Tanpa diduga, Aiden akhirnya tertidur dalam dekapan Daniel setelah berhasil meminum susu formula. Lelaki paruh baya itu berdiri tegak, tubuhnya perlahan diayun-ayunkan, gerakan yang kontras dengan wibawa kerasnya. Suara tangisan Aiden lenyap, berganti desah napas halus bayi yang kini terlelap. Seorang babysitter masuk perlahan, langkahnya ragu.
“Tuan… biar saya tidurkan bayi Aiden di kamarnya.”
Daniel menatap wajah mungil cucunya untuk beberapa detik, tatapannya melembut—satu-satunya titik rapuh yang ada di dalam dirinya. Perlahan, ia menyerahkan Aiden ke pelukan babysitter.
“Jaga dia,” ucapnya singkat, namun tegas.
Di lorong, babysitter berpapasan dengan Peter. Sekilas, mata Peter menangkap wajah polos Aiden yang tertidur pulas. Namun tanpa berhenti, ia melanjutkan langkah, menuju taman belakang tempat Daniel berdiri memandangi langit malam.
“Selamat malam, Tuan,” Peter menunduk hormat.
Daniel tidak berbalik. Tangannya masih bersedekap, matanya lurus ke arah langit hitam bertabur bintang.
“Sudah kau lakukan tugasmu?”
“Semua berjalan sesuai rencana Anda.”
“Chris?” tanya Daniel lagi, kali ini dingin.
“Tuan muda sedang dalam proses penyembuhan di rumah sakit. Dan Sarah, dia—”
“Sarah…” potong Daniel cepat, suaranya rendah namun tajam menusuk.
“Bila perlu, lenyapkan dia. Aku tak ingin Chris kembali pada wanita itu.”
Peter terdiam sejenak. Ia sudah tiga puluh tahun mengabdi pada Daniel, dan tahu betul nada itu bukan sekadar perintah—melainkan keputusan final. Ia menunduk dalam.
“Saya mengerti.”
Daniel menarik napas panjang, lalu menambahkan,
“Dan… persiapkan keberangkatan Chris beserta anaknya ke Afrika Selatan. Biarkan mereka hidup di sana, sekaligus mengurus bisnisku."
“Baik, Tuan.”
Tanpa kata lagi, Peter membungkuk, mundur dengan penuh hormat, lalu berbalik meninggalkan Daniel seorang diri di taman malam itu.
Hanya suara serangga malam yang menemani Daniel, sementara bayangan tubuhnya menjulang di bawah cahaya lampu taman, sosok lelaki yang bisa lembut pada cucu, tapi tak ragu memutus takdir darah dagingnya sendiri.
***
Langkah Thomas Rise terdengar tergesa di sepanjang koridor rumah sakit. Lampu neon pucat memantulkan bayangan tubuhnya di lantai, sementara detak jantungnya terasa berpacu cepat. Ia berhenti beberapa langkah di depan pintu kamar perawatan Chris, menarik napas panjang. Tampak dua orang bodyguard menjaga kamar itu. Thomas tak gentar lalu menghadapi keduanya sebelum akhirnya diizinkan masuk, perlahan Thomas membuka pintu. Aroma obat-obatan langsung menusuk inderanya. Pandangannya jatuh pada sosok Chris yang terbaring lemah, tubuhnya penuh perban, dengan selang infus menempel di pergelangan tangan kanan. Thomas menahan napas. Ada luka di dadanya melihat Chris yang dulu sering bermain bersama saat liburan, kini terkapar tak berdaya. Thomas mendekat, ia berdiri di sisi ranjang, menatap wajah pucat Chris. Ingatannya berputar pada masa lalu—bagaimana Daniel kadang mempertemukan mereka sewaktu kecil. Meski tak tumbuh bersama, ikatan itu nyata. Chris selalu dianggapnya sebagai adik sendiri. Thomas ternyata sudah mengetahui soal yang menimpa keluarga kecil Chris. Diam-diam, ia mengetahui rencana Daniel. Mengetahui bagaimana sang ayah angkat dengan dingin memutuskan memisahkan Chris dari Sarah, bahkan dari bayi mereka, Aiden. Dan berbeda dari Peter, yang patuh tanpa suara, Thomas tak bisa menutup mata. Suara lirih keluar dari bibirnya, nyaris seperti bisikan yang hanya dinding kamar yang mendengar.
