Misteri kematian Revano yang tidak pernah meninggalkan jejak, membuat gadis penderita ASPD tertantang menguak kebenaran yang selama bertahun-tahun ditutupi sebagai kasus bunuh diri.
Samudra High School dan pertemuannya bersama Khalil, menyeret pria itu pada isi pikiran yang rumit. Perjalanan melawan ego, pergolakan batin, pertaruhan nyawa. Pada ruang gelap kebenaran, apakah penyamarannya akan terungkap sebelum misinya selesai?
Siapa dalang dibalik kematian Revano, pantaskah seseorang mencurigai satu sama lain atas tuduhan tidak berdasar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu
Sedikit pergerakan merubah sudut pandang seseorang. Saat kamu tertawa, menunjukkan kesedihan, atau diam? Tidak ada yang benar-benar peduli, jika dia memang tidak peduli.
Hanya ada suara air yang mengalir pada kolam buatan di taman samping ruang makan. Sisanya sentuhan piring dan sendok yang menggema tidak sengaja. Pembahasan masuk akal apa yang akan jadi topiknya? Padahal semua yang dia lakukan sekarang tampak sebuah kepalsuan yang disengaja.
“Bagaimana sekolahmu?”
“Ada beberapa bagian yang masih terlihat dengan jelas”
Avram menghela napas, meletakkan sendok yang baru saja digunakan untuk menyuap makanan ke mulut. Menatap Aletha dengan penuh pertimbangan yang sebenarnya tidak perlu. Sementara gadis itu justru fokus pada makannya, menyisihkan sayuran hijau yang bercampur dengan wortel dan kembang kol.
“Bukan itu pembahasan yang ingin Mamah tanyakan padamu” tegur Avram.
Sementara Kasandra tersenyum, menegak segelas air putih yang tinggal setengah sebelum menatap bagaimana putrinya makan. Masih sama dan tidak akan berubah. Dengan pakaian hitam rapih dan cara duduk yang tegap, mengingatkan dengan dirinya ketika muda.
“Siapa namamu?”
Aletha menoleh pada sumber suara lembut yang kembali meraup kesunyian. Tak peduli Avram menggeleng karena drama yang anaknya sendiri ciptakan, seperti sudah tidak masuk akal.
“Aletha Waniwongso, anakku”
“Katakan saja yang perlu”
Kasandra menelungkupkan sendok yang ada dipiringnya, sebelum mengangkat kedua tangan untuk menyangga dagu tajam miliknya.
“Mau buat tindak kriminal apa lagi, sayang?”
“Menjijikkan, sepertinya aku tidak hidup saat itu”
“Semuanya sudah terjadi dan jadi masa lalu, seperti bagaimana kamu meludahi hidupmu kala itu, jadi stop bertidak kamu adalah badan intel atas kasus,”
“Kasus bunuh diri yang dia lakukan sendiri?”
Manik dingin itu merujuk pada tajam mata elang dihadapannya. Menyalurkan kebencian pada kemarahan yang sudah redam.
“Kita bicarakan hal lain saja, bagaimana konsultasimu bersama Dokter Utomo?”
Aletha menghela napas, kembali menyantap makan malam tanpa peduli kedua orang tuanya ternyata sudah menyelesaikannya lebih dulu. Konsultasi dengan psikiater adalah hal bodoh yang lagi dan lagi dia lakukan. Semasa hidupnya, bertemu dengan Dokter Utomo tidak masuk dalam daftar perjalanan hidupnya.
“Seperti biasa, dia bilang aku sudah gila”
Kasandra tersenyum, dia yakin anaknya hanya melebih-lebihkan atas penyampaian yang Dokter Utomo katakan padanya. Aletha memang seperti itu, sejak usianya menginjak tiga tahun dan mulai melakukan hal-hal bodoh. Tentu sebagian besar merugikan orang disekitarnya, pernyataan bahwa dia sudah gila adalah yang sering dia dengar. Bahkan setelah berulang kali berganti psikiater saja, anggapan tentang penyakit mental yang mereka sampaikan masih di terima bahwa dia hidup sebagai gadis yang gila, bagi Aletha.
