Sarah terus berlari, langkahnya terhuyung, napasnya terengah di antara isak tangis yang pecah di udara malam. Rambutnya yang kusut menempel di wajahnya yang pucat, mata sembabnya mencari-cari arah yang tak menentu.
“Aku harus pergi kemana? Dimana aku berada sekarang? Kemana harus mencari Aiden dan Chris?” gumamnya lirih, suaranya serak, nyaris hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
Jalan aspal yang gelap terasa panjang tak berujung. Di kejauhan hanya ada suara serangga malam dan hembusan angin yang menusuk tulang. Sarah menahan pedih di hatinya—antara bahagia karena berhasil bebas dan sedih karena masih terpisah dari Chris dan Aiden. Tiba-tiba langkahnya goyah. Lutut yang tergores akibat terjatuh dari pagar tadi makin terasa perih, darah merembes mengotori kain tipis yang membungkus kakinya. Tubuhnya ambruk keras ke atas permukaan aspal.
“AAAHHHH…” teriak Sarah, menggema dalam sunyi malam.
Ia merangkak, tangannya gemetar menopang tubuhnya kemudian terduduk lemah di jalanan aspal yang dingin. Nafasnya memburu, sakit dan letih bercampur menjadi satu. Dengan lemah, ia mendongakkan wajah ke langit malam yang pekat. Malam itu tanpa bintang, hanya gulita dan dingin menusuk yang menyelimuti tubuh kurusnya. Air matanya jatuh dengan deras.
“Aku harus kuat…” suaranya parau, namun penuh tekad.
Sarah kemudian merebahkan dirinya sejenak di atas aspal dingin, tubuhnya bergetar, namun dirinya berusaha bertahan. Sesaat pandangan matanya semakin kabur, rasa lelah yang ekstrim membuatnya tak sadarkan diri, jiwanya melayang kembali ke masa–masa indah bersama Chris.
***
Flashback
Ruang kuliah sore itu terasa riuh. Derap suara mahasiswa bercampur dengan obrolan ringan sebelum kelas dimulai. Sarah, gadis muda berambut hitam lurus yang dikuncir sederhana, berdiri di depan papan tulis. Sebagai asisten dosen mata kuliah matematika saat itu, ia berdiri di dekat meja dosen memegang buku catatan dengan tangan yang sedikit gemetar—bukan karena takut, melainkan karena keseriusannya agar kelas berjalan dengan lancar. Namun tiba-tiba, suara nyaring dari bangku tengah membuat suasana berubah. Seorang mahasiswa pria, salah satu yang cukup populer karena kekayaan keluarganya, menyahut dengan nada meremehkan.
“Jadi kau yang mengajar kami? Kau asisten dosen? Hah, orang sepertimu pasti hanya numpang nama! Kampus ini hanya untuk orang-orang yang pantas, bukan untuk... hmm, orang dari jalanan.”
Kelas hening seketika. Ucapan itu menusuk, menghina status sosial Sarah tanpa ampun. Wajah Sarah menegang, matanya berusaha tetap dingin walau dalam hatinya perih. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba tersenyum tipis.
“Silakan jika tidak ingin mendengarkan kelas saya hari ini. Saya di sini bukan untuk mengemis rasa hormat, tetapi menjalankan tugas saya sebagai asisten dosen.” Suaranya tegas, namun getaran di ujung kalimatnya menandakan luka yang dalam.
Chris, yang duduk dua baris di belakang pria arogan itu yang juga teman satu circlenya, melihat semua kejadian itu. Tangannya mengepal. Ia tak tahan melihat Sarah diperlakukan seperti itu.
“Cukup!” seru Chris, menatap tajam temannya sendiri sebelum melanjutkan kata–katanya.
“Jika kau tidak bisa menghormati dia, setidaknya hormatilah dirimu sendiri sebagai mahasiswa. Kau kira, kau pintar hanya karena uang? Orang yang sedang berdiri dihadapan kita didepan, jauh lebih berharga daripada dirimu yang hanya bisa merendahkan orang lain.”
