NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

“Hariku Sudah Cukup Berat”

Rabu, 04 April 2001.

Hari ini seharusnya menjadi hari yang penuh kebahagiaan bagi Dion, Wina akan diwisuda. Sebuah tonggak yang telah lama mereka nantikan bersama. Meski itu tak serta merta berarti mereka bisa segera bertemu, setidaknya satu tahap besar telah berhasil mereka lalui.

Janji Dion kepada Oppung sudah terpenuhi. Kini, ia merasa lebih siap dari sebelumnya untuk memperjuangkan hubungannya dengan Wina, berapa pun rintangan yang menghadang.

Biasanya, Dion menghabiskan sore bersama rekan-rekan kampus sebelum berangkat kerja. Tapi tidak hari ini. Ada yang lebih penting. Wina telah berjanji akan menelepon sore ini, dan Dion tak sabar mendengar cerita tentang hari istimewanya.

Namun begitu tiba di kantor, sesuatu terasa aneh. Lobi yang biasanya lengang justru dipenuhi para karyawan yang tampak gelisah. Beberapa orang tampak sibuk mengemasi barang-barang mereka, beberapa lainnya berdiri dengan wajah muram, seolah baru menerima kabar buruk.

“Kantor kita ditutup mulai hari ini,” suara Sugiharto, Kepala Produksi, menyadarkan Dion dari kebingungan.

Dion menatapnya tak percaya. “Maksudnya...?”

“Kau harus mengosongkan mejamu dan membawa semua barang pribadimu sebelum tengah malam,” lanjut Sugiharto dengan nada datar, seolah-olah ia sendiri belum siap menerima kenyataan itu.

Dion masih berusaha memahami situasi ketika Elfrida, sekretaris redaksi, menghampirinya.

“Dion, sepeda motor dan surat-suratnya harus diserahkan. Inventaris sedang dicek,” ujarnya singkat.

Dion lalu mengeluarkan STNK dan kunci motor yang telah menemaninya lebih dari setahun terakhir.

Pihak manajemen memutuskan menutup dan menghentikan operasi kantor berita itu sebagai buntut kekecewaan atas penahanan pemilik perusahaan oleh kejaksaan karena kasus pencucian uang. Sang pemilik kecewa, perusahaan pers miliknya tidak memiliki pengaruh untuk melindunginya.

Ruangan terasa hening meski aktivitas orang di sana cukup tinggi. Semua tenggelam dalam pikiran dan kecemasan masing-masing. Dion sendiri duduk termenung, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Kuliahku... bagaimana nasib kuliahku? pikirnya.

Tanpa pekerjaan, bagaimana ia bisa membayar biaya kuliah? Apakah ini akhir dari perjuangannya?

“Ah, ini akan jadi hari yang berat. Tapi biarlah. Masih ada sesuatu yang akan meringankan beban. Kabar dari Wina,” gumamnya dalam hati dan berusaha membawa semangat ke dalam pikirannya.

“Dion, ada telepon dari Wina,” suara petugas sekuriti menyadarkannya.

Dion segera bangkit. “Boleh kuterima di ruangan atas?” tanyanya.

Petugas itu mengangguk dan mulai menyambungkan panggilan ke ruang kerja Dion di lantai dua.

Dengan langkah tergesa, Dion menaiki tangga, seolah telepon itu adalah penyelamat yang akan mengangkatnya keluar dari kekalutan. Sesampainya di meja, ia menarik napas dalam-dalam, coba menghapus jejak kegelisahan dari suaranya.

“Selamat sore, Wina!” sapanya penuh semangat.

“Hmm, selamat sore!” sahut Wina datar dan lesu.

“Wina hari ini capek yah? Suaranya lesu,” tanya Dion yang merasa Wina tak bersemangat.

“Nggak apa-apa, kok,” jawab Wina masih dengan nada yang sama.

“Bagaimana wisudanya hari ini? Nanti kirimin foto ke email, ya! Dion mau lihat Wina pakai toga,” Dion berusaha menceriakan suasana.

Tak ada jawaban. Hanya keheningan.

Hati Dion mulai tak enak. “Wina?” panggilnya pelan.

