Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Begitu masuk ke rumah, Sera sedang mengintip dari jendela. Begitu melihatnya, perempuan itu langsung mendekat dengan alis terangkat.
“Eh, sepertinya ada yang beda, ya?” godanya sambil mengikuti Dasha ke kamar.
“Beda gimana?” Dasha membalas sambil mencari baju tidur di laci.
“Sejak aku kerja di Sheffield Corporation, belum pernah aku dengar Issa mengantar karyawan, apalagi sekretarisnya sampai ke dalam kompleks. Itu sesuatu banget, Sha. Ayo, ngaku!”
“Aku mau mandi dulu,” elak Dasha cepat.
“Oke, tapi aku tunggu di sini. Aku tidak akan pergi sebelum kau cerita. Aku bisa merasakan ada sesuatu,” kata Sera sambil duduk di kasur.
Dasha menghela napas dan masuk ke kamar mandi. Begitu selesai membersihkan diri, Sera masih duduk santai di kasur, bersila seperti pemilik kamar.
“Cepat cerita, bes. Aku siap mendengar!”
“Boleh tidak kalau aku telepon anak-anakku dulu?”
“Ah iya! Aku kangen Leo dan Lea! Telepon sekarang!”
Dasha tersenyum kecil lalu menekan nomor video call. Untung Levi sudah menyiapkan semuanya dan mengajari anak-anak cara menggunakannya. Dasha benar-benar berutang banyak padanya.
“Halo, sayangku!” sapa Dasha begitu wajah dua anak kembarnya muncul di layar.
“Halo, Mima! / Hai, Mima!” sahut keduanya serempak.
Sera langsung menyelipkan wajahnya di layar, “Halo, sayang-sayangku! Ini Tante Sera!”
“Hallo, Tante Sera!” jawab mereka kompak.
Sera menoleh ke Dasha, wajahnya sumringah. “Aduh, gemas banget anak-anakmu, Sha!”
“Tadi Paman Levi datang, Mima,” kata Leo. “Dia ajari kami cara pakai Ipad ini. Katanya dia mau menelepon Mima, tapi aku sempat menjawab duluan. Kudengar Mima sedang bicara dengan seseorang, jadi kubilang pada Paman Levi untuk menelepon nanti saja.”
Dasha tersenyum lembut. “Kalian suka dengan Ipad baru itu? Tenang, Mima belinya waktu diskon, tanya saja pada Tante Sera dan Paman Levi, mereka ikut waktu itu.”
“Ya! Ya! Aku suka banget!” Lea merebut Ipad dari saudaranya. “Terima kasih banyak, Mima! Aku cinta Mima sepenuh hati!”
Mereka bertiga mengobrol lama, tawa dan cerita mengalir tanpa henti. Waktu berjalan tanpa terasa, hingga Dasha sadar kedua anaknya mulai mengantuk.
“Sudah malam, sayang. Serahkan iPad ke Nenek supaya kalian bisa tidur, ya. Besok sekolah.”
“Baik, Mima. Selamat malam, kami cinta Mima! Jaga diri baik-baik!” sahut Leo dengan mata sayu.
“Aku juga cinta kalian. Selamat tidur, anak-anakku.” Ia mencium layar sebelum menutup panggilan.
Sera menatapnya lembut. “Kau punya anak-anak yang luar biasa. Sayang sekali ayah mereka menyia-nyiakan kesempatan untuk merasakan cinta sebesar itu.”
Dasha menoleh, tersenyum hambar. “Aku tahu.”
“Sudahlah. Aku juga lelah karena kebanyakan tersenyum lihat mereka. Besok saja kau cerita tentang yang tadi malam, ya? Tidur yang nyenyak!” kata Sera sambil berjalan keluar kamar.
Dasha terdiam lama. Kata-kata Sera terus bergema di kepalanya—tentang ayah anak-anaknya, tentang kesempatan yang hilang. Dadanya terasa sesak.
Ia tidur malam itu dengan berat di hati.
Maafkan aku.
**
Keesokan harinya di kantor, Dasha sedang sibuk di depan laptop ketika pintu lift terbuka. Ia menatap sekilas dan berharap tidak melakukannya.
Issa keluar dari lift, bersama seorang wanita cantik bergaun merah ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Sepatu hak tinggi hitam menambah kesan elegan dan mahal. Seluruh tampilannya berteriak kemewahan.
Dasha hanya bisa menatap mereka mendekat. Bodohnya!
“Batalkan semua rapat pagiku. Aku sibuk,” ujar Issa datar tanpa menatapnya. Sakit sekali rasanya.
“B-baik, Tuan,” jawabnya lirih. Baru saat itu Issa menatapnya sekilas dengan satu alis terangkat sebelum ditarik masuk ke ruangannya oleh wanita itu.
Pintu tertutup.
Dasha bersandar di kursinya, menatap kosong. Ia tahu, cepat atau lambat momen seperti ini akan datang, tapi ia tidak pernah siap menghadapinya.
Ia tak mendengar kabar gosip apa pun sejak minggu pertamanya bekerja. Tak pernah melihat hal seperti ini. Tapi sekarang semuanya nyata di depan mata.
Tentu saja. Issa seorang pria, dengan semua kebutuhan yang menyertainya.
Pintu ruangannya kembali terbuka. Rambut wanita itu sedikit berantakan, lipstiknya memudar. Dasha tahu betul apa artinya itu. Ia tidak bodoh.
Dan mereka melakukannya di kantor. Padahal Issa bisa saja menyewa hotel termewah di Roma, tapi entah mengapa tetap memilih ruangan kerjanya sendiri.
Dasha menunduk, menunggu sampai pintu lift tertutup kembali sebelum mengangkat kepala. Matanya terasa hangat. Basah.
“Jangan menangis, bodoh,” gumamnya pada diri sendiri.
Ia menarik napas panjang. Ia tidak boleh terhanyut oleh perasaannya. Ada dua anak yang menunggunya di rumah, menggantungkan masa depan padanya. Ia harus kuat, profesional, dan menjaga dirinya.
Benar, Dasha Graves. Kau melakukan semua ini demi anak-anakmu. Demi masa depan mereka. Demi kebahagiaan mereka, yang juga kebahagiaanmu.
Ia menyeka air mata, lalu melanjutkan pekerjaannya. Menangis tidak akan menghasilkan apa pun.
Ia memang terluka, tapi ia sadar ia tidak punya hak untuk marah.
Pertama, karena mereka memang tidak pernah benar-benar bersama.
Kedua, karena akulah yang pergi duluan, pikirnya lirih.