Jalan Kebebasan

Tangisan Aiden semakin keras dalam dekapan sang babysitter yang terlihat panik. Tubuhnya gemetar, tak tahu bagaimana menenangkan bayi itu. Tiba-tiba—

BRAK!

Pintu kamar terbuka keras. Babysitter itu terkejut melihat ke arah suara itu, matanya membelalak. Di ambang pintu berdiri Chris, wajahnya basah oleh air mata, sorot matanya terbakar oleh rasa rindu dan sekaligus amarah. Tanpa ragu, Chris berlari masuk. Tangannya langsung merebut Aiden dari dekapan babysitter. Bayi mungil itu menangis semakin keras, namun begitu berada dalam pelukan Chris, tangisnya perlahan melemah.

“Aiden… Aiden... putraku…” suara Chris pecah, bibirnya bergetar hebat. Air matanya mengalir tanpa bisa ia bendung lagi.

“Maafkan ayah… maafkan ayah! Ayah merindukanmu, sangat merindukanmu…” Jemari Chris mengelus lembut pipi mungil Aiden, lalu mengecup keningnya berkali-kali.

Seakan Chris ingin memastikan bahwa semua ini nyata, bukan sekadar mimpi. Naluri satu darah menarik Aiden kembali ke pelukan ayahnya; tangisannya reda, hanya isakan kecil tersisa, kepalanya menempel erat di dada Chris.

Chris menatap babysitter dengan sorot mata yang menusuk.

“Bagaimana bisa Aiden berada di sini Bagaimana bisa kau bersama putraku??” bentaknya.

Tubuh babysitter itu gemetar. Ia menunduk ketakutan.

“Saya… saya hanya bekerja di sini…” suaranya nyaris hilang.

Langkah kaki terdengar di luar. Daniel dan Peter berhenti tepat di depan pintu, melihat pintu kamar Aiden terbuka lebar. Tanpa bertanya lebih jauh, Daniel masuk. Pandangannya langsung tertuju pada pemandangan tak ia duga: Chris berdiri mendekap erat Aiden sambil menangis, sementara babysitter berdiri tak jauh dengan wajah yang pucat pasi. Chris menoleh. Menyadari kedatangan sang ayah. Tatapannya menyala penuh amarah, menusuk kepada Daniel.

“Kau yang melakukan semua ini???” suaranya bergetar, namun penuh daya hantam.

“Ayah..., kau yang menculik Sarah dan Aiden?? Ayah tega menghancurkan keluarga kecilku?? Dan sekarang... dimana Sarah???”

Daniel terdiam sepersekian detik, namun segera menegakkan tubuh.

“Persiapkan dirimu malam ini juga. Besok pagi kau dan Aiden akan terbang ke Afrika Selatan. Di sana kau akan memulai hidup baru dan memimpin perusahaan kita. Tak ada kata penolakan. Ini perintah!”

Chris memandang ayahnya dengan tatapan penuh luka.

“Jika aku tak mau? Apa yang akan ayah lakukan??”

Daniel mendengus, wajahnya dingin.

“Mudah saja bagiku… ingat!!! Sarah masih ada di tanganku. Dia bisa hilang dari hidupmu selamanya.”

Chris terdiam. Tubuhnya lalu jatuh terduduk di lantai, Aiden masih ia peluk dengan erat seakan takut direnggut kembali. Bibirnya bergetar, air matanya tak berhenti mengalir.

“Jadi… ayah mengancamku dengan menggunakan Sarah? Kenapa harus Sarah??? Kenapaaaa??” jeritnya parau, penuh putus asa.

Daniel menatapnya dengan kebencian yang ditahan.

“Karena wanita miskin itu dengan beraninya masuk ke dalam hidupmu dan membuat mu menjauh dariku!!! Aku tak menyukainya! Kau menentang perintahku dengan menikahinya. Aku benci wanita miskin itu!”

Tangisan Aiden pecah lagi, seolah merasakan ketegangan antara ayah dan kakeknya. Chris menunduk, menenangkan putranya dengan belaian lembut. Air matanya jatuh mengenai tangan kecil Aiden. Daniel tak bergeming.

“Tak ada lagi perdebatan. Besok kau akan pergi.”