“Gangguan mental itu bukan aib”
“Sudah berapa kali dokter mengatakan hal itu? Lagi pula saya hanya akan buang-buang waktu kalau hanya itu yang ingin dokter katakan”
Dokter Utomo tahu betul bagaimana cara interaksi Aletha jauh berbeda dengan anak pengidap gangguan mental lainnya. Seperti sesi konsultasi yang ada setiap minggu hanyalah waktu yang sia-sia. Ungkapan yang Dokter berikan hanya sebatas bualan.
Antisocial Personality Disorder atau gangguan kepribadian antisosial bukan hal yang remeh dan Aletha selalu menunjukkan segala gejalanya setiap kali menceritakan apa yang dia rasakan. Pola perilaku konsisten mengabaikan perasaan orang lain, seringkali tidak menunjukkan penyesalan atau rasa bersalah atas tindakan bodohnya, dan memanipulasi atau bersikap kejam pada orang lain.
Dokter menggeser gelas yang ada dihadapannya, membuat gadis itu semakin bosan dengan kegiatannya sore ini. Dia hanya butuh pulang dan merencanakan apa yang ingin terlaksana esok hari.
“Sedikit pergerakan merubah sudut pandang seseorang”
“Dokter sedang tidak membicarakan pergeseran gelas itu kan?”
“Apa rekam jejak itu masih jelas?”
Aletha mengerjab. Memikirkan rencana terbaik untuk bisa dunia lihat bahwa tindakan yang dia ambil adalah keputusan emas, walau sebenarnya dia juga tidak butuh validasi. Tapi baginya memecahkan masalah dengan caranya sendiri dan gagal, jauh lebih mengesakan dari pada diam.
“Dia menatapku seperti aku sudah gila,”
“Bukan gila, dia hanya sudah tahu kamu butuh bantuan”
Avram menghela napas, lagi dan lagi. Tak habis pikir dengan anak ajaib yang lahir dikeluarganya. Selalu menciptakan pertanyaan atau pernyataan yang tidak pantas di anak seusianya.
“Dengan mengintimidasi? Aku pikir keputusan dia masuk ke sana adalah hal bagus yang bisa aku ikuti, aku yakin setelah ini aku yang akan dibunuh, atau seminggu setelahnya mereka akan menyesal”
“Mamah tidak tahu serial apa yang baru saja kamu tonton, tapi sudah cukup!”
Aletha dan Avram terdiam pada rahang yang mengeras dan picingan mata satu sama lain saling beradu. Hanya ada ketegangan dibalik ketegangan.
“Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, tapi kamu harus tahu kalau Mamah dan Papah sudah tidak ingin membantumu”
Aletha sejenak diam, beranjak dari tempat duduknya untuk meninggalkan Avram dan Kasandra. Wanita paruh baya itu memijat pelipisnya, menghadapi anak perempuan seperti Aletha bukanlah hal yang dia bayangkan sebelumnya. Seperti bercermin dengan dirinya dimasa lalu, namun kali ini lebih parah. Seperti kaca yang pecah karena benturan kerikil dengan kecepatan tinggi. Di tambalpun akan tetap terlihat kerusakannya dan serpihan yang hilang juga tidak akan ditemukan dengan lengkap.
Sementara Avrem tetap berusaha tenang. Sudah bukan hal yang patut ditakuti atau dipusingkan jika hal bodoh terus Aletha lakukan. Namun kali ini, rasanya keputusan untuk kembali datang pada ranah ini akan membuatnya dalam masalah lebih besar dari sebelumnya.
Aletha terdiam, menatap gelap malam dari pintu kaca balkonnya. Sesekali mengintai pejalan kaki yang berkeliaran atau beberapa motor dan mobil yang masih beroperasi. Langkah yang dia ambil saat ini bukanlah yang menurutnya salah, bukan cuman sekedar tantangan seperti yang sempat ada dalam angannya saat umur lima tahun. Justru pembuktian agar semua orang membuka mata bahwa dunia itu tidak cuman tidak ramah untuk orang dewasa, juga untuk anak kecil bahkan anak yang mengaku dewasa padahal jiwanya menolak untuk tumbuh.
