Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Aku tidak menangis.
Entah karena air mataku sudah habis, atau karena tubuhku mulai terbiasa dengan luka yang terus bertambah setiap hari. Tapi saat nama kami disebutkan bersamaan oleh penghulu, dan suara laki-laki itu menjawab dengan tegas, aku tahu… hidupku tidak akan pernah sama lagi.
"Saya terima nikahnya Nayla Rahadian binti Adnan Rahadian…"
Suaranya dingin. Tegas. Tanpa keraguan sedikit pun.
Seolah dia sedang menandatangani kontrak bisnis, bukan mengikatkan diri pada seseorang seumur hidup.
Aku memejamkan mata.
Ada suara pelan dari para saksi yang duduk di seberang.
"Sah."
Itu dia. Satu kata yang cukup untuk mengikatku dalam kehidupan yang tak pernah aku pilih.
---
Kudengar suara kursi digeser. Langkah kaki mendekat. Aku masih menunduk, menatap kedua tanganku yang menggigil di atas pangkuan. Jemariku sudah dingin sejak tadi, tapi sekarang rasanya lebih dingin dari es.
Dia berdiri di hadapanku. Reyhan Alfarezi. Suamiku, menurut undang-undang. Tapi tak pernah sekalipun dia menatapku dengan tatapan seorang suami. Yang ada hanya tatapan tajam, seolah aku adalah bagian dari kesalahan yang harus dia hancurkan.
"Akhirnya," katanya datar. "Sekarang kau resmi jadi milikku."
Aku mendongak perlahan, menatap wajahnya. Rautnya datar, rahangnya mengeras. Pria itu memakai setelan jas hitam elegan, berdiri sempurna di hadapanku. Tampan, ya. Tapi terlalu berbahaya untuk disebut laki-laki impian. Tidak ada kelembutan. Tidak ada kehangatan. Yang ada hanya dingin yang mematikan.
“Kenapa?” gumamku pelan, hampir tidak terdengar.
“Kenapa aku?”
Dia menatapku dengan sinis. "Karena kau satu-satunya cara untuk membalas mereka."
Aku menahan napas.
"Dan kalau kau berpikir pernikahan ini akan mengubah cara aku memperlakukanmu… kau salah besar, Nayla."
---
Resepsi tak ada. Tak ada pesta, tak ada foto bahagia. Hanya ruangan besar hotel tempat akad tadi diadakan, lalu kami langsung keluar menuju mobil hitam panjang yang sudah menunggu.
Dalam mobil, sunyi.
Dia duduk di sampingku, tapi seolah kami tinggal di dunia yang berbeda.
Tanganku terus menggenggam gaun putih sederhana yang kupakai. Tak ada senyum, tak ada pelukan selamat. Bahkan papaku hanya memberi anggukan dingin sebelum pergi meninggalkan ruangan, seolah menyerahkan beban hidupku kepada pria asing itu.
"Mulai sekarang, kau tinggal di rumahku," ucap Reyhan pelan tanpa menoleh.
"Bukan rumah kita?"
Dia menoleh, menyipitkan mata. "Jangan pernah mimpi tentang kata kita, Nayla."
---
Rumahnya seperti istana kecil, megah, mewah. Tapi tidak terasa seperti rumah. Semua tampak terlalu rapi, terlalu hampa.
Dia menunjukkan kamar untukku. "Kau tidur di sini. Jangan masuk ke kamarku tanpa izin."
Aku mengangguk pelan. “Aku tidak akan ganggu kehidupanmu.”
Dia tertawa kecil. “Bagus. Kita sepakat.”
Saat pintu kamarku ditutup, aku bersandar ke dinding dan perlahan tergelincir ke lantai. Dadaku sesak.
Aku harus tetap bertahan. Entah bagaimana caranya.
Aku tak tahu sudah berapa lama duduk di lantai seperti ini. Lampu kamar menyala terang, tapi semua terasa gelap. Seperti jiwaku ikut padam bersama kebebasanku yang dirampas hari ini.
Tak ada pesan dari Mama. Tak ada pelukan dari Papa.
Yang ada hanya sepi. Dan sepotong cincin di jari manisku yang tak punya makna apa-apa selain jerat yang mengikat.
Ketukan pelan di pintu membuatku terkesiap.
Aku buru-buru berdiri, merapikan jilbab yang sedikit miring.
Pintu terbuka. Reyhan berdiri di sana, kali ini tanpa jas. Kemeja putihnya digulung di lengan, tubuh tegapnya menyender santai di ambang pintu.
“Besok ikut aku ke acara makan malam keluarga.”
Nada suaranya masih dingin. Seolah ini bukan perintah, tapi hukuman.
Aku mengangguk pelan. “Baik.”
Dia memicingkan mata. “Kau pikir semua ini mudah?”
Aku tidak menjawab. Tak ingin membuang tenaga menjelaskan luka yang bahkan belum bisa kuterjemahkan.
“Jangan pernah bikin malu,” lanjutnya tajam. “Kalau aku lihat kau pura-pura sedih atau menangis di depan mereka, aku sendiri yang akan buat alasan agar mereka mengerti kenapa kau pantas diperlakukan seperti ini.”
Napas tercekat di tenggorokanku.
“Kenapa… kau begitu membenciku?” tanyaku, suaraku tercekat.
Dia tertawa kecil. “Tanyakan pada ayahmu, Nayla. Dialah penyebab semuanya.”
Dan dengan itu, dia pergi begitu saja. Meninggalkan pintu setengah terbuka dan pikiranku yang kembali berantakan.
---
Malam terasa panjang.
Aku tidak bisa tidur. Bahkan suara detik jam pun terdengar seperti bom waktu yang menunggu meledak.
Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu antara Reyhan dan Ayahku?
Apa yang membuatnya begitu tega menjadikanku korban?
Kupandangi cermin di meja rias. Di balik riasan tipis, mataku sembab. Bibirku pucat.
Ini bukan wajah seorang pengantin baru. Ini wajah seseorang yang dijebloskan ke dalam neraka yang tak kasat mata.
Tapi aku bersumpah satu hal malam itu.
Aku tidak akan hancur. Biar dia perlakukan aku seperti musuh, tapi aku tak akan tunduk.
Kalau dia pikir aku akan menyerah, dia salah besar.
Aku Nayla. Dan aku akan bertahan.
***
Pagi datang tanpa aku benar-benar tidur.
Langit di luar jendela mulai memutih. Suara burung pun tak terdengar. Entah karena lingkungan perumahan ini terlalu sunyi atau karena dunia memang sedang bisu padaku.
Aku duduk di ranjang sejak subuh, tanpa tahu harus berbuat apa. Masih belum percaya bahwa aku sekarang sudah menjadi istri Reyhan Alfarezi, pria yang bahkan tak ingin menatapku lebih dari satu detik.
Ponselku berdering pelan di dalam tas.
Mama.
Aku mengangkatnya cepat, menekan tombol hijau sambil berjalan pelan ke arah jendela.
“Ma…”
Suaraku pecah.
“Nayla, kamu baik-baik saja?”
Nada Mama terdengar ragu, tapi khawatir.
Aku mengangguk meski dia tak bisa melihat. “Baik, Ma.”
“Maafkan Mama…”
Suara itu langsung membuat tenggorokanku sesak.
“Kenapa?” tanyaku lirih.
“Mama tidak bisa berbuat apa-apa. Semua ini sudah diatur papamu dan keluarga Reyhan sejak lama. Mama juga baru tahu semuanya kemarin malam. Kalau bisa, Mama yang menggantikan posisi kamu…”
Air mataku jatuh tanpa bisa ditahan. Tapi aku buru-buru menghapusnya.
“Sudah, Ma. Jangan menangis. Aku… aku bisa hadapi ini.”
Padahal aku sendiri bahkan belum tahu cara bertahan.
---
Setelah mandi dan mengganti pakaian, aku turun ke lantai bawah. Rumah itu sunyi. Lantai marmernya dingin, dindingnya putih bersih tanpa foto keluarga.
Di meja makan, hanya ada satu cangkir kopi dan piring kosong.
Reyhan duduk di sana, membaca koran. Ponselnya tergeletak di samping tangan kanannya. Dia memakai jam tangan hitam yang mencolok, menambah kesan kuat pada sosoknya.
Saat melihatku datang, dia hanya melirik sekilas. Lalu kembali membaca.
Aku berdiri diam beberapa detik sebelum memutuskan duduk di ujung meja, jauh darinya.
Tak ada sapaan. Tak ada senyum. Hanya suara detik jam yang terus berdetak.
“Kau harus pakai dress biru malam ini. Mamaku menyukai warna itu. Aku tidak mau dia mulai bertanya kenapa selera istriku buruk.”
Aku mengangguk, walau mataku mulai panas.
Kenapa pria ini begitu mudah merendahkan?
“Ada pertanyaan?” tanyanya tanpa menoleh.
Aku menatap meja, mengepal tangan. “Ada.”
Dia akhirnya menurunkan koran. “Apa?”
“Kalau kau benci aku… kenapa tetap menikahiku? Kenapa tidak cari cara lain untuk balas dendam?”
Dia tersenyum tipis, lalu menatapku dengan mata gelapnya.
“Karena ini cara paling menyakitkan. Papamu sudah membunuh Papaku, sekarang giliran kau yang merasakan hukuman atas perbuatannya.”
Aku menelan ludah.
“Dan satu hal lagi,” tambahnya, “jangan coba-coba keluar dari rumah ini tanpa izin. Kamu pikir aku tak bisa membuat hidupmu lebih buruk dari ini?”
Aku mengangguk pelan, meski napasku mulai sesak.
---
Malam itu, aku berdiri di depan cermin.
Dress biru tua yang Reyhan pilih tergantung pas di tubuhku. Riasan di wajahku sempurna, tapi jiwaku berantakan. Aku tak kenal siapa diriku sekarang.
Kupandangi pantulan wajah di kaca, lalu berkata pada diri sendiri:
“Kau akan tetap hidup, Nayla. Bahkan jika tak ada yang berpihak padamu.”
Lalu aku keluar kamar, melangkah menuju mobil hitam yang menunggu di halaman.
Suamiku menatapku dingin dari kursi kemudi, tanpa sepatah kata.
Dan perjalanan menuju makan malam keluarga itu… terasa seperti perjalanan menuju medan perang.