Lalu ia berbalik meninggalkan ruangan bersama Peter.

Chris tetap duduk di lantai, mendekap Aiden erat-erat. Isakannya pecah, bahunya terguncang.

***

Chris sudah kembali kekamarnya, duduk di kursi goyang sementara ditangannya menggendong Aiden yang tengah menyusu dengan lahap dari botol susu. Wajah mungil itu sesekali mengerjap, jemari kecilnya menggenggam erat jari telunjuk sang ayah. Air mata Chris jatuh satu per satu, membasahi pipinya. Ia tak berusaha menghapusnya, betapa hancurnya hati seorang ayah yang dipaksa berpisah dengan istri dan anaknya. Kini, saat keajaiban kecil itu kembali ke pelukannya, ia bersumpah,

“Kita akan menemukan ibu… kita akan berkumpul kembali,” bisiknya lirih sambil mengecup kening Aiden.

***

Di luar kamar, langkah kaki terdengar tergesa–gesa. Thomas berlari kecil melewati halaman luas keluarga Jeffreyson. Nafasnya terengah, wajahnya tegang bercampur gelisah. Dirinya membawa sebuah rahasia, hasil penelusuran diam-diam yang ia lakukan selama ini. Tangannya sempat ragu di depan pintu kamar Chris. Ia menghela napas panjang, menegakkan tubuh, lalu mengetuk pelan. Tok… tok… tok…

“Tuan Chris…” panggilnya hati-hati.

Chris mendongak, terkejut mendengar suara Thomas. Dengan satu tangan ia menenangkan Aiden yang masih menyusu, lalu beranjak ke arah pintu. Saat pintu terbuka, mata Thomas melebar—ia melihat Aiden berada di pelukan Chris.

“Ya Tuhan… Aiden?” suaranya tercekat, nyaris tak percaya.

Chris mengangguk, senyum penuh air mata terukir di wajahnya.

“Dia kembali padaku, Thomas… anakku kembali padaku…”

Thomas terdiam sejenak, dadanya bergemuruh. Namun ia sadar, kabar yang dibawanya jauh lebih penting. Ia melangkah masuk, dan menutup pintu rapat-rapat, lalu mendekat dengan wajah serius.

“Tuan... aku mempunyai suatu kabar. Ini... ini tentang Sarah…”

***

Beberapa jam lalu...

Thomas duduk di dalam mobilnya yang diparkir agak jauh dari komplek rumah keluarga Jeffreyson. Malam itu udara dingin menusuk, namun keringat dingin justru mengalir di pelipisnya. Ponselnya bergetar, panggilan dari orang suruhannya masuk. Dengan cepat Thomas menjawab.

“Ya, katakan padaku. Kau menemukan sesuatu?” suaranya tegang.

Dari seberang, suara pria itu terdengar mantap.

“Kami menemukannya! Nyonya Sarah… dia berada di Ravenhill Asylum—sebuah rumah sakit jiwa di pinggiran kota. Kami sudah pastikan keberadaannya karena ada staf rumah sakit itu yang kami bayar untuk diam-diam memberi informasi tentang Sarah. Dan…” suara itu terhenti sebentar sebelum melanjutkan.

“Dokter yang menangani Sarah ternyata menerima sejumlah besar, uang dari Tuan Daniel. Rekam medis Nyonya Sarah dipalsukan. Mereka membuatnya seolah-olah Nyonya Sarah mengalami gangguan mental berat agar bisa ditahan di sana.”

Thomas membeku. Matanya membulat mendengar laporan dari informannya dilapangan. Lebih mencengangkan lagi saat Thomas membaca detail laporan dan foto-foto yang dikirim via e–mail. Ada tanda tangan dokter, bukti transfer uang, bahkan foto Sarah yang tampak pucat dan kurus, duduk sendirian di ranjang rumah sakit.

“Ya Tuhan…” gumam Thomas, dadanya berdegup keras.

“Jadi benar… Tuan Daniel menjebloskannya.”

Tangannya bergetar memegang ponsel. Dalam hatinya, Thomas dilanda pergulatan besar—antara loyalitasnya pada Daniel atau menyelamatkan Chris yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.

***

Kembali ke masa kini...