“Seperti pedang yang tertusuk pada langit-langit mulut Basilisk, akan jauh lebih kejam penghakiman yang kalian dapat”
Aletha menghela napas, mengusap wajahnya lantas menyapu rambutnya lebih bertenaga. Menumpahkan emosi pada erangan kekesalan yang menghantuinya selama ini. Gadis itu murka, tapi tidak bisa marah. Dia hancur tapi tidak benar-benar lebur. Dia kesal tapi rasanya percumanh jika alam semesta harus tahu dan menganggapnya semakin gila.
“Kamu dibebaskan”
Gadis itu mendongak, menatap seorang penjaga cell membuka pintu jeruji besi dengan kunci yang selalu tergelantung pada ikat pinggangnya. Menatap nanar pada sang petugas, Aletha hanya baru bisa bernapas sedikit lebih lega, saat justru semua udara diraup kekuasaan.
“Tidak ada bukti yang valid tentang pembunuhan yang kamu lakukan”
Aletha menatap kedua orang tuanya yang sudah bersimbah air mata. Sesak yang kali ini terasa jauh lebih menyiksa dari saat kematian Kakaknya atau saat pendakwaan yang tiba-tiba. Aletha bisa lihat bagaimana Kasandra berlari memeluknya dengan erat, lantas bersaut dengan Avrem.
“Maafkan kita, sayang”
Aletha hanya diam. Lagi pula, apa yang perlu dimaafkan saat jurstu dirinyalah yang memulai untuk ada pada situasi yang tidak mereka setujui?
“Sayang”
Aletha berbalik, menyaksikan Kasandra yang baru memulai duduk pada meja belajar milik anak perempuannya. Menatap sebuah laptop yang masih menyala bertengger disana dan coretan teori gila yang anaknya sendiri ciptakan. Melihat semua yang tertempel didinding, baginya bukan sebuah keseriusan untuk percaya. Bahwa anaknya yang baru ingin memasuki umur tujuh belas tahun meniptakan teroi-teori gila.
Kasandra menelan ludahnya susah payah, kembali menoleh pada Aletha yang sudah lebih dulu kembali pada pandangan awal.
“Apa yang kamu mau?”
“Keadilan”
“Bicara soal keadilan, dunia nggak akan bisa kasih kamu itu. Berapa kali Mamah dan Papah harus bilang sama kamu?”
“Berapa kali juga aku harus minta kalian untuk nggak ketemuin aku lagi sama Dokter Utomo?”
Kasandra sejenak diam. Mengabaikan bagaimana benang merah yang tersusun sempurna pada papan tulis. Menghapus semua kebodohan yang kian lama terlihat nyata.
“Listen! Kamu nggak gila atau apapun yang orang lain bilang tentang kamu, kamu cuman beda. Lihat semua yang ada disini”
Aletha masih diam di tempatnya. Tak peduli dengan Kasandra yang menunjuk semua ‘kejeniusan’ yang ada diruangan ini. Ruangan dingin dengan funitur yang Avrem bilang, lebih horror dari serial drama pembunuh berantai yang dulu sempat mereka tonton bersama. Kepingan puzzle yang tersusun rapih, hanya masih belum lengkap saja.
“Ini semua sempurna, kamu luar biasa”
“Lebih baik Mamah pergi dari pada ngasih aku motivasi yang nggak penting” kali ini Aletha berbalik, membereskan semua kertas yang berserakan dilantai. Menjadikannya pada satu kotak yang memang dia sengaja untuk menampung segala ide gilanya. Pandangan mereka saling temu, menyalurkan sihir yang entah dipercaya semua orang atau tidak. Bahwa kenyataannya, Aletha yang sekarang adalah Kasandra dimasa lalu. Tatapan dingin dan penuh kemisteriusan, rasa sakit yang tidak pernah bisa terungkap dengan sembarangan, senyum yang harus dunia tahu tidak ada yang bisa membuat itu.
Aletha adalah Kasandra dengan versi yang lebih, jenius.
“Baiklah”
To Be Continue...