Aurelia Nayla, gadis pendiam yang terlihat biasa saja di mata teman-teman kampusnya, sebenarnya menyimpan misi berbahaya. Atas perintah sang ayah, ia ditugaskan untuk mendekati Leonardo—dosen muda yang terkenal dingin dan sulit disentuh. Tujuan awalnya hanya satu: membalas dendam atas kematian ibunya.
Tapi semua berubah saat Lia menyadari, kode rahasia yang ia cari tak hanya terkait kematian, tapi juga masa lalu yang jauh lebih kelam dan rumit. Apalagi ketika perasaannya mulai goyah. Antara kebencian dan cinta, antara kebenaran dan kebohongan, Lia terjebak di dunia penuh tipu daya… termasuk dari orang yang selama ini ia percaya.
Akankah Leo dan Lia tetap saling menghancurkan, atau justru saling menyelamatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal sebuah misi
Langit pagi di atas Universitas Savalone tampak terlalu cerah untuk hati yang sedang menyimpan dendam. Di tengah keramaian mahasiswa baru yang berlalu-lalang dengan wajah penuh semangat dan harapan, Aurelia Nayla berdiri tegak di depan gerbang utama kampus. Bukan karena terpesona oleh megahnya arsitektur klasik universitas itu, tapi karena otaknya sedang bekerja—mengukur, menakar, dan menghitung segala kemungkinan.
Penampilannya sederhana, sesuai aturan: kemeja putih bersih, rok abu bergaris, dan sepatu pantofel hitam. Rambut panjangnya yang kecokelatan dibiarkan tergerai rapi, mempertegas kesan anggun. Tapi matanya—matanya menyimpan sesuatu yang berbeda. Ada ketegasan, ada ketajaman, seperti seorang penembak jitu yang sudah memilih target dan hanya menunggu momen menembak.
Di tangannya tergenggam map kulit hitam. Terlihat seperti map biasa, tetapi isinya bukan catatan kuliah ataupun formulir pendaftaran. Di dalamnya, terselip potongan-potongan foto buram, coretan tangan, dan sebuah nama yang dilingkari dengan tinta merah tebal:
Leonardo Venturi.
“Dengar baik-baik, Lia!”
Suara itu kembali menggema di pikirannya. Tegas, dingin, dan bergetar penuh tekanan. Suara Dario.
“Orang ini bukan target sembarangan. Jangan terburu-buru, tapi jangan juga terlalu lambat. Kita kejar waktu.”
Dario selalu bicara tentang waktu seolah itu adalah mata uang yang bisa habis kapan saja. Dan baginya, waktu memang tak pernah murah.
“Temukan simbol itu. Maka kau akan tahu kebenaran tentang ibumu.”
Ibunya. Sosok samar yang bahkan tidak pernah hadir dalam mimpinya. Tidak ada suara, tidak ada tawa, hanya nama yang dikubur bersama rahasia kematian yang tidak pernah selesai. Yang Lia tahu, ibunya telah tiada—dibunuh. Itu versi yang selalu ditanamkan Dario sejak ia kecil.
Dan pelakunya? Alessandro Venturi. Ayah dari Leonardo.
Kini Lia ada di sini. Mengaku sebagai mahasiswa baru, mengikuti orientasi, dan perlahan menyusup ke kehidupan sang dosen muda. Semua demi satu misi: balas dendam dan jawaban. Sebab jika bukan demi itu, buat apa hidupnya?
---
Aula utama universitas penuh sesak. Suara-suara saling bersahutan: perkenalan, candaan, derai tawa gugup mahasiswa baru. Aurelia berhasil mendapatkan kursi di baris tengah. Ia duduk tenang, diam dalam keramaian.
“Lia, ya?”
Suara riang dan cempreng muncul dari arah kanan. Seorang gadis dengan rambut dikuncir dua duduk di sebelahnya, wajahnya berbinar cerah seperti belum pernah mengenal istilah "hari buruk".
“Aku Nadin! Katanya kita sekamar di asrama. Aku udah ambil kasur bawah, kamu nggak keberatan kan?”
Aurelia hanya menoleh singkat, mengangguk. “Nggak.”
Nadin menyipitkan mata, lalu tersenyum geli. “Kamu dingin banget. Tapi cool sih. Kayak cewek drama Korea yang nyamar jadi detektif.”
Komentar itu membuat sudut bibir Lia nyaris terangkat. Hampir.
Nadin tak berhenti. Ia merogoh ranselnya dan mengeluarkan wadah makanan bening berisi risoles. “Mau? Mamaku paranoid anaknya mati kelaparan di hari pertama kuliah.”
“Gak, makasih.”
“Yah, lebih banyak buat aku, dong.” Nadin mengunyah risoles sambil bicara. “Kamu takut gendut ya? Hebat sih.”
Aurelia hanya diam. Perhatiannya segera tertarik ke depan ketika suasana aula mendadak tenang. Pintu besar terbuka, dan seseorang masuk.
Langkahnya mantap, tubuh tegap, kemeja hitam tergulung sampai siku. Wajahnya seperti diukir—rahang tegas, hidung tinggi, mata tajam yang menyapu ruangan seperti sedang memilih siapa yang pantas diperhatikan.
Tanpa perkenalan, Lia tahu: Itu dia.
Leonardo Venturi.
“Saya dosen pengganti untuk semester ini,” suaranya berat, tenang, dan tak memberi ruang untuk sanggahan. “Leonardo. Panggil saya Leo. Saya tidak tertarik jadi teman kalian. Saya tidak butuh pujian. Saya hanya peduli hasil.”
Beberapa mahasiswa terkekeh, mencoba mencairkan suasana. Tapi tatapan datarnya membuat mereka langsung bungkam.
Nadin berbisik pelan, “Dingin banget, sumpah. Tapi cakep. Aku rela diulang semester kalau bisa liatin dia tiap hari.”
Lia mengabaikan komentar itu. Tatapannya tak beranjak dari pria di depan kelas. Bukan karena pesona, tapi karena… teka-teki. Dimana simbol itu berada? Di bagian tubuh mana?
---
Malam itu, kamar asrama.
Nadin sudah tertidur dengan posisi aneh, satu kaki menggantung dari ranjang, wajah masih tertutup masker mentimun. Sementara Lia duduk di meja belajar, cahaya laptop menyala redup.
Folder rahasia terbuka. File-file terenkripsi berisi foto-foto tak biasa: tato spiral, dan simbol mirip glyph kuno.
Pesan terakhir dari Dario muncul di layar:
> “Temukan simbol itu. Pastikan. Lalu kita lanjut ke langkah berikutnya.”
Namun, Dario tak pernah menjelaskan apa langkah itu. Ia hanya memerintah dan memastikan Lia tak pernah bertanya terlalu jauh. Itu sudah cukup lama jadi aturan tidak tertulis di antara mereka.
Satu pesan baru muncul.
> “Awasi dosen tua bernama Gianni. Jangan dekati.”
Lia mengetik balasan cepat.
> “Kenapa?”
Balasan muncul beberapa detik kemudian:
> “Nanti kau akan tahu. Fokus pada Venturi.”
Aurelia menghela napas. Layar laptop ia tutup. Dalam sunyi, hanya suara napas Nadin dan detak jantungnya sendiri yang terdengar. Ia memejamkan mata sejenak, mengulang lagi kalimat yang paling sering muncul dalam pikirannya akhir-akhir ini.
“Setelah semua ini selesai... apa aku bisa hidup tenang?”
---
Dua Hari Kemudian – Kelas Strategi Bisnis
Leo berdiri di depan kelas, seolah tidak tergoyahkan oleh suara gelisah mahasiswa yang baru saja melihat nilai kuis pertama mereka—mayoritas gagal.
“Ini bukan kontes keberuntungan,” katanya, suaranya tegas. “Kalau kalian tidak bisa berpikir, setidaknya belajar diam dan tidak menyusahkan.”
Beberapa mahasiswa tertawa hambar. Lia tetap tenang di tempat duduknya.
Tatapan Leo menyapu ruangan. Lalu berhenti di dirinya. Sesaat. Tapi cukup lama untuk membuat jantung Lia berdetak sedikit lebih cepat.
Mata itu.
Tatapan itu.
Seolah keduanya pernah bertemu entah di kehidupan lain atau dalam tragedi yang belum selesai.
Detik itu terasa seperti keabadian. Dunia di sekitar mereka membisu.
Belum cinta. Tapi juga bukan benci.
Mungkin… pertanda bahwa misi ini tak akan sesederhana yang Lia bayangkan.
Dan jauh di balik pandangan datar Leonardo, ada sesuatu yang juga sedang mencari. Mencari potongan teka-teki yang belum ia tahu… ternyata ada dalam diri Aurelia Nayla.
---