Revenge of Heart
“Ku mohon… lepaskan aku…” Sarah berlutut di kaki pria paruh baya itu, suaranya parau dipenuhi keputusasaan.
“Aku tidak gila! Aku harus bertemu anak dan… suamiku…” Tangannya gemetar menarik kaki mertuanya yang berdiri dengan tatapan dingin.
Daniel menatapnya tanpa belas kasih. Dengan isyarat tajam, ia memerintahkan petugas rumah sakit jiwa untuk menyeret Sarah.
“Tidak… jangan! Aku tidak gila!!” Sarah meronta, tangisnya pecah histeris.
“Urus dia sampai selesai. Pastikan tak ada jejak sedikit pun,” ucap Daniel dingin kepada Peter, asisten pribadinya.
Peter menundukkan kepala dalam-dalam, tanda patuh. Begitu Daniel beranjak pergi, ia segera berkoordinasi dengan Eddy, dokter yang telah disuap untuk merekayasa segalanya. Rekam medis dipalsukan, diagnosis dimanipulasi—agar orang-orang percaya Sarah memang sakit jiwa dan tidak mencurigai keluarga Jeffreyson dalangnya. Tak lama, tubuh lemah Sarah dilemparkan ke ruang isolasi. Ruangan itu sempit, dinginnya dinding menusuk sampai ke tulang, dan tanpa adanya jendela, hanya ada ventilasi kecil di atas. Udara pengap menusuk paru-paru. Sarah terduduk di ujung pintu, tangannya menghantam keras-keras pintu besi.
“Tolong… keluarkan aku… tolong…” suaranya serak, nyaris tak terdengar, namun hanya gema kesunyian yang menjawab.
Sarah terkulai lemah di lantai dingin yang menusuk tulangnya. Air mata terus mengalir tanpa henti, membuat wajahnya basah, bibirnya bergetar hebat setiap kali ia menarik napas di sela tangis. Dari mulutnya, hanya dua nama yang keluar lirih penuh kerinduan.
“Aiden… Chris…”
Nama itu bagai mantra yang ia ulang-ulang, seolah bisa memanggil dua sosok yang paling ia cintai agar kembali ke sisinya. Aiden, bayi mungilnya yang baru berusia tiga bulan—aroma tubuhnya masih begitu jelas di ingatan. Chris, suaminya yang selalu berjanji tak akan pernah melepaskan Sarah.
“Aku ingin bertemu mereka… tolong… keluarkan aku!!!” Sarah menjerit histeris, menghantam pintu besi dengan tenaga terakhir yang ia punya.
Namun suara itu hanya membentur dinding tebal, tenggelam dalam keheningan ruang isolasi yang pengap dan menyesakkan. Lidahnya terasa getir, dadanya penuh sesak. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi karena rasa takut yang kian mencekik. Dalam benaknya, hanya wajah Aiden yang tersenyum dan mata Chris yang hangat yang terus menari—membuat hatinya semakin remuk.
Sementara itu di sebuah ruangan gelap, pengap, dan berdebu, tubuh Chris tergeletak tak berdaya. Ia tertelungkup di lantai semen dingin, wajahnya penuh lebam, darah mengalir dari pelipis hingga membasahi sudut bibirnya. Napasnya tersengal, seolah tubuhnya memaksa tetap hidup meski hampir kehilangan tenaga. Semua ini terjadi bersamaan saat Sarah diseret paksa masuk ke rumah sakit jiwa. Chris, saat itu panik mencari istrinya yang tiba-tiba menghilang dari area parkir apartemen, saat dirinya sedang menurunkan barang dari bagasi mobilnya. Chris mendengar jeritan Sarah dan suara tangis Aiden serta suara gaduh. Namun naas, sebelum berhasil menghentikan penculikan Sarah dan Aiden, beberapa pria bayaran mencegatnya, menghajar tanpa ampun hingga ia tak sadarkan diri.
“Di mana bayi itu sekarang?” suara dingin Peter terdengar di sudut ruangan dimana Chris terkapar.