Beberapa mahasiswa terdiam, sebagian bertepuk tangan kecil, sisanya menunduk tak nyaman. Sarah menoleh cepat ke arah Chris, matanya berkaca-kaca, namun ia segera menunduk kembali agar tak ada yang melihat air matanya jatuh.
Selesai kelas…
Sarah berjalan dengan cepat saat keluar dari kelas. Tangannya penuh dengan buku, namun wajahnya jelas menyimpan luka. Ia hampir menangis, tapi menahan diri dengan gigihnya.
“Tunggu!” suara Chris terdengar dari belakang.
Ia berlari kecil mengejarnya hingga mereka berhenti di lorong kampus yang sepi.
“Aku... aku minta maaf,” ucap Chris sambil menunduk.
“Maafkan kata-kata temanku tadi. Dia memang bodoh, dan aku sangat malu menjadi temannya.”
Sarah menatap Chris dengan mata berair. Ia menggeleng pelan.
“Seharusnya bukan kau yang meminta maaf. Temanmu yang telah menyakiti ku.”
Chris terdiam, tak tahu harus berkata apa. Dengan suara bergetar, Sarah melanjutkan, “Sejak kecil aku tahu dunia tidak pernah adil. Orang–orang menilai diriku dari harta, nama keluarga, dan semua hal yang tak pernah bisa kupilih. Tapi dengar baik-baik…”
Ia menatap mata Chris dengan keberanian yang tiba-tiba muncul.
“Kesuksesan bukan hanya untuk orang kaya yang mempunyai banyak privilage. Aku juga berhak. Aku masuk universitas ini karena prestasi hingga mendapatkan beasiswa, bukan karena belas kasihan. Aku berdiri di sini karena aku layak.”
Chris terhenyak. Tatapan Sarah begitu tulus, menyala di tengah luka yang ia bawa sejak lama. Untuk pertama kalinya, Chris merasa kagum, bukan hanya karena kecantikan Sarah, tapi juga keberanian dan tekadnya.
***
Setelah kejadian di kelas itu, hubungan Chris dan Sarah perlahan terjalin dikemudian hari. Hubungan mereka berkembang menjadi interaksi yang lebih sering, lebih dalam. Namun mereka belum pernah benar-benar membuka diri sepenuhnya—hingga takdir mempertemukan mereka lagi di luar kampus.
Perusahaan Manufaktur Makanan & Minuman – Anak Perusahaan Jeffreyson Group.
Sarah menjalani magang kerja hari pertama, ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan blazer hitam dan bawahan rok menutup lutut. Wajahnya tampak bersemangat meski ada sedikit gugup. Ia ditempatkan di Departemen Pemasaran & Penjualan, posisi yang penuh tantangan bagi mahasiswa magang. Sarah langsung terlibat dalam beberapa proyek riset pasar dan hubungan pelanggan. Tanpa ia ketahui, perusahaan besar itu adalah milik keluarga Jeffreyson—keluarga Chris. Di sisi lain, Chris sudah bekerja di perusahaan itu beberapa bulan terakhir. Daniel, ayahnya, menempatkan Chris di posisi Strategic Development Manager. Tetapi Chris, dengan segala kerendahan hatinya, meminta kepada Peter untuk merahasiakan statusnya sebagai putra bungsu Jeffreyson.
“Saya tidak ingin diperlakukan berbeda hanya karena nama belakang keluarga. Saya ingin, orang menilai kemampuan saya bukan keluarga ataupun Ayah saya,” tegas Chris pada Peter.
Peter sempat keberatan, namun akhirnya mengangguk.
***
Suatu hari di ruang rapat divisi pemasaran, Sarah masuk sambil membawa map berisi laporan survei pasar. Ia hampir menjatuhkan map tersebut ketika melihat siapa yang duduk di kursi pemimpin rapat kecil saat itu.
