa yang ia rasakan.
"Hania, kamu hebat, kamu pasti bisa melewati ini semua."
Dokter Sabil berdiri perlahan, seakan enggan dan berat meninggalkan sesi wawancara. Ia masukan kembali catatan keramatku ke dalam laci. Ia berdiri lama di sampingku, kulihat tangannya terangkat seperti ingin menyentuh kepalaku. Tapi ia urungkan. Hanya desahan lembut yang terdengar di telingaku, desahan yang menyimpan luka.
...***...
Pagi belum begitu sempurna, suara pintu terbuka membangunkan dari tidur malamku yang panjang karena pengaruh obat obatan. Seorang suster masuk membawakan ku baju ganti dan satu pouch alat make up.
"Pagi Hania... Kaget ya pagi-pagi sus sudah masuk kamar kamu," ucap suster kepala.
"Engga sus, aku sudah bangun sejak subuh tadi. Sholat lalu membaca zikir sebentar," ucapku bergerak untuk duduk.
"Sus bawakan baju ganti, dan dokter Wina nitip alat make up untukmu. Hari ini kita ada seminar di gedung A, kalau kamu mau make up boleh lho. Ngga juga ngga apa-apa sih, karena kamu sudah cantik alami. Hari ini ada presentasi dari mahasiswa Trisakti. Nara sumbernya dokter Sabil dan seorang Artis penyintas Bipolar. Dokter Wina minta kamu jadi MC nya," tutur suster kepala.
"A—apaa ... MC?! A-aku ngga mau buk!" jawabku panik.
"Hania tenang ... nggak apa-apa kalau kamu nggak mau. Tapi semua pasien wajib hadir ya... " suster kepala langsung mengajak Hania berganti pakaian.
Lima belas menit berlalu...
Ini pertama kalinya aku keluar ruang rawat VIP. Di aula sudah berkumpul semua pasien yang ada di bangsal lain. Mereka bercampur dari berbagai kalangan. Ada ibu-ibu muda yang mengalami baby blues parah (postpartum depression), pasien adiksi yang menimpa anak-anak karena kecanduan game dan judi' online, bipolar dan banyak lagi.
Mereka saling melemparkan senyuman tulus. Meski banyak ketakutan di mata mereka, ucapan mereka seringkali banyak benarnya. Candaan dan tawa mereka lebih lepas tanpa sandiwara.
Kami duduk tertib di aula yang sudah di setting dengan baik. Para pembicara duduk menghadap kami. Kulihat dokter Sabil menatapku dari kejauhan, lama dan dalam. Aku mengalihkan pandanganku pada hal lain untuk menekan rasa gugup dan cemas saat berada di keramaian.
"Hania!" panggil Wina. Ia berlari kecil ke arahku. "Kita belum punya MC, kamu mau ya... Please!" ia menangkupkan tangannya di depan dada.
"Win, kamu ada-ada aja. Aku nggak bisa, Win!" tubuhku seketika menggigil kedinginan. Kakiku terasa lemas tidak kuat untuk berdiri, wajahku pias.
"Hei, tenang... Aku akan ada di sampingmu. Sedikit demi sedikit ketakutanmu harus dilawan. Tidak apa-apa salah dan tidak sempurna, kamu harus berlatih seperti dulu saat kamu baru memulai pidato Osis dan presentasi di kantormu yang megah."
Paling tidak enak jadi orang yang tidak enakan, mau menolak lidahku terasa kelu hingga tanpa bisa melawan dan menolak, Wina sudah memapah ku untuk menerima tawarannya. Aku sampai di pojok panggung, menghadap ratusan orang yang terdiri dari para dokter, mahasiswa Trisakti dan pasien. Wajahku tidak berani kuangkat, hanya fokus melihat kertas yang tulisannya tidak bisa ku baca, semua buram karena mataku diselimuti airmata.
"Rasakan adrenalin-nya, Hania. Anggap mereka semua bunga-bunga di taman cafe milikmu. Berwarna-warni dan kupu-kupu menari-nari di atasnya. Kamu hanya boleh fokus pada tulisan ini," ucap Wina seperti mantra.
Tidak sepenuhnya berhasil, namun aku merasakan kekuatan perlahan hadir. Kakiku tidak gemetar kencang seperti tadi.
"Selamat pagi Hania... semangat ya hari ini," sapa dokter Sabil dari kursi Narasumber seraya mengangkat tangannya yang mengepal. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kikuk.
Aku memulai dengan menyapa para audiens, seakan mengulang masa-masa berjaya aku dulu. Dimana rasa takut tidak pernah ada, semua tantangan aku hadapi dengan baik dan berusaha sempurna. Aku tahu mereka mendengar suaraku yang bergetar, tingkahku yang gugup, mataku yang tidak memiliki 'nyawa' tapi mereka menerimanya, mendengarkan. Itu sudah cukup bagiku.
Acara selesai, berjalan dengan baik dan lancar. Aku kembali ke bangsal dengan rasa sedikit berbeda, rasa percaya diriku perlahan tumbuh. Aku tersenyum dan menyapa para perawat yang berjaga di pintu masuk ruang VIP.
"Ka Hania ... Semangat ya, keren lho kaka mendadak jadi MC," seru perawat magang yang beberapa hari ini menjadi sahabatku.
"Terima kasih ya," jawabku malu.
Waktu bergerak, malam pun jatuh di jendela kamar ruang rawat inap ku. Aku menggelar sajadah dan bersiap mendirikan ibadah. Hatiku lebih tenang hari ini, ada sedikit semangat dan rasa percaya diri dalam diriku yang masih menyala. Selesai sholat, aku membuka handphoneku. Aku tuangkan suara-suara berisik di kepalaku, suaranya (Prabu Kamandaka) yang selalu menemani malam-malam ku. Ku jadikan sebuah cerita bergenre horor, Aku dan Titisan Raja Padjajaran.
Kusimpan dalam draft, seperti sebelumnya. Menumpuk seperti catatan usang sejarah peradaban.
Peringatan dari platfrom masuk, aku harus memposting tiga bab sekaligus karena terlalu lama absen. Komentar saling bersahutan, menginginkan cerita yang lebih lucu dan seru lagi. Kisah Tukul anak Nyonya Friska booming. Ratusan komentar membanjiri.
Berusaha fokus membuat cerita komedi lanjutan Tukul anak Nyonya Friska, membangun narasi yang bisa mengocok perut pembaca, beberapa kali tulisanku typo karena tanganku gemetar, serangan panik seringkali datang tanpa aba-aba.
Duniaku seperti badut. Sehancur apapun kamu, di luar kamu harus tetap menghibur, terlihat stabil dan baik-baik saja di balik riasan mencolok dan tersenyum.
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?