NovelToon NovelToon

Revenge of Heart

Cinta Terlarang yang Patah

“Ku mohon… lepaskan aku…” Sarah berlutut di kaki pria paruh baya itu, suaranya parau dipenuhi keputusasaan.

“Aku tidak gila! Aku harus bertemu anak dan… suamiku…” Tangannya gemetar menarik kaki mertuanya yang berdiri dengan tatapan dingin.

Daniel menatapnya tanpa belas kasih. Dengan isyarat tajam, ia memerintahkan petugas rumah sakit jiwa untuk menyeret Sarah.

“Tidak… jangan! Aku tidak gila!!” Sarah meronta, tangisnya pecah histeris.

“Urus dia sampai selesai. Pastikan tak ada jejak sedikit pun,” ucap Daniel dingin kepada Peter, asisten pribadinya.

Peter menundukkan kepala dalam-dalam, tanda patuh. Begitu Daniel beranjak pergi, ia segera berkoordinasi dengan Eddy, dokter yang telah disuap untuk merekayasa segalanya. Rekam medis dipalsukan, diagnosis dimanipulasi—agar orang-orang percaya Sarah memang sakit jiwa dan tidak mencurigai keluarga Jeffreyson dalangnya. Tak lama, tubuh lemah Sarah dilemparkan ke ruang isolasi. Ruangan itu sempit, dinginnya dinding menusuk sampai ke tulang, dan tanpa adanya jendela, hanya ada ventilasi kecil di atas. Udara pengap menusuk paru-paru. Sarah terduduk di ujung pintu, tangannya menghantam keras-keras pintu besi.

“Tolong… keluarkan aku… tolong…” suaranya serak, nyaris tak terdengar, namun hanya gema kesunyian yang menjawab.

Sarah terkulai lemah di lantai dingin yang menusuk tulangnya. Air mata terus mengalir tanpa henti, membuat wajahnya basah, bibirnya bergetar hebat setiap kali ia menarik napas di sela tangis. Dari mulutnya, hanya dua nama yang keluar lirih penuh kerinduan.

“Aiden… Chris…”

Nama itu bagai mantra yang ia ulang-ulang, seolah bisa memanggil dua sosok yang paling ia cintai agar kembali ke sisinya. Aiden, bayi mungilnya yang baru berusia tiga bulan—aroma tubuhnya masih begitu jelas di ingatan. Chris, suaminya yang selalu berjanji tak akan pernah melepaskan Sarah.

“Aku ingin bertemu mereka… tolong… keluarkan aku!!!” Sarah menjerit histeris, menghantam pintu besi dengan tenaga terakhir yang ia punya.

Namun suara itu hanya membentur dinding tebal, tenggelam dalam keheningan ruang isolasi yang pengap dan menyesakkan. Lidahnya terasa getir, dadanya penuh sesak. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi karena rasa takut yang kian mencekik. Dalam benaknya, hanya wajah Aiden yang tersenyum dan mata Chris yang hangat yang terus menari—membuat hatinya semakin remuk.

Sementara itu di sebuah ruangan gelap, pengap, dan berdebu, tubuh Chris tergeletak tak berdaya. Ia tertelungkup di lantai semen dingin, wajahnya penuh lebam, darah mengalir dari pelipis hingga membasahi sudut bibirnya. Napasnya tersengal, seolah tubuhnya memaksa tetap hidup meski hampir kehilangan tenaga. Semua ini terjadi bersamaan saat Sarah diseret paksa masuk ke rumah sakit jiwa. Chris, saat itu panik mencari istrinya yang tiba-tiba menghilang dari area parkir apartemen, saat dirinya sedang menurunkan barang dari bagasi mobilnya. Chris mendengar jeritan Sarah dan suara tangis Aiden serta suara gaduh. Namun naas, sebelum berhasil menghentikan penculikan Sarah dan Aiden, beberapa pria bayaran mencegatnya, menghajar tanpa ampun hingga ia tak sadarkan diri.

“Di mana bayi itu sekarang?” suara dingin Peter terdengar di sudut ruangan dimana Chris terkapar.

Ia menoleh pada seorang preman yang menunduk hormat.

“Bayi itu aman, sekarang sudah dibawa ke rumah Tuan Jeffreyson.” jawabnya singkat.

Peter mengangguk tipis, bibirnya terangkat membentuk senyum penuh kemenangan. Semua sudah sesuai rencana. Daniel tak ingin ada celah yang membocorkan rahasia ini. Seandainya Chris, putra bungsu keluarga Jeffreyson patuh pada ayahnya dan tidak menikahi Sarah, semua kekacauan ini tak akan terjadi. Namun kini, harga yang harus Chris bayar sangat mahal: cinta terlarang itu dipatahkan dengan cara paling kejam.

***

Tangisan Aiden menggema di dalam kamar mewah keluarga Jeffreyson. Seorang babysitter berulang kali mencoba menenangkan bayi itu dengan botol berisi susu, namun sia-sia. Wajahnya panik, keringat dingin mengalir di pelipis. Daniel, yang sedang membaca majalah di ruang keluarga, menghentikan kegiatannya begitu mendengar tangisan cucunya. Ia berdiri, langkahnya berat namun berwibawa, menuju kamar bayi.

“Berikan padaku.”

Suara rendahnya membuat babysitter buru-buru menyerahkan Aiden yang terus menangis keras.

Daniel menatap wajah mungil cucunya. Sejenak, sorot mata kejam yang biasa menghiasi wajahnya berubah lembut. Jemarinya yang dingin menyentuh pipi Aiden, lalu ia bertanya, “Apakah dia sudah minum susu?”

“T-tidak, Tuan. Sudah saya coba, tapi Bayi Aiden menolak.” Babysitter menjawab dengan nada cemas.

Aiden terus menangis, tubuhnya meronta. Daniel mengambil botol susu dari tangan babysitter.

“Aku yang akan menenangkannya,” ucapnya datar, lalu membawa sang cucu keluar dari kamar.

Di tempat berbeda, Chris kini sudah terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya penuh perban, tubuhnya lemah, napasnya berat. Ruangan itu dijaga ketat oleh beberapa bodyguard. Peter mengawasi dari balik pintu kaca, memastikan semua berjalan sesuai perintah Daniel. Chris masih hidup, tapi kini segalanya dalam cengkeraman penuh sang ayah. Luka-luka akibat hantaman preman masih jelas, meninggalkan bekas bukan hanya di tubuh, tapi juga di hatinya. Di ruang isolasi rumah sakit jiwa, Sarah meraung, menjerit meminta kebebasan. Tubuhnya berusaha melawan petugas yang menahannya, hingga akhirnya sebuah jarum suntik menembus lengannya. Cairan dingin itu membuat tubuhnya mereda perlahan. Kelopak matanya berat, suaranya semakin lirih,

“Aiden… Chris…”

Dan dalam hitungan detik, kesadarannya perlahan menghilang, meninggalkan isak tangis yang tertahan di udara pengap.

***

Dalam mimpinya, Chris berlari di hamparan padang rumput luas yang hijau, dibelai lembut sinar matahari pagi. Angin berhembus, membawa suara tawa dari sosok yang paling ia rindukan. Sarah. Ia melihat sosok istrinya berlari riang di hadapannya, gaun Sarah berkibar tertiup angin, rambut panjangnya memantulkan cahaya. Sesekali, Sarah menoleh ke belakang, tatapannya penuh cinta, lalu tertawa kecil sebelum kembali berlari menjauh.

“Sarah… tunggu aku!” seru Chris, terengah, namun senyumnya tak bisa ditahan.

Ia terus berlari, menggapai tangan istrinya yang hampir bisa diraih. Hanya beberapa langkah lagi… hanya sedikit lagi… Namun tiba-tiba, cahaya matahari yang terang menyilaukan pandangannya. Sosok Sarah perlahan memudar, ditelan cahaya itu, hingga akhirnya lenyap sama sekali.

“Sarah...!!!” teriak Chris, suaranya pecah, tangannya meraih udara kosong.

Air mata jatuh, menodai mimpinya yang indah berubah menjadi mimpi buruk. Di padang rumput itu, ia berdiri sendirian. Tawa yang tadi mengisi udara kini berganti keheningan, menyisakan jeritan histerisnya memanggil nama istrinya berulang kali.

“Sarahhh!!!” teriak Chris di dalam mimpinya, namun suara itu mendadak terhenti ketika tubuhnya tersentak.

Mata Chris terbuka lebar, nafasnya memburu seolah ia baru saja berlari sangat jauh. Sekelilingnya buram, bau obat-obatan menusuk hidungnya. Pandangan matanya menangkap langit-langit putih rumah sakit. Kepalanya berdenyut hebat, luka di pelipis terasa perih. Chris mengerang pelan, mencoba menggerakkan tubuh, namun lengannya terasa berat karena infus menusuk kulitnya.

“Sa… rah…” bisiknya parau, suaranya hampir tak terdengar.

Air mata kembali mengalir, mengingat jelas mimpi yang begitu nyata. Tiba-tiba suara pintu berderit. Seorang bodyguard masuk, tatapannya dingin, lalu segera keluar lagi setelah memastikan Chris sadar. Tak lama, langkah sepatu rapi terdengar. Peter muncul, berdiri di sisi ranjang dengan senyum samar.

“Sepertinya anda baru saja mengalami mimpi buruk, Tuan Muda,” ucap Peter datar, menatap Chris yang seolah-olah membaca isi hatinya.

Chris menoleh, matanya merah basah.

“Sarah… di mana Sarah?! Dimana Aiden… di mana mereka?!” suaranya pecah, penuh kecemasan.

Peter tidak langsung menjawab, hanya menghela napas.

“Istirahatlah terlebih dahulu. Kondisi anda belum stabil.”

Namun di balik ketenangan itu, jelas ada sesuatu yang disembunyikan. Chris menggenggam selimut dengan erat, hatinya berdegup kencang. Chris akhirnya sadar. Potongan-potongan peristiwa sebelum ia pingsan kembali menghantam pikirannya: teriakan Sarah, tangisan Aiden, dan wajah dingin para preman. Semua jelas. Ini semua pasti ulah Daniel Jeffreyson, sang ayah. Mata Chris merah berapi-api. Dengan sisa tenaga, ia bangkit dari ranjang, mencabut jarum infus yang menancap di lengannya. Tangannya langsung mencengkeram kerah baju Peter, menariknya mendekat.

“Cepat katakan di mana Sarah dan Aiden?! Jangan coba-coba menyentuh mereka!” raung Chris dengan suara parau, namun penuh murka.

Peter sempat terhuyung, namun tatapannya segera menajam, dingin menusuk. Amarah melintas di matanya—bukan hanya karena ditantang, tapi juga karena ia merasa direndahkan oleh seseorang yang selama ini ia lindungi keluarganya.

“Lepaskan.” Suaranya rendah, namun tajam seperti pisau.

Dengan satu gerakan keras, ia menyingkirkan tangan Chris. Wajahnya mendekat, bibirnya menyeringai sinis.

“Kau tidak akan pernah bertemu dengan Sarah lagi… selamanya.”

Ucapan itu menghantam dada Chris seperti palu.

“Apa yang kau katakan?!” teriaknya, tubuhnya bergetar menahan amarah.

Ia berusaha mengejar Peter yang melangkah keluar dengan tenang, seolah tak terguncang sedikit pun. Namun sebelum Chris sempat melangkah lebih jauh, dua bodyguard bertubuh besar sudah menahannya. Mereka mendorongnya kembali ke ranjang dengan paksa.

“Lepaskan aku! Sarah! Aiden!” Chris berteriak histeris, suaranya pecah penuh putus asa.

Tapi yang terdengar hanyalah gema tangisnya di kamar perawatan yang terkunci rapat.

Jejak Luka dari Masa Lalu

Tanpa diduga, Aiden akhirnya tertidur dalam dekapan Daniel setelah berhasil meminum susu formula. Lelaki paruh baya itu berdiri tegak, tubuhnya perlahan diayun-ayunkan, gerakan yang kontras dengan wibawa kerasnya. Suara tangisan Aiden lenyap, berganti desah napas halus bayi yang kini terlelap. Seorang babysitter masuk perlahan, langkahnya ragu.

“Tuan… biar saya tidurkan bayi Aiden di kamarnya.”

Daniel menatap wajah mungil cucunya untuk beberapa detik, tatapannya melembut—satu-satunya titik rapuh yang ada di dalam dirinya. Perlahan, ia menyerahkan Aiden ke pelukan babysitter.

“Jaga dia,” ucapnya singkat, namun tegas.

Di lorong, babysitter berpapasan dengan Peter. Sekilas, mata Peter menangkap wajah polos Aiden yang tertidur pulas. Namun tanpa berhenti, ia melanjutkan langkah, menuju taman belakang tempat Daniel berdiri memandangi langit malam.

“Selamat malam, Tuan,” Peter menunduk hormat.

Daniel tidak berbalik. Tangannya masih bersedekap, matanya lurus ke arah langit hitam bertabur bintang.

“Sudah kau lakukan tugasmu?”

“Semua berjalan sesuai rencana Anda.”

“Chris?” tanya Daniel lagi, kali ini dingin.

“Tuan muda sedang dalam proses penyembuhan di rumah sakit. Dan Sarah, dia—”

“Sarah…” potong Daniel cepat, suaranya rendah namun tajam menusuk.

“Bila perlu, lenyapkan dia. Aku tak ingin Chris kembali pada wanita itu.”

Peter terdiam sejenak. Ia sudah tiga puluh tahun mengabdi pada Daniel, dan tahu betul nada itu bukan sekadar perintah—melainkan keputusan final. Ia menunduk dalam.

“Saya mengerti.”

Daniel menarik napas panjang, lalu menambahkan,

“Dan… persiapkan keberangkatan Chris beserta anaknya ke Afrika Selatan. Biarkan mereka hidup di sana, sekaligus mengurus bisnisku."

“Baik, Tuan.”