Thomas berdiri di depan Chris, yang tengah memangku Aiden dengan mata sembab. Ia masih tertegun, tak percaya bisa menyaksikan ayah dan anak itu bersatu kembali. Tapi ingatan tentang laporan tadi menghantam keras pikirannya.

***

Aiden kini tidur tenang setelah tangisan panjangnya reda. Bayi kecil itu tak tahu apa yang sedang dialami ayah dan ibunya. Chris membungkuk, lalu mencium lembut kening putranya, dan menatap dengan lama wajah mungil itu ingin menyimpan setiap detail di hati dan pikirannya. Chris masih duduk di tepi ranjang, matanya sembab, wajahnya penuh kelelahan. Thomas yang berdiri di dekat pintu, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Dadanya terasa berat melihat pemandangan itu—ayah muda yang seharusnya bahagia kini direnggut kebahagiaannya oleh ayah kandungnya sendiri, Daniel Jeffreyson.

“Thomas…” suara Chris lirih, nyaris patah.

“Iya, Tuan…” jawab Thomas, suaranya juga bergetar.

Chris menggeleng keras, menekan dadanya yang sesak.

“Ayahku… tidak! Dia bukan ayahku…!” isaknya pecah, tubuhnya bergetar.

Thomas menunduk, menahan emosinya sendiri. Hatinya meradang, tapi ia tahu Chris harus segera mendengar kebenaran tentang Sarah.

“Dia… dia akan mengirimku dan Aiden ke Afrika Selatan…” Chris kembali bersuara, matanya kosong menatap lantai.

“Aku harus bagaimana? Aku tak bisa meninggalkan Sarah… aku belum menemukannya. Tapi jika aku menolak… dia… dia akan melukai Sarah. Bahkan mungkin—” Chris menghentikan kata-katanya, menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Tubuhnya berguncang hebat. Ia tak sanggup membayangkan kemungkinan terburuk itu. Thomas menarik napas panjang. Ia tahu ini saatnya. Dengan tangan gemetar, ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponselnya. Ia melangkah mendekat dan menyodorkannya kepada Chris. Chris mengangkat kepalanya, merasa bingung.

“Apa ini?” tanyanya serak, matanya merah karena menangis.

Thomas hanya mengangguk pelan, memberi isyarat agar Chris melihat. Chris menatap layar ponsel itu. Seketika matanya membesar, tubuhnya menegang. Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika melihat foto-foto itu. Foto Sarah, sang istri. Terlihat Sarah duduk di ranjang besi dengan piyama pasien rumah sakit. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, rambutnya kusut. Matanya kosong kehilangan cahaya dan harapan hidup.

“Sa… Sarah…” bibir Chris bergetar, air matanya jatuh tanpa henti.

Tangannya menyentuh layar ponsel itu, seakan ingin meraih sosok istrinya yang terjebak di balik foto.

“Apa maksud dari foto-foto ini???” suaranya meninggi, antara marah dan putus asa.

Thomas menelan ludah, suaranya berat saat menjawab.

“Nyonya Sarah… dia… dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Tuan besar dalang dibalik semua ini. Rekam medis Sarah dipalsukan. Dokter disana disuap oleh Tuan Daniel. Itu sebabnya tak ada jejak keberadaan Nyonya Sarah."

Chris terdiam. Air matanya jatuh menetes ke layar ponsel yang masih menampilkan foto Sarah. Tangannya mengepal kuat, bibirnya bergetar tak mampu berkata-kata. Lalu tiba-tiba, suara Chris pecah penuh amarah.

“AYAAAHHHHHH!!!!!!!” teriaknya menggema, membangunkan Aiden yang kembali menangis keras.

Thomas sontak mendekat, menenangkan Chris sekaligus mencoba menenangkan bayi kecil itu. Tangisan Aiden semakin keras setelah mendengar teriakan ayahnya. Wajah mungilnya memerah, tangannya mengepal kecil, tubuhnya bergetar. Thomas yang panik segera menggendong bayi itu.

“Sssttt... tenanglah, Aiden... paman ada di sini...” suara Thomas lembut, berusaha menenangkan.

Ia menggoyang-goyangkan tubuh kecil itu dengan hati-hati.