“Aku berjanji… aku akan membantumu menemukan Sarah dan Aiden.” Tangannya mengepal di sisi tubuh, sorot matanya penuh tekad.
Untuk pertama kalinya, Thomas memilih untuk tidak tunduk sepenuhnya pada Daniel Jeffreyson.
Lima belas menit berlalu Chris akhirnya terbangun perlahan, kelopak matanya berat. Pandangannya samar menangkap sosok seorang pria berbalut jas hitam, berdiri tak jauh darinya sambil berbicara pelan lewat telepon. Suara itu… terasa familiar.
“Thomas…” panggil Chris lirih, suaranya pecah.
Thomas tersentak, matanya membulat. Ia segera memutus sambungan telepon, lalu berbalik, menatap sang adik angkat yang kini menatapnya penuh harap.
“Syukurlah Anda sudah sadar,” ucap Thomas, mencoba tersenyum tenang meski hatinya berkecamuk.
Chris menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Air mata jatuh tanpa ia sadari, mengalir membasahi pipi. Dengan sisa tenaga, ia mengulurkan tangan. Thomas segera meraih tangan itu, lalu duduk di tepi ranjang, merasakan genggaman lemah namun penuh putus asa.
“Dengarkan aku…” bisik Chris, napasnya masih berat.
“Aku tahu… hanya kau yang bisa kuandalkan.” Tangisnya pecah dan tubuhnya terguncang.
“Aku… aku kehilangan Sarah dan anakku. Aku belum menemukan mereka. Aku takut… aku akan kehilangan mereka selamanya…”
Thomas terdiam, menahan air matanya agar tidak jatuh. Dadanya sesak mendengar suara putus asa Chris.
“Tenanglah,” ucapnya pelan, tangannya menepuk bahu Chris seolah ingin menyalurkan kekuatan.
“Anda harus tahu… saya ada di pihak Anda. Saya berjanji akan membantu. Tapi…” suaranya mengecil, tetapi tegas.
“…ini harus menjadi rahasia. Tuan Besar tidak boleh mengetahuinya.”
Chris mengangkat wajahnya, menatap Thomas dengan mata merah dan penuh rasa percaya. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak benar-benar sendirian di tengah jeratan sang ayah.
***
Satu minggu berlalu. Bagi Chris, hari-harinya terasa seperti seekor burung yang hidup di dalam sangkar emas namun penuh belenggu. Ia tinggal di paviliun megah yang berada di kompleks rumah ayahnya—luas, mewah, namun penuh pengawasan. Setiap sudut dijaga ketat, setiap gerak-geriknya dipantau. Ironisnya, Aiden berada di tempat yang sama, hanya beberapa langkah darinya, namun Chris sama sekali tak mengetahuinya. Ayah dan anak terpisah dalam rumah yang sama, dipisahkan oleh rahasia Daniel. Chris kini kembali ke rutinitas perusahaan keluarga sejak terakhir kali sebelum menikahi Sarah. Dengan Thomas yang selalu berada di sisinya sebagai asisten pribadi, ia bekerja, bertemu orang-orang, membaca dan menandatangani dokumen… semua dilakukan dengan sikap dingin dan murung. Para karyawan terdiam setiap kali ia lewat. Mereka takut, bukan hanya pada statusnya, tapi pada tatapan kosong dan dingin yang tak menyisakan kehangatan. Semua itu hanyalah cerminan dari frustrasi dan kehancuran hatinya—kehilangan Sarah dan Aiden yang belum juga ditemukan. Siang itu, di ruang kerjanya yang luas, Thomas berdiri rapi dengan setumpuk berkas di tangan.
“Ini dokumen yang harus Anda tanda tangani,” ujarnya sopan, lalu meletakkannya di meja.
Chris memutar kursinya, kembali menghadap tumpukan kertas. Jemarinya meraih pena, matanya tertuju ke dokumen-dokumen dimejanya.
“Sudah ada kabar yang kau dapatkan?” tanyanya dingin, tanpa emosi.
Thomas tahu betul apa maksud pertanyaan itu. Ia menarik napas pendek, lalu menunduk sedikit.
“Mohon maaf, saya belum bisa menemukan keberadaan istri dan anak Anda. Namun… saya telah menempatkan seseorang untuk mengikuti Peter. Seperti yang Anda tahu, dialah yang mengetahui dan menjalankan semua rencana Tuan besar. Saya akan segera memberi kabar jika ada perkembangan.”
Chris terdiam. Matanya tak bergerak sedikit pun, seolah menenggelamkan diri dalam tumpukan angka dan laporan. Tanpa sepatah kata pun, jemarinya sibuk bergerak, menandatangani setiap halaman. Namun di balik wajah dingin itu, hatinya kembali merintih—hanya ada satu hal yang benar-benar ia inginkan: menemukan Sarah dan Aiden.
Dokumen terakhir selesai ditandatangani. Thomas membungkuk sedikit, mengambil berkas itu, lalu keluar dari ruangan dengan langkah teratur.
Hening.
Chris menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi, memutar perlahan kursinya ke arah jendela besar yang memperlihatkan barisan gedung pencakar langit. Tatapannya kosong, penuh keputusasaan.Sejenak, terlintas pikiran gila di kepalanya—bagaimana jika ia melompat saja dari ketinggian itu? Mungkin sakit di hatinya akan berakhir. Namun ingatan akan wajah Sarah dan suara tangis Aiden kembali menyeruak. Seharusnya mereka kini tengah berbahagia: begadang bergantian menjaga bayi mungil itu, merayakan setiap senyum pertama, setiap tangisan kecil. Semua kebahagiaan itu sirna, dirampas dengan kejam oleh tangan ayahnya sendiri. Chris menutup wajah dengan kedua tangannya. Air mata jatuh tanpa suara, hanya sesekali ia menahan tangisnya dengan menggigit bibir.
***
Di lobi gedung, sebuah sedan hitam berhenti. Seorang security buru-buru membukakan pintu.
Seorang wanita turun, penampilannya memancarkan keanggunan dan kekuatan. Rambut panjang bergelombang dengan warna soft brown, kacamata hitam elegan, dan busana stylish yang langsung menarik perhatian orang sekitar. Ia melangkah penuh percaya diri masuk ke dalam gedung.
“Aku ingin bertemu Chris Arthur Jeffreyson. Apakah dia ada di ruangannya?” suaranya terdengar tegas di meja resepsionis.
Staf resepsionis sedikit gugup.
“Maaf, apakah Anda sudah memiliki janji sebelumnya?”
Wanita itu melepas kacamatanya perlahan, menatap resepsionis dengan tajam.
“Kau tidak tahu siapa aku? Katakan saja padaku, dia ada atau tidak?”
Suasana sempat menegang. Nama besar Jeffreyson memang membuat siapa pun waspada. Saat itu, Thomas Rise kebetulan lewat, hendak keluar dari lift dengan membawa map dokumen. Ia menghentikan langkahnya ketika mendengar suara perdebatan.
“Maaf, ada apa di sini?” tanya Thomas, menoleh ke resepsionis.
Namun begitu pandangannya jatuh pada sosok wanita itu, matanya sedikit membulat.
“Tidak salah lagi… Anda—Nyonya Clara?”
Wanita itu mengangkat alisnya, sedikit terkejut.
“Kau mengenalku?”
“Tentu,” Thomas tersenyum kecil sambil menunduk hormat.
“Anda Stacy Clara, kakak dari Tuan Arthur. Beliau pasti senang melihat kehadiran Anda. Mari, izinkan saya mengantarkan Anda langsung ke ruangannya.”
Stacy menatap Thomas sejenak, seakan mengukur niat baiknya, lalu mengangguk ringan. Ia pun melangkah diiringi Thomas, meninggalkan resepsionis yang masih tampak bingung.
Suara ketukan pintu terdengar pelan. Chris tidak bergerak sedikit pun dari kursinya, tatapannya masih kosong menembus jendela. Thomas masuk dengan langkah hati-hati.
“Maaf Tuan… ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda.”
Chris tetap diam, tidak memberikan reaksi.
Thomas menoleh ke arah pintu dan memberi kode halus. Stacy pun melangkah masuk dengan anggun. Ia menoleh sekilas ke arah Thomas.
“Terima kasih, kau boleh pergi,” katanya tegas.
Thomas menunduk singkat lalu meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan tenang.
Hening sejenak.
“Kau tidak ingin melihat siapa tamu yang datang padamu?” suara perempuan itu terdengar sedikit menggoda, mencoba memecah kebekuan.
Chris tersentak pelan. Suara itu… seperti dikenalnya, terdengar samar seperti dari masa lalu.
“Chris…” panggilan itu terdengar lebih lembut, penuh kasih sayang.
Perlahan Chris bangkit, tubuhnya kaku seolah tak percaya. Ia memutar badannya, dan matanya langsung terpaku pada sosok wanita di ambang pintu.
“Haiii…” Stacy tersenyum, melambaikan tangan kecilnya dengan gaya khas yang dulu sering ia lakukan saat mereka masih anak-anak.
Detik berikutnya, Stacy berlari menghampiri dan langsung merengkuh Chris dalam pelukan erat.
Chris menelan ludah, tubuhnya membeku. Rasa asing dan akrab bercampur menjadi satu.
“Aku rindu sekali padamu, Chris… Kau sudah dewasa sekarang… adikku yang tampan…” suara Stacy bergetar, penuh emosi.
Chris akhirnya tak kuasa menahan tangis. Bahunya bergetar, air mata jatuh tanpa henti. Dengan gemetar ia membalas pelukan sang kakak, memeluk erat seakan takut kehilangan lagi.
“Stacy… kakak…” suara Chris pecah, tertelan isak tangis yang tertahan terlalu lama.
“Kau menangis? Kau… merindukanku?” tanya Stacy pelan, menatap adiknya dengan tatapan lembut.
Chris semakin terisak. Segala rasa sakit, frustasi, dan kehilangan yang selama ini ia pendam pecah dalam pelukan sang kakak. Ia menangis seperti seorang anak kecil yang baru saja kehilangan benda paling berharganya. Stacy kebingungan. Tangannya menepuk lembut punggung Chris.
“Kau baik-baik saja? Aku tidak tahu kenapa kau menangis seperti ini… ini membuatku sedih, Chris.”
Perlahan ia melepaskan pelukannya, kedua tangannya kini menggenggam lengan adiknya, memaksa Chris menatap wajahnya. Mereka akhirnya duduk bersama di sofa, saling berhadapan. Stacy tak melepaskan genggaman tangannya, mencoba memberi kekuatan untuk Chris.
“Kau kembali? Ada apa? Bukankah kau hidup bahagia di Kanada bersama suamimu? Kenapa kau kembali ke sini? Kau tahu, ayah akan menyulitkanmu…” Suara Chris serak, masih tersendat tangis.
“Aku kembali hanya untuk menemuimu,” jawab Stacy tegas, namun matanya berkaca-kaca.
“Aku mendapat kabar… kau sudah menikah, dan istrimu sudah melahirkan. Sejujurnya, aku kecewa, Chris. Kecewa... karena terlambat mengetahuinya. Dan lebih dari itu—kau sama sekali tidak memberitahuku…”
Chris menunduk. Jemarinya meremas tangan Stacy tanpa kata, seolah ia tidak tahu bagaimana menjelaskan keadaan sebenarnya.
Stacy menarik napas dalam.
“Apakah ayah menerima pernikahanmu? Dari yang kudengar… kau menikah dengan wanita dari kalangan biasa. Kau tahu sendiri, ayah tidak pernah bisa menerima itu. Dia selalu ingin mengatur hidup anak-anaknya. Sama seperti aku dulu, saat ditentang menikah dengan pria pilihanku.” Suara Stacy mulai parau, luka lamanya ikut terkuak.
“Dan sama seperti… Ben.”
Chris menegakkan kepalanya. Nama itu bagai hantaman keras di dadanya.
“Ben…” ucapnya lirih.
Benjamin Edward Jeffreyson. Anak sulung keluarga Jeffreyson. Idola bagi adik-adiknya, tulang punggung keluarga—namun sekaligus korban pertama dari keegoisan Daniel.
“Ayah begitu murka saat tahu Ben menikah diam-diam. Kau ingat, Chris?” suara Stacy bergetar.
“Hari itu seharusnya menjadi hari yang paling bahagia untuk Ben dan istrinya… tetapi semua berubah menjadi mimpi buruk.”
Chris menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ia masih ingat kabar mengerikan itu saat dirinya berusia 12 tahun. Mobil Ben yang dikendarai bersama istrinya malam itu dikejar oleh preman suruhan Daniel. Ben memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi untuk menghindari kejaran para preman, namun naas, Ben saat itu kehilangan kendali mobilnya. Mobil itu pun menabrak pagar pembatas jalan lalu terjun bebas ke jurang. Hari pernikahan itu berubah menjadi hari kematian.
“Ben pergi selamanya… hanya karena menentang ayah,” Stacy berbisik, matanya basah.
“Dan kau… kau menempuh jalan yang sama, Chris.”
"Aku tak bisa menentukan takdirku sendiri kak, pertemuan ku dengan Sarah lalu tumbuh perasaan untuknya, adalah sesuatu yang tidak ku rencanakan. Tapi hal itu yang tak pernah dimengerti oleh ayah."
Chris menatap mata sang kakak kemudian.
“Kakak…” suara Chris pecah tertahan,
“Apakah kau bahagia? Apakah suamimu memperlakukanmu dengan baik? Sejak kau pergi dari rumah… aku benar-benar kesepian. Aku ketakutan… aku merindukan kalian… Ibu, Ben… dan juga dirimu.” Tangisnya makin kuat.
Kata-kata itu seperti tumpahan perasaan yang selama ini terkurung di dadanya. Stacy pun tak kuasa. Air mata mengalir, ia buru-buru menghapusnya dengan jemarinya yang gemetar.
“Bohong… bila aku berkata bahwa aku bahagia, Chris. Bagaimanapun, rasanya akan selalu sakit rasanya hidup terasing dari keluarga sendiri. Bukan hanya terpisah secara fisik… tapi juga terpisah oleh perasaan, oleh dinding yang ayah bangun di antara kita semua.”
Ia menarik napas berat, suaranya bergetar. “Bagaimanapun sikap ayah, aku tetap menyayanginya. Tapi aku selalu berharap… suatu hari ayah bisa berubah. Melihat dunia di luar dirinya, belajar menghargai pilihan anak-anaknya…”
Chris menggeleng dengan getir, matanya merah dan basah.
“Ayah… dia tak pernah berubah, Kak. Kukira… kematian Ben, kepergianmu dari rumah… akan membuka matanya. Akan membuatnya sadar. Tapi nyatanya tidak.”
Ia menunduk, bahunya bergetar.
“Yang kurasakan… dia semakin jauh dari sosok seorang manusia. Dia bukan lagi seorang ayah bagiku… tapi lebih seperti robot… robot tanpa hati.”
Hening sesaat. Hanya suara isakan Chris yang memenuhi ruangan. Stacy menatap adiknya penuh getir. Hatinya sendiri tercabik, namun ia tahu Chris menanggung beban yang jauh lebih berat. Dan saat itulah Chris tak mampu menahannya lagi. Dengan suara bergetar, ia menceritakan semuanya—tentang pernikahannya dengan Sarah yang ditolak ayah mereka, tentang kelahiran Aiden, tentang penculikan istri dan anaknya, yang membuatnya dipisahkan paksa dari keluarga kecilnya. Stacy membeku. Tubuhnya gemetar hebat, kedua tangannya menutupi mulutnya yang ternganga.
“Tidak… Chris, katakan itu tidak benar…” suaranya patah, nyaris tak terdengar.
Namun tatapan penuh luka di mata adiknya menjawab segalanya. Stacy pun meratap pilu, tubuhnya terhuyung ke depan, memeluk Chris erat-erat.
“Astaga, Chris… bagaimana bisa ayah… melakukan hal ini…”
***
Daniel duduk di kursi empuknya yang tinggi, dikelilingi rak buku berisi arsip perusahaan dan dokumen hukum. Asap tipis dari cangkir kopi panas mengepul di hadapannya. Ia menyeruputnya perlahan, seolah dunia seisinya berada digenggamannya. Peter duduk tegak di kursi seberang, wajahnya datar, tenang seperti biasa.
“Apakah persiapan untuk Chris dan Aiden ke Afrika Selatan sudah siap?” suara Daniel rendah, namun tajam.
“Aku tak ingin mereka terlalu lama di sini. Semakin lama… semakin besar kemungkinan mereka bertemu Sarah.”
Peter mengangguk sedikit, suaranya mantap.
“Semuanya sudah siap, Tuan. Tinggal menunggu kabar kapan Tuan Muda bersedia berangkat. Bahkan jika besok pun, semuanya sudah diatur. Pesawat, dokumen, pengawalan… semuanya siap.”
Daniel menyandarkan tubuhnya, jemarinya mengetuk pelan lengan kursi. Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Bagus. Chris akan mengurus perusahaan tambang emasku di sana. Sudah waktunya… penerusku mengemban tanggung jawab nyata.”
Peter kembali mengangguk, seperti bayangan yang tak pernah meninggalkan majikannya.
Bagai anjing setia yang hanya tahu menggonggong ketika diperintah. Daniel meletakkan cangkir kopinya di atas meja, nadanya berubah dingin.
“Dan Sarah…” matanya menyipit.
“Aku tidak ingin mendengar namanya lagi. Bahkan melihatnya pun tak sudi. Dia tidak pantas… untuk Chris.”
Hening sejenak, hanya suara jam antik di dinding yang berdetak. Peter menunduk hormat, tak berani menatap langsung.
“Saya mengerti, Tuan.”
***
Hari demi hari berlalu, dinding-dinding pucat rumah sakit jiwa itu menjadi saksi penderitaan Sarah. Bau obat-obatan menusuk hidung, suara teriakan histeris dari pasien lain sesekali menggema di lorong-lorong panjang yang dingin.
Sarah duduk di ranjangnya, tubuhnya menyusut jauh dari sebelumnya. Rambutnya kusut, wajahnya pucat tanpa cahaya kehidupan. Ia hanya diam, menatap kosong ke arah lantai atau meringkuk memeluk lututnya.
“Aku… tidak gila…” lirihnya, begitu pelan hampir seperti bisikan.
Namun suara itu segera tenggelam oleh rengekan dan tawa tanpa makna pasien-pasien lain di sekitarnya.
“Aku lelah… jika terus seperti ini… di mana Aiden? Di mana anakku? Chris…” suaranya pecah, penuh kepiluan.
Air mata menetes, tapi tak lagi deras seperti dulu. Kini ia hanya menangis diam-diam, seperti seorang tawanan yang sudah kehilangan tenaga untuk melawan. Sarah yang dulu penuh semangat, kini perlahan berubah menjadi bayangan dirinya sendiri. Ia mulai larut dalam atmosfer suram rumah sakit jiwa itu. Jika awal-awal ia berteriak dan meronta, sekarang ia lebih banyak diam, seakan pasrah, membuatnya tak ada bedanya dengan pasien lain yang benar-benar sakit. Tubuhnya kurus, tulangnya menonjol di balik pakaian pasien yang longgar. Nafsu makannya hilang, semangat hidupnya padam. Hanya satu hal yang masih membuatnya bertahan—nama Aiden dan Chris yang sesekali keluar dari bibirnya di antara helaan napas putus asa.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments
MiseryInducing
This novel is lit! Keep it up, author!
2025-09-25
0