“Chris???” Sarah hampir bersuara keras, matanya membulat tak percaya.
Chris yang menyadari kehadiran Sarah, lalu tersenyum, sedikit canggung, kemudian mengangguk.
“Hai… ternyata kau di sini juga.” Sarah masih merasa bingung.
“Jadi… kau bekerja di sini?”
“Iya. Baru beberapa bulan,” jawab Chris santai, seolah itu hal biasa.
Ia tidak menjelaskan bahwa ia sebenarnya pewaris perusahaan. Sejak saat itu, keduanya sering berinteraksi lebih intens. Sarah yang selalu rajin, penuh dengan ide–ide, selalu mengerjakan tugas magangnya dengan sungguh-sungguh sehingga mendapat perhatian khusus dari manajemen perusahaan. Chris, meski posisinya strategis, diam–diam selalu meluangkan waktu untuk membantu Sarah memahami alur kerja di perusahaan.
***
Suatu malam, Sarah masih di kantor mengolah data survei. Tanpa disangka Chris datang dengan dua cangkir kopi.
“Kupikir kau akan membutuhkan ini,” katanya sambil menyodorkan kopi panas.
Sarah tersenyum lelah.
“Terima kasih… tugas ku belum selesai, dan harus menyelesaikan ini sebelum presentasi besok.”
Mereka pun duduk berdampingan, berdiskusi hingga larut malam. Dalam keheningan, keduanya merasa nyaman hanya dengan keberadaan satu sama lain.
***
Saat survei pasar ke salah satu distributor besar, Sarah kesulitan menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit dari klien. Chris yang ikut bersama tim segera maju, menjawab dengan tenang, lalu memberi Sarah kesempatan menyelesaikan penjelasan. Setelahnya, Sarah berkata lirih,
“Terima kasih sudah menolongku….”
Chris tersenyum hangat.
“Aku percaya kau bisa. Kau lebih hebat dari apa yang kau kira.”
Seiring berjalannya waktu, kedekatan mereka semakin kuat. Dari sekadar teman, menjadi sahabat, dan perlahan tumbuh perasaan yang lebih dalam. Sarah menemukan sosok Chris sebagai pria yang tulus, rendah hati, dan tidak sombong meski cerdas dan punya posisi penting. Sementara Chris, di balik sikap tenangnya, mulai jatuh cinta pada tekad Sarah—gadis yang berjuang sendirian tanpa keluarga, tapi tetap berdiri tegak menghadapi dunia.
***
Tubuh Sarah bergerak gelisah di bawah selimut, keningnya berkerut, bibirnya bergumam lirih.
“Chris…” ucapnya setengah mengigau, masih terbawa pada mimpi indah tentang masa awal pertemuannya dengan Chris di kampus.
Namun perlahan kelopak matanya membuka. Pandangannya buram, kepalanya berat, napasnya tersengal. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mengenali ruangan tempatnya berada. Bukan dinding putih rumah sakit jiwa.
Bukan bau menyengat obat-obatan. Melainkan ruangan sempit, sederhana, dengan dinding kusam. Tumpukan barang terlihat di sudut-sudut ruangan—rak tua, karung beras, kardus bertuliskan label makanan. Seperti sebuah toko kecil yang disulap menjadi kamar seadanya.
Sarah menunduk, menyadari dirinya masih mengenakan piyama rumah sakit jiwa yang sudah kusut dan kotor. Ia menarik napas dalam-dalam, jantungnya berdegup kencang.
“Aku… di mana…” bisiknya lirih, dengan suara bergetar.
Saat mencoba bangun, seketika rasa nyeri menusuk lututnya yang terluka, ditambah pusing berdenyut di kepalanya.
“Aaahhh…” Sarah mengerang pelan, lalu kembali terduduk di lantai, tangannya memegangi kening.