***

Di sisi lain, Chris berjalan cepat dengan langkah menghentak. Nafasnya tersengal, dadanya sesak. Tubuhnya dipenuhi bara amarah bercampur pilu. Setiap langkah terasa berat, tapi tekadnya lebih besar dari rasa takutnya. Ia harus mendapatkan jawaban. Ia harus tahu apa yang ayahnya lakukan pada Sarah. Tanpa pikir panjang, Chris mendobrak pintu kamar Daniel hingga terbuka keras menghantam dinding.

Daniel, yang sudah mengenakan piyama tidurnya, berdiri dengan wajah tenang. Tatapannya dingin menembus putranya yang datang penuh amarah.

“Ini sudah larut malam!” suara Daniel datar, tak terguncang sedikit pun.

“Tidakkah kau punya sopan santun masuk ke kamarku seperti ini?”

Chris berdiri di ambang pintu, kedua tangannya terkepal begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Matanya merah, napasnya memburu.

“Sarah...” suaranya pecah, tubuhnya bergetar.

“Ini tentang Sarah... apa yang telah kau lakukan padanya?! Apa salah dia padamu hingga kau begitu kejam???” Air mata tumpah deras, membasahi pipinya.

Daniel menatapnya dengan dingin, lalu menyingkirkan cangkir teh di meja kecil samping ranjang hingga jatuh ke lantai.

“Sudah cukup, Chris!!! Kau bersikap lemah hanya karena seorang wanita. Pergilah ke kamarmu. Besok pagi kau akan melakukan perjalanan panjang.”

“Aku tidak akan pergi!” Chris meraung, suaranya serak penuh luka.

“Aku tidak akan meninggalkan Sarah! Malam ini juga... aku akan menjemputnya sendiri!”

Chris berbalik, melangkah cepat menuju pintu. Namun langkahnya terhenti mendadak.

“Seperti perintahku... lenyapkan dia,” suara Daniel terdengar jelas.

Ia sedang berbicara di telepon, tenang, seolah yang baru saja ia katakan bukanlah perintah pembunuhan. Chris membeku sesaat. Tubuhnya gemetar hebat. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ia tahu, tanpa ragu, bahwa yang dimaksud ayahnya adalah Sarah. Daniel menutup telepon, lalu menoleh. Senyum tipis, penuh arti, terlukis di bibirnya.

“Kau masih ingin melawanku, Chris? Ku persilahkan.”

Mata Chris membesar, tubuhnya lemas. Ia berbalik menatap ayahnya dengan wajah penuh ketakutan dan air mata. Lututnya lemas, hingga akhirnya ia jatuh berlutut di kaki Daniel.

“Jangan, Ayah... jangan sakiti Sarah...” suaranya pecah, isakan memenuhi kamar besar itu.

“Aku mohon... hentikan ini... aku... aku akan lakukan apa pun yang kau mau... asal jangan menyentuh dia...tidak...” Tangannya gemetar mencengkeram ujung piyama sang ayah.

Air mata Chris menetes deras, membasahi lantai marmer dingin. Daniel berdiri tegak, menatap ke bawah tanpa rasa iba, senyum tipisnya makin jelas, puas melihat Chris merendahkan dirinya. Kini Daniel menikmati momen ketika putranya menyerah sepenuhnya pada kekuasaannya.

“Bagus,” suara Daniel dalam, tenang, namun menusuk.

“Kau harus tahu Chris! Kau... bukanlah siapa-siapa tanpa aku.”

Chris terisak keras, tubuhnya gemetar. Air matanya jatuh tanpa henti.

“Aku mohon... Ayah... jangan sakiti Sarah. Dia tidak bersalah... aku mencintainya... salahkah itu...?” suaranya pecah, hampir tak sanggup berbicara.

Daniel menunduk dan kemudian mengangkat lengan Chris, menatap lurus ke mata putranya.

“Dengar baik-baik, Chris. Ini ultimatum terakhirku. Besok pagi, kau dan Aiden terbang ke Afrika Selatan. Kau akan memimpin perusahaan di sana, jauh dari negeri ini. Dan Sarah...” Daniel berhenti sejenak, membiarkan kata itu menusuk jantung Chris.

“...akan tetap hidup hanya jika kau patuh padaku.”

Chris menatap ayahnya dengan mata penuh air mata, wajahnya memerah karena tangis dan amarah yang bercampur.

“Mengapa... mengapa..., Ayah...? Kau tega menghancurkan keluarga kecilku!?” suaranya lirih, terbata–bata.

Daniel mendengus, melangkah menjauh, lalu berdiri menghadap jendela besar dengan punggung tegak.

“Salahmu karena kau jatuh cinta pada wanita yang tak pantas. Wanita miskin itu... dia bukan pilihanku. Dia tak layak menjadi bagian dari keluarga kita. Kau harusnya tahu itu, Chris.”

Chris menjerit putus asa, tangannya mengepal menghantam lantai.

“AKU MENCINTAINYA!!! Aku mencintai Sarah dengan seluruh hidupku! Ayah tidak punya hak untuk memisahkan kami! Tidak ada satu pun orang di dunia ini yang bisa—” suaranya pecah, tertahan oleh tangis yang semakin deras.

Daniel menoleh perlahan, menatap putranya dengan sorot mata membunuh.

“Kau salah besar. Aku mempunyai hak. Karena aku yang menciptakan segalanya untukmu. Kekuasaan, kekayaan, kehormatan, dan mata orang–orang yang memandang mu tinggi sampai hari ini... semua karena aku. Maka, kau wajib menuruti perintahku, atau Sarah...” Daniel memberi jeda, senyumnya kembali muncul penuh kekejaman,

“…akan hilang selamanya malam ini juga.”

Chris terhuyung, lalu tersungkur, tubuhnya lemas tak berdaya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, tangisnya pecah lebih keras.

“Tidaaak... jangan... jangan lakukan itu... aku mohon...”

Suara tangisnya menggema di kamar besar itu. Emosi yang selama ini ditahannya meledak tanpa kendali. Hatinya terkoyak. Antara cinta pada istrinya dan ketakutan akan kekejaman ayahnya, ia terjepit, terpenjara tanpa jalan keluar. Daniel melangkah pelan, lalu menepuk bahu putranya dengan dingin.

“Menangislah malam ini. Besok pagi, saat kau terbangun, pastikan semua sudah siap untuk berangkat. Aku akan pastikan Sarah tetap hidup... selama kau patuh pada semua perintahku.”

Chris terdiam, tubuhnya masih terguncang, air matanya terus mengalir membasahi lantai.

***

Malam itu udara di rumah sakit jiwa terasa dingin menusuk tulang, lampu koridor berpendar pucat dengan cahaya kuning redup. Sarah duduk di ranjangnya, memeluk lutut erat-erat seakan mencari kehangatan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya gelisah tanpa sebab yang jelas. Malam ini terasa berbeda—terlalu berat untuk ditanggung.

“Kenapa hatiku terasa sakit seperti ini...?” suaranya parau, nyaris berbisik.

Air mata jatuh membasahi pipinya.

“Aiden... Chris... aku ingin bertemu kalian... aku ingin pulang... memeluk kalian,”

Bola mata sarah menerawang ke seluruh ruangan sempit itu hingga tertuju ke pintu. Dengan langkah pelan penuh ragu, ia berdiri dan berjalan ke arah pintu kamarnya. Tangannya perlahan meraba kenop pintu gemetar memutar kenop, membuka sedikit celah. Ia menjulurkan kepala, meneliti sekitar. Koridor tampak lengang, hanya suara langkah sepatu karet yang sesekali terdengar dari jauh. Sarah menarik napas dalam-dalam, berusaha memberanikan diri keluar dari kamar. Tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang cleaning service mendorong keranjang besar dan tinggi berisi peralatan kebersihan. Keranjang itu penuh tumpukan kain pel, selimut ganti, dan beberapa ember kecil. Lampu lorong memantulkan bayangan panjang petugas itu, membuat jantung Sarah berdegup makin cepat.

“Tidak... jangan sampai dia lihat aku...” bisiknya panik.

Ia segera menunduk dan berlari kecil, bersembunyi di balik tiang tembok ketika petugas itu berhenti tak jauh dari situ. Cleaning service itu terlihat menghela napas, lalu meninggalkan keranjangnya sebentar untuk membersihkan cairan yang tumpah dari botol cairan pembersih yang berada di rak bawah keranjang. Kesempatan itu membuat Sarah berpikir cepat. Matanya menatap keranjang besar yang ditinggalkan.

“Inilah... jalanku untuk keluar...”

Dengan hati-hati, ia melangkah cepat, lalu menyelinap masuk ke dalam keranjang. Tubuhnya meringkuk, menyelip di antara tumpukan selimut tebal dan kain kotor. Nafasnya ditahan, jantungnya berdegup begitu keras seakan bisa terdengar keluar.

Beberapa detik kemudian, petugas itu kembali. Ia tak menyadari ada orang yang kini bersembunyi di dalam keranjang dorongnya. Dengan santai, ia mulai mendorong keranjang itu kembali menyusuri koridor panjang rumah sakit jiwa, tanpa tahu bahwa Sarah tengah bersembunyi di dalamnya, berjuang mati-matian demi kebebasannya. Keranjang dorong itu terus bergerak melewati koridor panjang, suara roda berdecit di lantai yang licin menggema di antara dinding. Di dalam tumpukan selimut, Sarah menahan napasnya setiap kali keranjang berhenti, takut kalau-kalau ada pemeriksaan mendadak. Setelah waktu terasa begitu lama, keranjang itu akhirnya keluar melewati pintu belakang rumah sakit. Angin malam yang dingin menyelinap masuk di sela kain yang menutupi tubuhnya, membuat Sarah sadar mereka sudah berada di area terbuka.

Petugas cleaning service itu mulai menurunkan beberapa ember dan kain pel. Ia tampak sibuk membersihkan area belakang rumah sakit—tempat pembuangan sampah medis ringan dan juga jalur servis untuk bongkar muat logistik rumah sakit. Lorong itu gelap, hanya diterangi lampu temaram, nyaris tanpa pengawasan. Sarah dengan hati-hati mengintip dari balik selimut. Di hadapannya terbentang pagar besi tinggi yang membatasi rumah sakit dengan dunia luar. Di atasnya terpasang kawat duri tipis, tapi tidak terlalu rapat. Tepat di atas pagar itu, sebuah CCTV bergerak lambat dari kiri ke kanan, lalu kembali lagi. Jantung Sarah berdegup kencang.

“Itu satu-satunya jalan keluar…” pikirnya.

Saat petugas cleaning service membelakangi keranjang, Sarah keluar dengan perlahan, tubuhnya masih gemetar. Ia berjinjit, menahan diri agar tak menimbulkan suara. Setiap detik terasa menegangkan, seakan waktu berjalan lambat. Langkah demi langkah ia mendekati pagar. Begitu tiba di depannya, ia mendongak. Tingginya nyaris dua kali lipat tubuhnya. Tangannya menggenggam besi dingin pagar itu, kakinya mulai mencari pijakan.

“Aku harus bisa… demi Chris… demi Aiden…”

Ia mulai memanjat. Besi pagar terasa keras menusuk telapak kakinya yang rapuh. Jemarinya gemetar menahan sakit, tapi Sarah terus bergerak. Keringat dingin mengucur di pelipisnya. Saat ia hampir sampai di puncak, CCTV mulai berputar ke arahnya. Sarah berhenti sesaat, tubuhnya menempel kaku pada pagar. Jantungnya berdetak seakan bisa terdengar dari jauh. Begitu CCTV berputar ke arah lain, ia dengan cepat menyeberang, mendorong tubuhnya melewati kawat tipis hingga bajunya sedikit tersangkut dan robek. Dengan sisa tenaga, ia melompat turun ke sisi luar pagar. Tubuhnya terhempas ke tanah keras, lututnya tergores, tapi ia menahan rasa sakit. Nafasnya tersengal, tapi matanya berbinar dengan satu kata: bebas. Sarah menoleh sekali lagi ke arah bangunan rumah sakit yang menjulang dingin di belakangnya. Air matanya jatuh, bercampur antara rasa takut dan lega.

“Aku harus cepat–cepat pergi menjauh dari sini.”

Dengan langkah gontai namun penuh tekad, Sarah berjalan menjauh ke dalam kegelapan malam, meninggalkan neraka yang nyaris menghancurkannya.

Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play