"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Tidak Adil
"Nin, bangun! Ayo, cepat kamu masak sekarang. Keburu siang, keburu calon suaminya Lisna datang!"
Hanin mengerjap. Kepalanya terasa pening. Perasaan baru sekejap ia tertidur tapi sudah dibangunkan oleh ibunya.
"Akumasih lelah, Bu," sahutnya.
Bagaimna ia tidak lelah karena semalam sepulang kerja, ia sudah ditodong oleh ibunya untuk mencuci setumpuk piring kotor didapur. Entah apa yang dilakukan Lisna di rumah ini. Kenapa adiknya itu tidak mau membantu
mengerjakan pekerjaan rumah apapun. Dan anehnya, ibunya merasa hal itu tidak salah. Bu Daning seketika melotot. Ia menarik selimut yang menutup tubuh Hanin dan menyiram wajah Hanin dengan segelas air yang ada di atas nakas.
"Bangun!" teriaknya.
Hanin kelabakan. Ia seperti bermimpi baru saja tenggelam saat ibunya menyiram air kepadanya.
"Ya Allah, Bu. Kenapa Ibu tega banget? Aku baru tidur tiga jam Bu," lirihnya dengan wajah basah.
"Jangan manja! Tiga jam itu sudah cukup buat kamu tidur. Memangnya kamu mau tidur
sampai berapa lama? Itu, bahan masakan udah siap di dapur! Udah gak bantuin belanja malah sok-sokan jadisi paling capek!"
Hanin menghela napas.
"Kenapa nggak Lisna saja sih yang Ibu suruh? Kan yang datang calon suaminya."
"Kamu ini gimana, sih? Lisna kan gak bisa masak? Dia itu calon bidan dan calon suaminya itu pengusaha. Mana bisa aku biarkan Lisna berkutat di dapur? Dia akan jadi orang kaya! Gak kayak kamu. Kamu kan udah biasa ngerjain semuanya!"
Hati Hanin sakit mendengar hinaan ibunya sendiri. Begitu lah setiap kali ia berdebat dengan ibunya. Selalu berakhir dibanding-bandingkan dengan Lisna. Lisna memang lulusan D3 kebidanan. Namun, ia nampak malas jika harus bekerja. Setiap kali membantu di
puskesmas yang ada di kampungnya, ia selalu mengeluh jijik karena harus membantu
membersihkan kotoran ibu yang melahirkan.
Hanin selalu berpikir, kalau jijik kenapa milih jadi bidan?Sedangkan ia saja hanya bekerja ditoko kelontong milik Ko Yusuf yangada di tepi jalan raya. Ia bekerja dua belas jam, mulai jam sepuluh sampai jam sepuluh malam dengan gaji delapan ratus ribu sebulan. Itusaja, ia hanya menyisakan tiga ratus ribu karena ibunya pasti akan meminta bagian lebih banyak dengan dalih bakti dan terima kasih anak pada orang tua.
"Sudah lah, cepetan ke dapur. Lagian kamu libur kan hari ini? Nanti keluarga calon suami Lisna datangnya sore. Jadi, semua masakan harus siap sebelum ashar."Bu Daning berlalu pergi
meninggalkan Hanin yang diam membisu.
"Allah, kenapa Ibu selalu saja bersikap tidak adil? Kenapa selalu Lisna? Bukankah aku juga anak Ibu?" Hanin menggumam. la mengusap sudut matanya yang berlinang.
Gadis berambut panjang dan sedikit bergelombang itu lantas bangun dan membereskan tempat tidur. Tak lupa ia menjemur bantal yang terkena siraman air ibunya. Hatinya nelangsa, karena setiap hari selalu diperlakukan layaknya seorang pembantu di rumah sendiri.
"Loh, Hanin? Kok, sudah sibuk di sini? Sudah solat?" Pak Abdul, ayah Hanin yang baru pulang dari musala bertanya. la masih mengenakan sarung, dan baju koko serta peci. la hendak mengambil minum tapi malah melihat putri sulungnya sedang mencuci sayuran.Padahal, semalam ia tahu bahwa Hanin baru tidur jam satu malam.
"Aku lagi halangan, Pak. Nggak solat," jawab Hanin seraya melempar senyum tipis.
"Kamu nggak capek, Nak? Bapak tahu kalau kamu semalam tidur jam satu."
Hanin menghela napas.
"Memangnya apa Bapak peduli? Bukannya Bapak lebih mendengarkan kata Ibu?" balasnya,
membuat wajah Pak Abdul kaget.
"Apa Ibumu yang menyuruhmu
memasak sepagi ini?" Hanin mengangguk.
Ia memindahkan sayuran yang baru dicuci ke dalam wadah. Lalu mulai merebus daging dan menyiapkan bumbu-bumbu yang akan digunakan.
"Bapak akan bicara sama ibumu."
"Silakan saja. Paling juga gak akan ada perubahan apa- apa."
Langkah Pak Abdul terhenti. Ia menatap Hanin dengan tatapan sendu. Merasa bersalah karena
tidak bisa membela putri sulungnya
itu.
"Bapak akan berusaha menasehati ibumu, Nak. Kamu yang sabar," katanya.
"Aku selalu sabar, Pak." Suara Hanin bergetar. Ia menarik napas dalam agar sesak di rongga dadanya berkurang. Sementara itu, Pak
Abdul masuk ke dalam kamar melihat sang istri sedang rebahan sambil nonton tivi.
"Buk, kenapa Ibu malah di sini?"
Bu Daning menoleh ke arah suaminya.
"Lah, emang kenapa? Kan ini kamarku juga, Pak," balasnya dengan ketus.
"Bukan begitu maksud Bapak.Tapi, seharusnya Ibu bantuin Hanin di dapur. Kan kamu yang nyuruh Hanin masak, seharusnya kamu bantuin sama Lisna juga," tukas Pak Abdul sembari meletakkan peci diatas meja "Kasihan Hanin, kalau Ibu terus- terusan begini," imbuhnya.
"Kasihan kenapa memangnya? Dia kan sudah biasa mengerjakan semua sendiri? Lagian masih untung dia masih kurawat." Jawaban Bu Daning membuat Pak Abdul diam untuk beberapa saat.
"Dia juga putrimu, Bu. Kenapa kamu gak bisa memperlakukan diaseperti anak kamu sendiri?"
Braaak!
Sontak saja Pak Abdul,membuka pintu kamarnya.
Tampak, Hanin menjatuhkan baskom berisi tempe yang baru saja diiris tipis.
"Ya Ampuuun, Haniiin!" Bu Daning bergegas turun dari ranjang dan menghampiri Hanin.
"Kamu ini gimana, sih? Itu tempe dibeli pakek uang! Malah kamu jatuhkan kayak gini. Mana bisa dimasak kalau kayak gini?"
omelnya.
"Maaf, Bu. Aku nggak sengaja. Biar aku ganti," kata Hanin, tak bersemangat. la berjongkok,
membersihkan tempe yang berserakan.
Rencananya irisan tempe itu akan dimasak sebagai Orem-Orem.Sementara Pak Abdul hanya
diam dan menatap iba putrinya. "Ayo, bapak antar, Nak. Mumpung masih pagi pasti penjual tempe dipasar masih banyak," tawarnya.
"Nggak perlu, Pak. Aku bisa berangkat sendiri, kok." Hanin mengulas senyum. Ia lantas
melangkah ke dapur dan meletakkan baskom di mejamakan. Hatinya mendadak sesak.Air matanya pun berlinang. Hanin sudah mendapatkan tiga kotak tempe. Setelahnya ia berjalan cepat menuju parkiran. Jika terlalu lama, ibunya pasti akan kembali memarahinya.
"Aduh!"
Hanin mengaduh saat seseorang menabrak bahunya."Hati- hati dong, Mas kalau jalan! Gak lihat apa kalau saya lagi bawa barang? Kalau barangnya jatuh lagi gimana? Mas mau ganti rugi?!" cecarnya pada pria berkaus hitam dan memakai celana jeans.
"Aku nggak sengaja. Lagian udah tahu kalau ramai, kenapa nggak minggir?" Bukannya minta maaf, pria itu malah seperti menantangnya.
Hanin melotot.
"Mau minggir ke mana, Mas? Kamu mau aku jalan di atas dagangan orang gitu?"
Pria berhidung mancung itu
berdecak. "Aku gak nyuruh begitu. Kamu sendiri yang bilang gitu, kan? Ah, sudahlah. Buang- buang waktu saja!" la mengibaskan tangan, lalu meninggalkan Hanin yang merasa jengkel.
"Ya Allah, tadi maksud Ibu apa, ya?" Obrolan kedua orang tuanya masih terngiang. Ia tak sengaja menguping tadi. Hanya saja waktu lewat depan kamar orang tuanya, tak sengaja ucapan ibunya membuat ia berhenti dan menguping.
"Apa benar kalau aku bukan anak ibu, ya?" Hanin kembali menggumam. Gegas ia menggeleng.
Lantas menaiki motor dan melajukannya meninggalkan pasar dan pulang.
Sesampainya di rumah, Hanin melihat ibunya menggantikan pekerjannya memotong daging ayam. Melihat itu, ada rasa haru yang menyelinap dalam hati. Ucapan yang tadi membuatnya berburuk sangka, seketika lenyap
begitu saya.
"Bu, ini tempenya." Hanin berucap.
"Ya udah, irisin lagi sana!" Hanin mengangguk. "Ibu..mau bantu aku?" tanyanya, ragu.
"Iya. Biar cepet selesai. Nanti keburu calon suaminya Lisna datang. Udah, buruan!"
Hanin mengangguk paham.
Hanin dan Bu Daning berkutat didapur hingga jam menunjukkan pukul sepuluh. Saat semua masakan hampir matang, Lisna baru keluar kamar dengan rambut berantakan khas orang bangun tidur.
"Ya Allah, kamu baru bangun,Lis?" tanya Hanin. la tak menyangka bahwa adiknya itu kuat sekali tidurnya. Biasanya paling siang, Lisna bangun jam setengah tujuh, mepet saat berangkat kerja.
"Halah, gak usah basa- basi. Udah tahu malah nanya!" Lisna menjawab ketus.
"Mulai ubah kebiasaanmu, Lis. Bentar lagi kan kamu mau nikah. Harus mulai belajar bangun pagi biar bisa ngurus dan melayani
suami," kata Hanin.
Lisna melotot. Tak terima mendengar nasehat Hanin.
"Heh, belagu banget, sih?!" ketusnya.
"Suamiku kaya raya! Dia pasti bakalan nyiapin pembantu buat ngurus rumah. Mana mau dia lihat aku kerepotan, Nin? Dia itu meratukan aku. Yang artinya, aku bakalan dilayani, bukannya
melayani!" sambungnya.
"Aku cuma memberi nasehat, Lis." Hanin menjawab lembut.
"Ngaca dulu, dong kalau mau ngasih nasehat! Lagian kamu sudah baik? Kamu udah sukses? Udah punya calon suami? Belum, kan? Kamu itu cuma kulinya Ko Yusuf, sedangkan aku ini calon bidan dan calon suamiku pengusaha. Kalau kamu? Paling cuma dapat pria miskin!" Lisna mengerucutkan bibirnya.
"Jangan kurang ajar kamu, Lisna!" bentak Hanin.
"Hentikan, Hanin! Jangan bentak Lisna!" Bu Daning menyela.
"Lagian yang dikatakan Lisna itu benar, kan? Kenapa kamu marah?"
Bibir Hanin mengatup rapat.Tatapan matanya berubah nanar.
"Bu ... kenapa Ibu selalu begini? Aku ini anak Ibu, kan?" tanyanya lirih. Bu Daning bergeming.
"Kenapa Ibu diam saja? Aku anak Ibu kan? Kalau aku anak Ibu, kenapa Ibu selalu tidak adil padaku,
Bu?" Lisna mencebik melihat silkap kakaknya.
"Halah, gak usah drama, deh! Lagian emang kamu nggak patut dihargai. Lah orang kamu aja gak bisa menghargai Ibu sama Bapak!" tukasnya.
"Menghargai bagaimana yang kamu maksud, hah? Aku setiap hariyang mengerjakan pekerjaan rumah di saat kalian santai- santai! Aku yang nyuci baju kalian, aku yang memasak untuk kalian. Lalu, apa itu masih dinamakan gak
menghargai?" Hanin menatap tajam Lisna.
Lisna mencebik. "Lah kamu gak bisa kan membuat Bapak dan Ibu bangga? Memang kamu bisa ngasih uang banyak buat mereka?
Pekerjaanmu saja cuma kuli di toko kelontong. Hiih, nggak banget!"
"Memang kenapa? Pekerjaanku
halal!"
"Sudah hentikan! Kalian ini apa- apaan, sih? Jangan membuat kepalaku pusing!" teriak Bu
Daning.
"Lisna, cepat kamu mandi dan segera bersiap- siap!" titahnya. Lisna melengos pada Hanin. la berjalan ke kamar mandi tanpa menghiraukan pekerjaan dapur yang masih menggunung.
"Jangan ambil hati ucapan adikmu, Nin!" celetuk Bu Daning. Hanin bergeming.
"Apa aku nggak boleh bahagia, Bu?" tanyanya, pelan. Gerakan tangan Bu Daning yang sedang mengiris buah semangka terhenti sesaat, lalu ia
lanjutkan sambil membalas,
"Maksudmu apa?"
"Sampai sekarang aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang sama dari Ibu. Lisna dikuliahkan, tapi aku cuma sampai SMA dan diwajibkan bekerja untuk bantuin kuliah Lisna. Sekarangpun, aku masih harus menomor satukan Lisna ketimbang diriku sendiri." Hanin menghela napas panjang usai mengatakannya.
"Jangan bicara ngalor ngidul gak jelas! Kamu kan anak sulung.Sudah sewajarnya membantu ekonomi keluarga. Dan sudah semestinya kamu mengalah pada adikmu. Jangan cengeng, Nin!"
Hanin tak membalas ucapan ibunya.
"Ibu belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Pertanyaan yang mana?"
"Aku ini anak Ibu apa bukan?"