Ia menoleh pada seorang preman yang menunduk hormat.
“Bayi itu aman, sekarang sudah dibawa ke rumah Tuan Jeffreyson.” jawabnya singkat.
Peter mengangguk tipis, bibirnya terangkat membentuk senyum penuh kemenangan. Semua sudah sesuai rencana. Daniel tak ingin ada celah yang membocorkan rahasia ini. Seandainya Chris, putra bungsu keluarga Jeffreyson patuh pada ayahnya dan tidak menikahi Sarah, semua kekacauan ini tak akan terjadi. Namun kini, harga yang harus Chris bayar sangat mahal: cinta terlarang itu dipatahkan dengan cara paling kejam.
***
Tangisan Aiden menggema di dalam kamar mewah keluarga Jeffreyson. Seorang babysitter berulang kali mencoba menenangkan bayi itu dengan botol berisi susu, namun sia-sia. Wajahnya panik, keringat dingin mengalir di pelipis. Daniel, yang sedang membaca majalah di ruang keluarga, menghentikan kegiatannya begitu mendengar tangisan cucunya. Ia berdiri, langkahnya berat namun berwibawa, menuju kamar bayi.
“Berikan padaku.”
Suara rendahnya membuat babysitter buru-buru menyerahkan Aiden yang terus menangis keras.
Daniel menatap wajah mungil cucunya. Sejenak, sorot mata kejam yang biasa menghiasi wajahnya berubah lembut. Jemarinya yang dingin menyentuh pipi Aiden, lalu ia bertanya, “Apakah dia sudah minum susu?”
“T-tidak, Tuan. Sudah saya coba, tapi Bayi Aiden menolak.” Babysitter menjawab dengan nada cemas.
Aiden terus menangis, tubuhnya meronta. Daniel mengambil botol susu dari tangan babysitter.
“Aku yang akan menenangkannya,” ucapnya datar, lalu membawa sang cucu keluar dari kamar.
Di tempat berbeda, Chris kini sudah terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya penuh perban, tubuhnya lemah, napasnya berat. Ruangan itu dijaga ketat oleh beberapa bodyguard. Peter mengawasi dari balik pintu kaca, memastikan semua berjalan sesuai perintah Daniel. Chris masih hidup, tapi kini segalanya dalam cengkeraman penuh sang ayah. Luka-luka akibat hantaman preman masih jelas, meninggalkan bekas bukan hanya di tubuh, tapi juga di hatinya. Di ruang isolasi rumah sakit jiwa, Sarah meraung, menjerit meminta kebebasan. Tubuhnya berusaha melawan petugas yang menahannya, hingga akhirnya sebuah jarum suntik menembus lengannya. Cairan dingin itu membuat tubuhnya mereda perlahan. Kelopak matanya berat, suaranya semakin lirih,
“Aiden… Chris…”
Dan dalam hitungan detik, kesadarannya perlahan menghilang, meninggalkan isak tangis yang tertahan di udara pengap.
***
Dalam mimpinya, Chris berlari di hamparan padang rumput luas yang hijau, dibelai lembut sinar matahari pagi. Angin berhembus, membawa suara tawa dari sosok yang paling ia rindukan. Sarah. Ia melihat sosok istrinya berlari riang di hadapannya, gaun Sarah berkibar tertiup angin, rambut panjangnya memantulkan cahaya. Sesekali, Sarah menoleh ke belakang, tatapannya penuh cinta, lalu tertawa kecil sebelum kembali berlari menjauh.
“Sarah… tunggu aku!” seru Chris, terengah, namun senyumnya tak bisa ditahan.
Ia terus berlari, menggapai tangan istrinya yang hampir bisa diraih. Hanya beberapa langkah lagi… hanya sedikit lagi… Namun tiba-tiba, cahaya matahari yang terang menyilaukan pandangannya. Sosok Sarah perlahan memudar, ditelan cahaya itu, hingga akhirnya lenyap sama sekali.
“Sarah...!!!” teriak Chris, suaranya pecah, tangannya meraih udara kosong.
Air mata jatuh, menodai mimpinya yang indah berubah menjadi mimpi buruk. Di padang rumput itu, ia berdiri sendirian. Tawa yang tadi mengisi udara kini berganti keheningan, menyisakan jeritan histerisnya memanggil nama istrinya berulang kali.
“Sarahhh!!!” teriak Chris di dalam mimpinya, namun suara itu mendadak terhenti ketika tubuhnya tersentak.
Mata Chris terbuka lebar, nafasnya memburu seolah ia baru saja berlari sangat jauh. Sekelilingnya buram, bau obat-obatan menusuk hidungnya. Pandangan matanya menangkap langit-langit putih rumah sakit. Kepalanya berdenyut hebat, luka di pelipis terasa perih. Chris mengerang pelan, mencoba menggerakkan tubuh, namun lengannya terasa berat karena infus menusuk kulitnya.
“Sa… rah…” bisiknya parau, suaranya hampir tak terdengar.
Air mata kembali mengalir, mengingat jelas mimpi yang begitu nyata. Tiba-tiba suara pintu berderit. Seorang bodyguard masuk, tatapannya dingin, lalu segera keluar lagi setelah memastikan Chris sadar. Tak lama, langkah sepatu rapi terdengar. Peter muncul, berdiri di sisi ranjang dengan senyum samar.
“Sepertinya anda baru saja mengalami mimpi buruk, Tuan Muda,” ucap Peter datar, menatap Chris yang seolah-olah membaca isi hatinya.
Chris menoleh, matanya merah basah.
“Sarah… di mana Sarah?! Dimana Aiden… di mana mereka?!” suaranya pecah, penuh kecemasan.
Peter tidak langsung menjawab, hanya menghela napas.
“Istirahatlah terlebih dahulu. Kondisi anda belum stabil.”
Namun di balik ketenangan itu, jelas ada sesuatu yang disembunyikan. Chris menggenggam selimut dengan erat, hatinya berdegup kencang. Chris akhirnya sadar. Potongan-potongan peristiwa sebelum ia pingsan kembali menghantam pikirannya: teriakan Sarah, tangisan Aiden, dan wajah dingin para preman. Semua jelas. Ini semua pasti ulah Daniel Jeffreyson, sang ayah. Mata Chris merah berapi-api. Dengan sisa tenaga, ia bangkit dari ranjang, mencabut jarum infus yang menancap di lengannya. Tangannya langsung mencengkeram kerah baju Peter, menariknya mendekat.
“Cepat katakan di mana Sarah dan Aiden?! Jangan coba-coba menyentuh mereka!” raung Chris dengan suara parau, namun penuh murka.
Peter sempat terhuyung, namun tatapannya segera menajam, dingin menusuk. Amarah melintas di matanya—bukan hanya karena ditantang, tapi juga karena ia merasa direndahkan oleh seseorang yang selama ini ia lindungi keluarganya.
“Lepaskan.” Suaranya rendah, namun tajam seperti pisau.
Dengan satu gerakan keras, ia menyingkirkan tangan Chris. Wajahnya mendekat, bibirnya menyeringai sinis.
“Kau tidak akan pernah bertemu dengan Sarah lagi… selamanya.”
Ucapan itu menghantam dada Chris seperti palu.
“Apa yang kau katakan?!” teriaknya, tubuhnya bergetar menahan amarah.
Ia berusaha mengejar Peter yang melangkah keluar dengan tenang, seolah tak terguncang sedikit pun. Namun sebelum Chris sempat melangkah lebih jauh, dua bodyguard bertubuh besar sudah menahannya. Mereka mendorongnya kembali ke ranjang dengan paksa.
“Lepaskan aku! Sarah! Aiden!” Chris berteriak histeris, suaranya pecah penuh putus asa.
Tapi yang terdengar hanyalah gema tangisnya di kamar perawatan yang terkunci rapat.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments