"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bastian Dinantara
Riri kembali dari toilet dengan langkah lebih tenang, meski dalam hatinya masih malu mengingat insiden tabrakan barusan. Namun begitu sampai di meja keluarga, matanya langsung menangkap pemandangan baru: ada seorang pria lain yang duduk di sana, berbincang hangat dengan sang Papa.
Pria itu mengenakan setelan jas berwarna gelap, terlihat berwibawa dengan postur tegap dan sorot mata tenang. Ia duduk santai namun penuh kharisma. Entah kenapa, wajahnya terasa tidak asing bagi Riri—seperti pernah ia lihat sekilas, tapi di mana? Ia tidak bisa mengingatnya dengan jelas.
“Nah, ini dia…” ujar Raden begitu melihat putrinya datang. Senyum bangganya tak bisa disembunyikan.
“Ini anak gue, Riana Maheswari.”
Riri tersentak kecil, buru-buru merapikan posisi berdirinya.
“Ri, kenalin. Ini teman Papa waktu sekolah… sekaligus juga bos Papa,” lanjut Raden dengan nada hangat. “Namanya Pak Bastian.”
Pria itu, Bastian Dinantara — mengalihkan pandangan padanya, dan seketika tatapan mereka bertemu. Riri membeku sepersekian detik. Pria yang tadi ia tabrak… ternyata adalah bos Papanya.
Bastian tersenyum tipis.
“Halo, Riana. Papa kamu banyak cerita tentang kamu,” sapanya tenang namun ramah.
Riri langsung menunduk malu, suara gugupnya nyaris tidak terdengar.
“Ha… halo, Pak…” ucapnya pelan.
Rahayu yang sejak tadi memperhatikan, segera memberi isyarat.
“Sini, Ri, duduk. Dari tadi Mama nunggu kamu berdiri aja di situ,” ujarnya tegas.
Riri pun cepat-cepat duduk di kursi kosong di sampingnya, masih dengan pipi yang sedikit memerah.
Bastian menatapnya beberapa saat, seolah sedang menilai tanpa mengintimidasi.
“Sibuk apa kamu sekarang, Ri?” tanyanya, membuka percakapan kecil.
“Belum sibuk apa-apa, Pak… Aku baru lulus kuliah,” jawab Riri malu-malu, memainkan ujung rambutnya.
“Oh, gitu, Panggil Om aja, gak usah sungkan.” balas Bastian.
"I.. iya Om."
Raden menyambung dengan nada penuh kebanggaan.
“Iya, Bas. Dia baru lulus. Kemarin sempat nanya-nanya kerjaan di kantor, tapi belum ada lowongan yang cocok buat dia.”
“Yaudah… nanti kalau ada lowongan kerjaan yang pas buat dia, gue kabarin,” ujar Bastian santai tapi tulus.
“Thanks ya, Bas. Lo selalu bantuin gue,” balas Raden dengan nada akrab, seperti dua sahabat lama yang sudah melewati banyak hal bersama.
Bastian terkekeh kecil.
“Udah, makasih mulu,” ujarnya ringan.
Lalu ia melirik ke sekeliling, seolah menyadari ada tamu-tamu lain yang menunggunya.
“Yaudah, gue keliling dulu ya. Banyak karyawan yang harus gue sapa malam ini. Kalian nikmatin aja makan malamnya,” katanya sambil bangkit berdiri.
“Iya, Bas. Makasih ya udah sempetin mampir,” ujar Raden sambil menjabat tangannya.
Bastian menepuk bahu sahabatnya dengan hangat, lalu berjalan menjauh dengan langkah tenang. Riri tak sadar, matanya sempat mengikuti punggung pria itu sampai menghilang di kerumunan.
___
Bastian baru saja melangkah pergi, namun suasana di meja makan masih menyisakan keheningan kecil. Riri menatap punggung pria itu hingga benar-benar menghilang dari pandangan. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya… perasaan aneh yang sulit ia pahami.
Begitu suasana kembali tenang, Riri mencondongkan tubuhnya ke arah Papa. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
“Pa… Om Bastian itu beneran temen Papa?” tanyanya penasaran.
Raden menoleh, tersenyum ringan.
“Iya, Riri. Dia teman sekolah Papa dari SMA. Sekarang dia juga banyak bantu keluarga kita. Termasuk soal proyek kerjaan Papa beberapa waktu lalu.”
Riri mengernyit.
“Tapi kok aku nggak pernah tahu? Papa nggak pernah cerita tentang Om Bas.”
Raden terkekeh kecil, mengangkat bahu.
“Iya, karena Om Bas sering banget di luar negeri, Nak. Kita juga baru intens ketemu lagi belakangan ini.”
“Oh, gitu…” gumam Riri pelan. Tapi rasa penasarannya justru makin menjadi. Ia memutar pandangan ke arah kerumunan, berharap bisa melihat sekilas sosok Bastian lagi.
Beberapa detik kemudian, pertanyaan lain terlintas begitu saja.
“Terus… istrinya Om Bas yang mana, Pa?” tanya Riri polos.
Rahayu yang sejak tadi fokus pada makanannya langsung menoleh cepat.
“Riri! Kamu kepo banget, deh,” tegurnya setengah bercanda tapi tegas.
Riri manyun.
“Riri kan cuma nanya, Ma…” bantahnya dengan nada manja.
“Iya, tapi itu kan urusan pribadi orang, Sayang,” jawab sang Mama dengan nada lembut tapi mengingatkan.
Namun Raden menjawab dengan santai.
“Om Bas single, Riri.”
> “Hah?!” Riri langsung membulatkan mata. “Maksudnya…?”
> “Belum menikah,” jelas sang Papa tenang, seolah itu hal biasa.
Riri spontan menegakkan tubuhnya, matanya makin berbinar—bukan karena naksir, tapi rasa penasaran yang tumbuh begitu cepat.
“Serius, Pa? Kenapa? Umurnya udah kelihatan… ya, nggak muda lagi, lho,” ucap Riri polos, membuat Mamanya menahan tawa kecil.
“Riri, udah-udah. Jangan bahas di sini. Nanti kita ngobrol di rumah aja, ya,” ujar Raden, mencoba menutup topik.
Meski pembicaraan dihentikan, ucapan Papanya tadi justru menancap dalam-dalam. Single. Belum menikah. Kata-kata itu berputar dalam kepala Riri sepanjang acara.
Ia memperhatikan sesekali ke arah ruangan tempat Bastian tadi pergi. Pria itu terlihat sibuk menyapa tamu lain, berdiri tegap dengan aura tenang dan berkelas. Semakin Riri memperhatikannya, semakin kuat rasa penasarannya.
“Kenapa dia bikin gue kepikiran terus, sih…?” batin Riri sambil memainkan sendok di tangannya.
Malam itu, walau acara keluarga masih berlangsung dengan ramai, pikiran Riri sudah melayang ke satu sosok, Bastian Dinantara. Nama itu, entah kenapa, mulai membekas kuat dalam benaknya.
____
Setelah makan malam perusahaan yang menurutnya cukup melelahkan telah usai. Riri merebahkan diri di ranjangnya. Gaun hitam Sabrina yang ia kenakan sejak tadi, masih menempel di tubuhnya, tapi rasa malas membuatnya enggan berganti baju.
“Kenapa, sih… dari tadi mikirin Om Bastian mulu?” gumamnya, menatap langit-langit kamar dengan ekspresi bingung. Ia sendiri heran kenapa sosok pria itu begitu menempel di pikirannya sejak pertama kali bertemu.
Dengan gerakan malas, Riri meraih ponselnya. Ia membuka media sosial dan mulai berselancar. Di kolom pencarian, jarinya mengetik pelan, “Bastian Dinantara.”
Beberapa detik kemudian, hanya muncul satu akun yang cocok. Profil itu sederhana namun berkelas. Nama lengkapnya terpampang jelas, dengan foto profil hitam-putih yang membuat Bastian terlihat semakin berwibawa.
“Duh… ini orang kok kayak model ya,” bisiknya sambil menggulir layar.
Feed akun itu dipenuhi foto-foto Bastian di berbagai negara, berdiri di depan menara Eiffel, menghadiri acara bisnis di Jepang, berlayar di pantai Santorini. Aura mapan dan elegan benar-benar terpancar dari setiap potretnya.
Tanpa sadar, jempol Riri menekan ikon hati pada salah satu foto Bastian yang sedang mengenakan kemeja putih dan tersenyum samar ke arah kamera.
Klik.
“Ya ampun… gue ngelike,” Riri langsung menatap layar dengan mata membulat. Namun detik berikutnya, bibirnya justru tersenyum geli. “Hmm… menarik,” gumamnya pelan.