Tak lama, terdengar suara pintu digeser perlahan. Dari balik pintu masuk seorang wanita tua, tubuhnya terlihat ringkih dimakan usia, rambutnya memutih sebagian, wajahnya cukup keriput namun tatapannya hangat. Ia membawa sebuah nampan berisi segelas air putih dan semangkuk bubur ayam sederhana dengan wortel cincang. Wanita itu berhenti di depan Sarah, lalu meletakkan nampan di lantai.
“Kau sudah bangun? Syukurlah…” ucapnya lembut, nada suaranya penuh kelegaan.
Sarah menatap wanita itu dengan mata bingung, penuh pertanyaan. Bibirnya bergetar ketika ia mencoba bicara.
“Maaf… kenapa… saya… bisa di sini?” tanyanya terbata-bata, suaranya hampir tak terdengar.
Sang wanita tua hanya tersenyum tipis. Ia meraih gelas dari nampan, lalu menyodorkannya pada Sarah.
“Minumlah dulu… kau sangat lemah sejak tadi malam saat kami temukan,” ujarnya pelan.
Sarah sempat menatap wajah wanita itu lama, berusaha mencari jawaban dari sorot matanya. Perlahan ia menerima gelas itu dengan tangan gemetar, lalu meneguknya sedikit demi sedikit. Air yang masuk ke tenggorokannya terasa menenangkan, meski tubuhnya masih lemas. Wanita tua itu perlahan membuka suara dengan nada parau namun hangat, seolah setiap katanya ingin menenangkan hati Sarah yang hancur.
“Nona… tadi malam aku dan suamiku menemukanmu pingsan di depan toko kami. Kami mencoba membangunkanmu, tapi kau sama sekali tak memberi tanda akan sadar. Karena udara begitu dingin, kami khawatir kau bisa mati kedinginan. Jadi… kami memutuskan membawamu masuk,” tuturnya lembut, seperti seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya.
Sarah menunduk dalam-dalam, pundaknya bergetar. Air mata menetes begitu saja, membasahi piyama rumah sakit yang masih melekat di tubuhnya. Ia merasa bersyukur sekaligus malu. Bersyukur karena nyawanya masih tertolong, namun malu karena kondisinya kini benar-benar menyedihkan—terlunta-lunta tanpa arah, hanya bermodal harapan bertemu kembali dengan Chris dan Aiden. Bayangan semalam kembali terlintas di benaknya. Bagaimana ia berlari tanpa henti, dadanya terasa sesak, napasnya terburu-buru, sampai tubuhnya ambruk karena kelelahan. Ingatan itu membuat air matanya semakin deras. Wanita tua itu kemudian mencondongkan tubuhnya, memandang Sarah dengan seksama. Sorot matanya berubah ragu saat melihat pakaian Sarah—piyama lusuh khas pasien rumah sakit. Ia menarik napas panjang sebelum bertanya hati-hati.
“Bila boleh aku tahu… siapa dirimu, Nona? Dan bagaimana bisa sampai pingsan di depan toko kami? Dan…” suaranya terhenti sejenak, matanya menatap lekat pakaian Sarah,
“…kenapa kau mengenakan seragam pasien rumah sakit?”
Sarah buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan. Napasnya tersengal, wajahnya memerah karena menahan panik. Ia tahu dirinya tak bisa menceritakan kebenaran—jika wanita ini tahu ia kabur dari rumah sakit jiwa, mungkin ia akan dikembalikan ke tempat mengerikan itu. Dengan suara gugup dan terbata, ia mencoba menyusun kebohongan kecil.
“Saya… saya tiba–tiba tersesat. Tolong… beri tahu saya ini di mana? Saya… saya terpisah dari suami dan anak saya, saya... harus segera mencari mereka.” ucapnya dengan nada penuh cemas.
Bibirnya bergetar, matanya basah, meski dalam hatinya rasa sakit karena berbohong begitu menusuk.
“Tolong saya…” Sarah menambahkan dengan lirih, suaranya pecah, seperti jeritan hati yang sudah tak sanggup menanggung penderitaan lebih lama.
Wanita tua itu menatapnya lama, tak berkata sepatah kata pun. Lalu, perlahan ia mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Sarah yang kurus dan dingin. Sentuhan itu begitu hangat, seakan memeluk luka Sarah yang terdalam.
***
Pagi itu suasana di paviliun keluarga Jeffreyson terasa berat, seakan udara pun enggan bergerak. Satu koper besar dan beberapa tas sudah tertata rapi di dekat pintu, siap dibawa ke dalam bagasi mobil yang akan mengantar Chris ke bandara. Aiden tertidur pulas di pelukan babysitter yang juga akan ikut serta dalam perjalanan panjang itu. Wajah mungilnya tenang, seolah tak menyadari badai besar yang melanda keluarganya. Thomas, dengan wajah tegang, bolak-balik memastikan setiap barang sudah terkemas sempurna. Namun sesekali matanya melirik ke arah Chris yang duduk terpaku di sofa, wajahnya pucat, sorot matanya kosong. Jari-jari Chris meremas kedua lutut, tubuhnya sedikit membungkuk, menahan sesuatu yang nyaris meledak di dadanya.
“Tuan…” Thomas akhirnya mendekat, suaranya pelan namun penuh hati-hati.
Namun Chris tidak bergeming. Pandangannya masih tertuju ke arah jendela, menatap kosong ke luar, seakan mencari bayangan Sarah di balik cahaya pagi itu. Thomas menarik napas panjang, lalu duduk setengah jongkok di depannya, berusaha menyentuh hatinya.
“Saya tahu ini sangat berat untuk anda.”
Chris akhirnya mengerjap, tapi tak menjawab. Hanya bibirnya yang bergetar pelan, seakan menahan kata-kata yang ingin pecah menjadi tangisan. Thomas menundukkan kepala dan merendahkan suaranya, nyaris berbisik. Ia ingat bagaimana semalam Daniel mengancam tanpa ragu akan menghilangkan Sarah selamanya jika Chris berani menentang perintahnya. Itu yang membuat Thomas kini tak bisa tinggal diam.
“Tuan,nyonya Sarah… akan kupastikan dia aman. Selama anda dan Aiden pergi,” ucap Thomas dengan tekad.
Mendengar itu, perlahan Chris menoleh, matanya yang sembab menatap Thomas dalam-dalam. Ada sedikit cahaya harapan di sana.
“Benarkah?” suaranya serak, seolah takut jawaban itu hanya mimpi.
Thomas mengangguk mantap.
“Biar orang-orangku yang akan mengurusnya.”
Sesaat suasana menjadi hening. Namun tiba-tiba ponsel Thomas berdering. Ia beranjak ke sudut ruangan, menekan tombol jawab, suaranya ditahan rendah.
“Halo?”
Di seberang telepon, informannya melaporkan sesuatu yang membuat tubuh Thomas menegang. Sarah telah kabur. Tak ada yang tahu ke mana ia pergi. Thomas mengusap wajahnya kasar, berusaha menahan kepanikan.
“Cari dan temukan dia, dan pastikan dia aman. Hubungi aku kembali setelah ada perkembangan.” Suaranya dingin tapi tegas.
Ia menutup telepon, lalu berdiri sejenak, mengatur ekspresi agar tidak terbaca oleh Chris. Tatapannya kembali kepada tuannya yang masih duduk rapuh di sofa. Thomas memilih untuk tidak mengatakan apa pun. Ia takut jika Chris tahu Sarah kabur, situasi akan tak terkendali, dan Daniel bisa semakin berbahaya. Untuk saat ini, Chris harus tetap berangkat ke Afrika Selatan bersama Aiden—agar Daniel merasa misinya berhasil dan tidak menaruh curiga.
***
Tiba di bandara internasional, keluarga Jeffreyson dipenuhi suasana tegang. Angin yang berhembus di landasan pacu hanya menambah dingin suasana hati Chris. Di kejauhan, jet pribadi dengan logo keluarga Jeffreyson sudah siap menunggu, mesinnya bergemuruh rendah seperti binatang buas yang akan membawa pergi dua jiwa yang tak berdaya. Di dalam Fixed-Base Operator Lounge, Daniel berdiri berhadapan dengan putranya. Tangannya menekan kuat bahu Chris, sorot matanya keras, dingin, dan penuh kuasa.
“Mulai sekarang hiduplah dengan dirimu yang baru bersama Aiden. Lupakan wanita itu. Kau ingat apa kataku semalam?” suara Daniel tajam, tak memberi ruang penolakan.
Chris menunduk. Pandangannya jatuh ke lantai, matanya memerah karena tangisan yang tak sanggup lagi ia keluarkan. Bibirnya bergetar, namun tak sepatah kata pun meluncur. Hanya anggukan pelan, tanda menyerah pada takdir yang dipaksakan kepadanya. Dalam hatinya, ia meraung:
“Maafkan aku, Sarah….”
Daniel lalu beralih pada Aiden, yang tengah digendong sang babysitter. Jemari kasarnya menyentuh pipi chubby cucunya, dan sebuah senyuman kecil, samar, terbentuk di wajah tuanya.
“Jaga dia baik-baik,” titahnya.
“Baik, Tuan,” jawab babysitter dengan tegang.
Chris tak tahan lagi berdiri di sana. Dengan langkah gontai, ia berbalik, dadanya terasa seperti dihantam ribuan palu. Begitu keluar dari loungr, ia naik ke buggy car yang sudah menunggu, matanya tetap tertuju lurus ke depan, tak ingin lagi melihat wajah sang ayah. Babysitter yang membawa Aiden, menyusul di seat belakang. Daniel memberi isyarat dengan tatapan tajam ke arah Thomas. Pesan tanpa kata, namun jelas: awasi mereka. Thomas menunduk dalam, lalu segera mengikuti Chris naik ke buggy car, menahan perasaan bercampur antara loyalitas dan keinginan melawan.
***
Stacy tiba dirumah ayahnya dengan terburu-buru, wajahnya penuh semangat karena ingin menemui Chris.
"Chris..." Stacy memanggil adiknya.
Para staf rumah tangga yang melihat kehadiran Stacy berjajar menunduk memberi hormat. Stacy tanpa ragu duduk di sofa ruang utama keluarga. Mengibaskan rambut dan pakaiannya.
"Panggilkan Chris, aku ingin bertemu dengannya," ujarnya sambil mengutak–atik ponselnya.
Namun mereka diam sejenak, saling menatap satu sama lain.
"Kenapa diam saja? Panggilkan Chris!" Pintanya dengan nada cukup tinggi.
Namun betapa terkejutnya ia ketika para staf hanya menundukkan kepala, enggan bicara.
"Nyonya... Tuan Arthur... Tuan... beliau sudah pergi beberapa jam lalu ke bandara." Jawab salah satu staf akhirnya dengan terbata–bata.
“Apa maksudnya?!” sergah Stacy dengan nada tinggi.
“Pergi? Pergi ke mana??” Mata Stacy membesar, lalu berdiri dari sofa dengan tubuhnya yang sedikit bergetar.
“Berdasarkan perintah langsung dari Tuan Daniel. Kami… kami tidak diizinkan memberitahu kepada siapapun kemana Tuan Arthur pergi.”
Seolah dunia runtuh, Stacy kemudian jatuh terduduk disofa, dadanya terasa sesak. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
“Chris… Chris... adikku…,” suaranya pecah.
Ia teringat bagaimana kemarin masih bisa bertemu dengan Chris dan kini ia menyesal karena terlambat mengetahui kepergian Chris. Tangannya mengepal kuat, matanya menatap kosong ke arah gerbang rumah besar itu.
“Ayah... apa yang akan kau lakukan pada adikku…” gumamnya penuh amarah bercampur putus asa.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments