Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.
Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.
Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Dunia yang tak pernah ia tahu sebelumnya.
Mulai saat itu, dunianya pun berubah.
(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
"One ... two ... three ..., one ... two ... three ... four ...."
Berbarengan dengan hitungan berritme itu, aku mencoba menyelaraskan gerakan sebisaku.
Kedua tangan setengah terangkat. Saat"one" terlontar, mulai kugerakkan kedua tangan ke kiri dan ke kanan. Agak terlambat.
Seharusnya tepat di "three" tanganku sudah bergerak maju mundur. "One" telah berlalu, tapi tanganku baru akan bergerak ke kanan.
"STOP!"
Pekikan menggelegar. Menggema hingga ke ujung ruangan. Memancing setiap pasang mata untuk memandang.
Aduh! Kena lagi deh.
"Gimana sih kalian!? Ini sudah pengulangan yang ke berapa, HAH?". Sergah wanita yang dari tadi berdiri berkacak pinggang memelototi kami bertiga.
Nadanya penuh greget. Disusul dengan bunyi decak yang nyaring.
"Saya ...."
Kalimatku tenggelam, aku ingin membuat alasan, tapi urung. Bagaimanapun juga, alasanku hanya akan menambah porsi semprotan yang kuterima.
Kami bertiga menatap lantai. Mengkerut lesu. Tak bernyali membalas tatap wanita superior yang baru saja kukenal itu. Ia menepuk jidat. Menghembuskan nafas ekstra.
"Kalian niat enggak sih?" Wanita yang dipanggil Indri itu mendecak untuk kesekian kalinya. "Udahlah, capek gue! Sisanya kalian usaha sendiri deh."
"Baik, Kak."
Tanpa mengucap apa-apa lagi, kak Indri berpaling dari kami. Berwajah bak buah yang belum masak.
Kami tak merubah posisi. Melirik perlahan. Melihat punggung basah penuh keringat itu meninggalkan ruangan, kami serempak terduduk lunglai.
Perasaan lelah bercampur aduk dengan kesal menggelayuti. Aku merasa sudah berusaha penuh.
Ternyata menari tak semudah yang kubayangkan.
Awalnya kuanggap menari hanya menggerak-gerakan tubuh sesuai irama, rupanya tidaklah sesimpel itu. Terlebih jika dilakukan oleh sekumpulan individu.
"Nice try, guys." Hibur gadis yang tetiba mendekat. Menyodorkan beberapa handuk kecil. Tersenyum lembut.
"Dibawa santai aja, toh baru hari pertama." Lanjutnya.
Aku sependapat dengannya. Dalam benakku selalu tergaung "hari pertama, jadi wajar".
Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku berkenalan dengan yang namanya koreografi.
Sebagai percobaan perdana, terlalu banyak salah di sana sini, membuat siapapun yang melihat, merasa gregetan. Bahkan aku sendiri pun tak kalah gregetnya.
Sepanjang hidupku, hingga aku kelas sebelas SMA, belum pernah belajar hal apapun yang berkaitan dengan koreografi.
Ternyata berbeda dengan main voli, untuk gerakan kecil saja, seharian pun belum sanggup kutaklukkan.
Untungnya aku tak sendirian. Ada dua orang yang senasib denganku. Satunya sudah kukenal sejak audisi, Octavia Viola.
Gadis berperawakan tinggi berkulit kuning langsat. Tentunya sangat menawan. Membuat aku—yang notabenenya sesama gadis— minder bukan main. Aku yakin ia calon artis yang menjanjikan. Kupanggil ia Viola.
Satunya lagi baru kenal hari ini. Malah belum sempat kenalan, tapi aku tahu namanya. Karena namanya sangat memorable.
Julianna Fortune Gwendoline. Nama ke-Inggris-Inggris-an yang tak lazim didengar telinga dan sulit untuk diucapkan. Terlebih bagiku, yang aksen Inggrisnya melokal.
Kuperhatikan wajahnya yang manis itu, justru membuat kepalaku dijejali rasa penasaran.
Entah mengapa, nama dan wajah si pemilik nama berseberangan. Nama ke-Inggris-Inggris-an, Wajah ke-Asia timur-an. Pemandangan yang langka.
Kuusap keringat yang membanjiri tubuh. Rasanya lepek seperti sehabis berenang dalam lautan keringat. Dari atas hingga bawah. Memberatkan handuk dalam sekejap.
"Terima kasih, Kak." Ucapku menyusul.
"Semangat Guys, ini belum apa-apa." Ucap seseorang setengah berteriak.
Entah mengapa, kalimat barusan tak terdengar seperti kalimat penghibur.
Tak cukup sampai di situ. Selain tubuhku yang teramat sangat lelah, pikiranku pun tak kalah lelahnya.
Otakku akhir-akhir ini rutin disusupi sebuah istilah, "Idol" dengan pelafalan "Aidol". Istilah itu sudah umum digunakan kepada pelaku dunia hiburan seperti kami.
Berkat hari ini aku tahu satu hal penting.
Menjadi idol ternyata tidaklah mudah.
Apa aku bisa menjadi idol?
Tidak. Tidak boleh begitu! Aku harus bisa menjadi idol apapun yang terjadi.
Demi orang itu, aku harus melakukannya.