Lalu, terdengar helaan napas dari seberang.

“Dion...” suara Wina terdengar lirih, hampir bergetar.

“Iya? Wina kenapa? Kamu baik-baik saja?”

“Dion, aku ingin mengatakan sesuatu yang penting. Tolong dengarkan baik-baik!”

Dion terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Wina yang membuatnya merasakan kegelisahan tak wajar.

“Aku dengar, Win,” sahutnya, coba menenangkan hati sendiri.

Hening sejenak. Lalu, kata-kata yang menghancurkan dunia Dion meluncur begitu saja.

“Hubungan kita harus berakhir, Dion. Wina sudah punya pacar baru.”

Detik itu juga, waktu seolah berhenti. Jantung Dion berdegup kencang, tapi seluruh tubuhnya terasa beku.

“Wina bilang apa? Sori, Dion nggak terlalu dengar?” Dion berharap telah salah dengar.

“Dion carilah pacar baru dan tidak usah menunggu Wina lagi. Dan kuharap setelah ini Dion tidak lagi menghubungiku lewat apapun,” Wina mengabaikan permintaan Dion untuk mengulangi pernyataan sebelumnya. Gadis itu merasa yakin Dion mendengar semua kalimatnya dengan baik.

Dion masih berharap ini hanya lelucon. Tapi Wina tidak tertawa. Ia bahkan tidak terdengar ragu.

Dion terdiam linglung, tak tahu harus mengatakan apa. Ia berusaha mengumpulkan dirinya yang segera saja tercerai berai pada kebingungan, kesedihan, dan amarah.

Semua perasaan yang telah Dion genggam erat selama ini—cinta, harapan, impian tentang masa depan bersama—semua hancur berkeping-keping dalam sekejap.

“Oh, Tuhan!” gumam Dion pada diri sendiri sambil menarik dan meniup napas panjang. Walaupun terucap lirih tapi masih terdengar oleh Wina.

“Dion, marahlah kalau mau marah! Setelah ini Dion tak akan berkesempatan untuk melakukannya,” ujar Wina.

“Oh!” hanya itu yang keluar dari mulut Dion menyahuti.

Lalu terdiam.

Tak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan.

Satu menit, dua menit hingga menit ketiga tak ada kata yang terdengar. Hanya napas berat Dion yang sesekali terdengar di telinga Wina.

“Baiklah kalau Dion tak ingin mengatakan sesuatu lagi. Kita akhiri saja teleponnya. Semoga kamu baik-baik saja. Selamat sore!” pungkas Wina menutup telepon setelah beberapa saat tak juga mendapat jawaban dari Dion.

Menyadari panggilan sudah terputus, Dion pun meletakkan gagang telepon. Dengan gontai ia melangkah meninggalkan ruangan itu kembali ke lobi kantor.

Dion yang berjalan lesu dan wajah pucat pasi tak menarik perhatian siapapun karena setiap orang di tempat itu juga mengalami kegundahan yang sama. Semuanya bersedih dan terguncang karena tiba-tiba kehilangan pekerjaan.

Tapi bagi Dion, bukan kehilangan pekerjaan yang menjadi beban terberat. Kata-kata Wina yang menyatakan hubungan mereka telah berakhir lah yang membuat seluruh saraf dan otot tubuh seolah menolak bekerja sebagaimana mestinya.

Hampir satu jam mereka duduk di situ. Selama itu Dion hanya diam membisu dan hanyut dalam pikiran sendiri. Dion bahkan tidak bisa menyimak pembicaraan rekan-rekannya yang mengeluhkan PHK mendadak.

"Ah, mungkin hanya lelucon. Wina memang sering mengerjaiku,” pikirnya tiba-tiba, mencari secuil harapan di tengah kekacauan batinnya.

Dengan gerakan mendadak, Dion bangkit dari kursinya.

“Dion mau ke mana?” tanya Sugiharto, mengangkat alis.

“Ke wartel sebentar, Bang! Ada yang harus kutelepon.”

Tanpa menunggu respons, Dion melangkah cepat meninggalkan lobi menuju warung telepon tak jauh dari kantornya.

Jantungnya berdetak keras saat memasuki bilik wartel yang sempit. Tangannya sedikit gemetar saat menekan angka demi angka nomor rumah Wina di Jakarta.

Nada sambung terdengar lama, tapi tak ada jawaban.

Dion menggigit bibir, lalu mencoba nomor ponsel Wina. Satu kali. Dua kali. Di percobaan ketiga, akhirnya panggilannya tersambung.

“Halo!” sapa Wina menjawab panggilan di ponselnya. Ia sudah menduga Dion akan menghubungi nomor itu.

Dion menarik napas lega. “Wina cuma bercanda, bukan?” tanyanya buru-buru, berharap kata-kata tadi hanyalah bagian dari kebiasaan gadis itu menggodanya.

Wina tak segera menjawab pertanyaan Dion. Bagaimanapun, ia bisa merasakan kesedihan pemuda itu dan merasa harus mengulangi perkataannya.

“Tidak. Wina tidak bercanda. Semuanya sudah berakhir, Dion! Lupakanlah Wina dan mohon jangan menghubungiku lagi.”

Kata-kata Wina kembali membuat Dion terdiam. Bak hujaman pisau kedua ke hatinya.

“Apakah aku tak boleh mendapatkan sedikit pun penjelasan, Win?” Dion berupaya membela diri atas desakan Wina untuk mengakhiri panggilan itu.

“Apa yang ingin kamu ketahui?”

“Siapa dia dan bagaimana kamu bertemu dengannya?”

“Bara. Namanya Barandika. Dia anak teman mami dan kami dikenalin Agustus tahun lalu dan Wina magang di perusahaan milik keluarganya.”

Dion merasakan sesuatu menghantam dadanya, membuatnya sesak.

“Apa Wina dipaksa?” tanyanya, masih berharap ada alasan yang bisa membuatnya berpegang pada harapan terakhir.

“Tidak. Kami saling menyukai dan jadian di bulan Oktober. Ada lagi yang ingin Dion ketahui?”

Dion kembali membisu tak tahu harus mengatakan apa. Hatinya kini kian terbakar oleh rasa cemburu dan amarah.

“Enam bulan Wina menyembunyikan itu dariku,” ujar Dion dalam hati yang hancur lebur.

Dion mengepalkan tangan kanan kuat-kuat berusaha mengusir rasa marah dan cemburu dari pikiran sambil menggertakkan gigi.

“Kalau tak ada lagi yang perlu Dion tanya atau katakan, tutuplah teleponnya. Nanti tagihannya besar sekali,” ujar Wina karena Dion hanya diam saja.

“Dion, Marahlah! Makilah Wina sesukamu! Tapi berjanjilah untuk tidak menghubungiku lagi setelah ini,” tambah Wina dengan suara bergetar membuat Dion menghembuskan napas berat.

“Biarkanlah untuk beberapa saat lagi. Toh ini yang terakhir kali, bukan? Tidak apa-apa harus bayar mahal,” jawab Dion.

Dia mencoba meraup sedikit saja rasa bahagia dari pembicaraan lewat telepon itu seperti yang biasa ia alami setiap kali berbicara dengan Wina.

Tapi Dion segera sadar, semua sudah berakhir.

“Tidak ada gunanya marah-marah, Win. Tidak akan mengubah apapun. Hariku sudah cukup berat, kenapa aku harus merusak harimu juga?” ujar Dion.

Di seberang sana, Wina mulai terisak.

Wina sudah mengharapkan Dion marah dan menyalahkannya atas ketidaksetiaan. Tapi Dion tetaplah Dion yang ia kenal. Hingga saat itu, ia belum pernah melihat atau mendengar pemuda itu marah.

“Baiklah, Wynna Pingkan Arina!” Dion seolah mengambil ancang-ancang untuk mengucapkan sesuatu.

Wina menahan napas. Dion hanya menyebutkan nama lengkapnya saat ingin mengatakan sesuatu dengan sungguh-sungguh.

“Aku berjanji tak akan menelepon, mengirim surat, atau email lagi. Jangan khawatir, aku selalu menepati janjiku.”

Tangis Wina pecah di seberang sana. Ia tahu itu benar. Dion tak pernah mengingkari janjinya.

“Tapi aku masih ingin menanyakan satu hal sebelum berlalu,” pinta Dion dengan hati perih.

“Apa? Tanyakanlah!” tanya Wina di antara isakannya.

“Apakah dia memperlakukanmu dengan baik?”

Wina heran. Ia tak mengerti alasan di balik pertanyaan Dion.

“Iya. Bara baik pada Wina. Dia banyak membantu dan kami sering bersama dalam beberapa bulan terakhir. Keluarga kami juga sudah bertemu dan berencana akan mengadakan acara pertunangan beberapa bulan lagi,” jawab Wina.

Dion menutup mata, menahan perih yang semakin menusuk.

“Oh! Aku senang mendengarnya. Setidaknya ada sedikit hal baik yang aku dengar hari ini. Terima...”

Kalimat Dion terputus ketika seruan menyela terdengar dari seberang sana.

“Untuk apa kau teleponan lama-lama sama orang kampung itu. Tutup saja! Jangan biarkan dia mengacaukan pikiranmu,” ketus wanita yang segera Dion kenali sebagai ibunya Wina, Maria Lasma.

Sepertinya Wina tak menggubris teriakan ibunya karena Dion kemudian mendengar suara bantingan pintu dan kunci yang diputar.

“Maafkan Wina!” kata Wina masih dengan suara lirih dan isakan.

“Tak mengapa, Win. Aku justru berterima kasih atas kebaikanmu selama ini. Karenamu aku merasakan indahnya cinta kasih. Tapi, seperti semua hal baik dalam hidupku, pasti akan berakhir dengan cepat,” ujar Dion.

“Dion...,” Wina mencoba bicara, tapi suaranya tercekat.

“Aku akan mengakhiri panggilan ini. Aku berdoa kamu selalu sehat dan bahagia,” lanjut Dion kali ini dengan suara normal.

Keheningan menyelimuti mereka beberapa detik.

Lalu, dengan suara yang dipenuhi luka, Dion mengucapkan kata terakhirnya.

“Selamat jalan kekasihku, Wynna Pingkan Arina!”

Dion mengakhiri panggilan dengan meletakkan gagang telepon ke tempatnya semula.

...***...

Dion tak tahu sudah berapa lama ia duduk termenung di dalam bilik wartel itu. Waktu seolah kehilangan makna, larut dalam kehampaan yang mengungkungnya. Pikirannya kosong, tapi dadanya penuh sesak.

Suara di sekelilingnya memudar, berganti dengan gema percakapan terakhirnya dengan Wina yang terus berulang dalam benaknya. Menusuk, menyayat, menguliti hatinya hingga tak bersisa.

Ketukan pelan di pintu bilik menyentakkannya kembali ke dunia nyata. Dengan gerakan kaku, Dion mengangguk kecil, lalu bangkit.

Ia membayar tagihan telepon yang terasa jauh lebih mahal dari sekadar angka di kertas. Bayarannya adalah kepedihan yang tak terhitung jumlahnya.

Usai mengumpulkan barang-barang pribadi, beberapa rekan mengajaknya makan malam bersama. Dion menurut tanpa banyak bicara, membiarkan dirinya hanyut dalam kebersamaan yang terasa semu.

Mereka juga melanjutkan malam di sebuah warung kopi yang buka hingga subuh, mencoba menertawakan nasib sambil merencanakan langkah selanjutnya.

Percakapan di sekitarnya berkisar pada tuntutan pesangon, rencana mencari pekerjaan baru, dan janji untuk tetap saling berhubungan. Tapi Dion nyaris tak menyimak. Kata-kata itu berlalu seperti angin yang sekadar menyentuh permukaan kulit, tak mampu menembus labirin pikirannya yang kusut.

Pikiran Dion berkecamuk. Marah, cemburu, kecewa, berkecil hati, putus harapan, khawatir dan kesedihan, bercampur jadi satu.

“Masih adakah sedikit harapan yang tersisa dari cinta yang terhempas? Mengapa Tuhan menciptakan hari yang begini berat? Masih adakah sesuatu yang berarti buatku esok hari?” keluh Dion.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!