Olivia pernah memberanikan diri melakukan hal paling gila di hidupnya: menyatakan perasaan ke cowok populer di sekolah, Arkana. Hasilnya? Bukan jawaban manis, tapi penolakan halus yang membekas. Sejak hari itu, Olivia bersumpah untuk melupakan semuanya, terlebih dia harus pindah sekolah. Namun, dia pikir semua sudah selesai. Sampai akhirnya, takdir mempertemukan mereka lagi di universitas yang sama.
Arkana Abyaksa—cowok yang dulu bikin jantungnya berantakan. Bedanya, kali ini Olivia memilih berpura-pura nggak kenal, tapi keadaan justru memaksa mereka sering berinteraksi. Semakin banyak interaksi mereka, semakin kacau pula hati Olivia. Dari sana, berbagai konflik, candaan, dan rasa lama yang tak pernah benar-benar hilang mulai kembali muncul. Pertanyaannya, masih adakah ruang untuk perasaan itu? Atau semuanya memang seharusnya berakhir di masa lalu? Dan bagaimana kalau ternyata Arkana selama ini sudah tahu lebih banyak tentang Olivia daripada yang pernah dia bayangkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fayylie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2
Gedung serbaguna universitas itu ramai luar biasa pagi itu. Spanduk besar warna biru tua terbentang lebar di atas panggung bertuliskan:
“ICON CAMPUS 2025"
Ajang Bakat dan Pesona Antar Fakultas
Ajang itu bukan sekadar lomba pamer gaya, tapi semacam pemilihan mahasiswa dan mahasiswi paling populer sekaligus berbakat di kampus. Dari tiap fakultas dipilih perwakilan, lalu mereka bakal bersaing lewat beberapa tahap. Yang menang bakal dapet gelar bergengsi, plus jadi semacam “ikon” kampus setahun penuh.
Di barisan depan, para kontestan sudah mulai kumpul. Cowok-cowok berdiri gagah, ada yang pake kemeja rapi, ada yang lebih santai. Cewek-cewek pun nggak kalah percaya diri dengan outfit stylish mereka. Suasana agak canggung karena baru pertama kali ketemu, tapi obrolan kecil mulai pecah di sana-sini.
Di sisi kiri ruangan, Arkana berdiri dengan tenang. Kemeja putih sederhana, celana hitam, sneakers. Sesekali dia nyelipin senyum sopan kalau ada yang ngajak ngobrol, tapi selebihnya tatapannya lurus, adem, agak dingin.
Beberapa menit setelah acara dibuka dengan sambutan singkat, pintu gedung tiba-tiba kebuka keras. Dua mahasiswi masuk terburu-buru sambil ngos-ngosan.
“Maaf kak, kita telat!” suara salah satunya, cewek berambut panjang bergelombang, dengan totebag besar di bahunya. Namanya Teresa.
Di sebelahnya, Olivia. Rambut lurus cokelatnya dikuncir setengah, wajahnya agak memerah karena jalan cepat dari parkiran. Dia menunduk sedikit, mencoba terlihat nggak panik.
“Duh, Sa… gue bilang juga apa. Jangan salah jalan tadi,” Olivia berbisik dengan nada menyesal.
Teresa nyengir. “Ya salah lo juga, Liv. Gue udah bilang belok kanan, lo malah ke kiri. Udahlah, yang penting kita udah nyampe.”
Setelah dipersilahkan duduk, mereka berdua buru-buru jalan ke arah bangku belakang. Tapi baru beberapa langkah, Olivia tiba-tiba berhenti.
Matanya membeku.
Di barisan kontestan cowok, dia lihat satu sosok yang langsung bikin napasnya tercekat. Arkana.
Arkana, yang dulu cuma bisa dia tatap dari kejauhan di SMA. Arkana, yang jadi alasan senyumnya selama SMA dulu, sekaligus menjadi alasan ia menangis sebelum pergi ke Jepang.
Olivia otomatis terpaku. Badannya nggak mau bergerak. Teresa udah melangkah lebih dulu ke kursi barisan tengah, tapi Olivia masih berdiri di pintu, pandangannya terkunci.
Arkana juga akhirnya menoleh. Entah kebetulan atau karena ngerasa diperhatiin. Tatapan mereka ketemu.
Waktu seakan berhenti.
Arkana sedikit terbelalak, wajahnya nggak berubah banyak, tapi ada kerlip kaget yang nggak bisa disembunyikan. Olivia ngerasa jantungnya mau copot. “Ya Tuhan… dia beneran Arkana. Masih sama. Malah keliatan makin dewasa.”
Olivia otomatis kelempar ke memori empat tahun lalu.
...----------------...
Flashback – SMA, hari kelulusan
Setelah acara selesai, lapangan penuh coret-coretan dan tawa. Olivia udah seneng banget waktu Arkana nulis sesuatu di punggung bajunya. Saat dia melirik lewat kaca di kelas, dia lihat tulisan itu jelas:
“Good luck.” – Arkana
Olivia ngerasain dadanya penuh, campur seneng, campur sedih. Sore itu, sebelum semua bubar, dia nekat nyamperin Arkana lagi.
“Arka!” panggilnya pelan.
Arkana berhenti, menoleh, agak kaget karena cewek ini lagi-lagi muncul.
Olivia menelan ludah, tangan gemetar. “Gue tau mungkin ini aneh, tapi… gue nggak mau nyesel.”
Arkana diam, nunggu.
Olivia menghela napas panjang. “Gue suka lo. Dari dulu. Gue tau lo mungkin nggak ngerasa apa-apa, atau bahkan nggak tau nama gue… tapi gue cuma pengen bilang. Biar gue bisa lega.”
Beberapa detik hening.
Arkana menatap Olivia, ekspresinya datar tapi matanya serius. Lalu dia cuma bilang pelan, “Makasih.”
"Nggak semua rasa harus dibalas kan? tapi setiap rasa harus dihargai." lanjutnya setelah diam beberapa detik.
Senyumnya tipis, lalu dia pergi begitu aja.
Olivia berdiri di tempat, nyesek tapi juga lega. “Setidaknya gue udah ngomong,” pikirnya waktu itu.
Flashback berakhir.
...----------------...
“Eh, kamu... kenapa diem di situ? Silakan duduk dulu,” suara salah satu senior yang menghentikan lamunannya.
Olivia kaget, buru-buru jalan ke arah bangku, pipinya merah. Tapi sebelum duduk, salah satu senior yang sepertinya memegang nama dan identitas para peserta nyeletuk,
“Olivia? Bukannya kamu sama Arkana itu satu sekolah dulu, ya? Kalian saling kenal?”
Semua mata otomatis melirik ke Arkana dan Olivia.
Olivia langsung panik. Arkananya diam, tatapannya datar, nggak ada respon. Olivia nggak tau kenapa, tapi impulsif banget, dia jawab cepat, “Eh... nggak kak, enggak kenal.”
Ruangan agak hening sebentar. Olivia buru-buru duduk, berharap nggak ada yang nanya lebih jauh.
......................
Sesi perkenalan mulai. Para kontestan diminta saling ngobrol biar cair suasananya.
Di sebelah Olivia, duduk seorang cowok berambut hitam pendek, wajahnya ramah banget, gampang senyum.
“Hai, gue Jevan,” sapanya sambil ngulurin tangan. “Fakultas Ekonomi. Lo?”
Olivia tersenyum kikuk, menyambut tangannya. “Olivia. Seni.”
“Ohh, seni. Pantes masuk barengan sama temen lo tadi tuh, Teresa, kan?”
“Iya, bener.”
Obrolan mereka ngalir ringan. Jevan tipikal orang yang gampang bikin orang nyaman. Dia bahkan sempet nyeletuk, “Gila sih, gue kira kontes kayak gini cuma gaya-gayaan doang. Ternyata aturannya ribet juga ya. Katanya selama kontes kita mesti tinggal di asrama bareng?”
Olivia kaget. “Hah? Tinggal di asrama?”
“Iya. Jadi biar lebih gampang koordinasi tiap tahap. Gue baru baca tadi di grup.”
Olivia cuma bisa nyengir. Dalam hati, “Ya ampun, harus satu atap sama Arkana juga, dong? Gimana kalau—” dia buru-buru stop pikirannya sendiri.
......................
Setelah sesi perkenalan agak cair, senior akhirnya membubarkan kumpul pagi itu. Para peserta bebas pulang atau kumpul bareng.
Jevan yang masih semangat, tiba-tiba nyeletuk, “Eh, Liv. Gue kenalin lo ke temen-temen yang lain, yuk. Biar tau.”
Olivia belum sempet nolak, Jevan udah narik dia ke arah dua orang lain yang lagi ngobrol.
“Liv, ini Devon—temen gue dari FISIP, sama Lea dari Psikologi. Nah, guys, ini Olivia dari Seni.”
Devon ngangguk cuek tapi ramah, Lea langsung senyum hangat. Mereka ngobrol sebentar soal fakultas masing-masing.
Tapi kemudian, Jevan nyeletuk lagi, “Eh, Arka, sini deh. Kenalan sekalian.”
Arkana yang dari tadi berdiri agak jauh akhirnya melangkah mendekat.
Olivia ngerasa napasnya ketahan.
Arkana ngulurin tangan sopan. “Arkana. Kedokteran Hewan.”
Olivia buru-buru nyambut, suaranya lirih. “Olivia. Seni.”
Ada jeda canggung. Mata mereka ketemu lagi. Olivia buru-buru lepasin tangannya.
Lea, yang nggak tau apa-apa, malah nanya polos, “Eh, kalian kan dulu satu sekolah, beneran gak saling kenal, ya?”
Olivia langsung tersenyum kaku. “Hmm… iya, gak kenal.” Lalu cepat-cepat pamit. “Sorry ya, gue nyamperin Teresa dulu. Dia udah keluar duluan.”
Tanpa nunggu jawaban, Olivia melangkah cepat keluar ruangan, meninggalkan mereka semua.
Di lorong, Olivia menempelkan punggungnya ke dinding, menarik napas panjang.
“Ya Tuhan… kenapa harus ketemu lagi sama dia di sini?”