Tanpa kata lagi, Peter membungkuk, mundur dengan penuh hormat, lalu berbalik meninggalkan Daniel seorang diri di taman malam itu.

Hanya suara serangga malam yang menemani Daniel, sementara bayangan tubuhnya menjulang di bawah cahaya lampu taman, sosok lelaki yang bisa lembut pada cucu, tapi tak ragu memutus takdir darah dagingnya sendiri.

***

Langkah Thomas Rise terdengar tergesa di sepanjang koridor rumah sakit. Lampu neon pucat memantulkan bayangan tubuhnya di lantai, sementara detak jantungnya terasa berpacu cepat. Ia berhenti beberapa langkah di depan pintu kamar perawatan Chris, menarik napas panjang. Tampak dua orang bodyguard menjaga kamar itu. Thomas tak gentar lalu menghadapi keduanya sebelum akhirnya diizinkan masuk, perlahan Thomas membuka pintu. Aroma obat-obatan langsung menusuk inderanya. Pandangannya jatuh pada sosok Chris yang terbaring lemah, tubuhnya penuh perban, dengan selang infus menempel di pergelangan tangan kanan. Thomas menahan napas. Ada luka di dadanya melihat Chris yang dulu sering bermain bersama saat liburan, kini terkapar tak berdaya. Thomas mendekat, ia berdiri di sisi ranjang, menatap wajah pucat Chris. Ingatannya berputar pada masa lalu—bagaimana Daniel kadang mempertemukan mereka sewaktu kecil. Meski tak tumbuh bersama, ikatan itu nyata. Chris selalu dianggapnya sebagai adik sendiri. Thomas ternyata sudah mengetahui soal yang menimpa keluarga kecil Chris. Diam-diam, ia mengetahui rencana Daniel. Mengetahui bagaimana sang ayah angkat dengan dingin memutuskan memisahkan Chris dari Sarah, bahkan dari bayi mereka, Aiden. Dan berbeda dari Peter, yang patuh tanpa suara, Thomas tak bisa menutup mata. Suara lirih keluar dari bibirnya, nyaris seperti bisikan yang hanya dinding kamar yang mendengar.

“Aku berjanji… aku akan membantumu menemukan Sarah dan Aiden.” Tangannya mengepal di sisi tubuh, sorot matanya penuh tekad.

Untuk pertama kalinya, Thomas memilih untuk tidak tunduk sepenuhnya pada Daniel Jeffreyson.

Lima belas menit berlalu Chris akhirnya terbangun perlahan, kelopak matanya berat. Pandangannya samar menangkap sosok seorang pria berbalut jas hitam, berdiri tak jauh darinya sambil berbicara pelan lewat telepon. Suara itu… terasa familiar.

“Thomas…” panggil Chris lirih, suaranya pecah.

Thomas tersentak, matanya membulat. Ia segera memutus sambungan telepon, lalu berbalik, menatap sang adik angkat yang kini menatapnya penuh harap.

“Syukurlah Anda sudah sadar,” ucap Thomas, mencoba tersenyum tenang meski hatinya berkecamuk.

Chris menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Air mata jatuh tanpa ia sadari, mengalir membasahi pipi. Dengan sisa tenaga, ia mengulurkan tangan. Thomas segera meraih tangan itu, lalu duduk di tepi ranjang, merasakan genggaman lemah namun penuh putus asa.

“Dengarkan aku…” bisik Chris, napasnya masih berat.

“Aku tahu… hanya kau yang bisa kuandalkan.” Tangisnya pecah dan tubuhnya terguncang.

“Aku… aku kehilangan Sarah dan anakku. Aku belum menemukan mereka. Aku takut… aku akan kehilangan mereka selamanya…”

Thomas terdiam, menahan air matanya agar tidak jatuh. Dadanya sesak mendengar suara putus asa Chris.

“Tenanglah,” ucapnya pelan, tangannya menepuk bahu Chris seolah ingin menyalurkan kekuatan.

“Anda harus tahu… saya ada di pihak Anda. Saya berjanji akan membantu. Tapi…” suaranya mengecil, tetapi tegas.

“…ini harus menjadi rahasia. Tuan Besar tidak boleh mengetahuinya.”

Chris mengangkat wajahnya, menatap Thomas dengan mata merah dan penuh rasa percaya. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak benar-benar sendirian di tengah jeratan sang ayah.

***

Satu minggu berlalu. Bagi Chris, hari-harinya terasa seperti seekor burung yang hidup di dalam sangkar emas namun penuh belenggu. Ia tinggal di paviliun megah yang berada di kompleks rumah ayahnya—luas, mewah, namun penuh pengawasan. Setiap sudut dijaga ketat, setiap gerak-geriknya dipantau. Ironisnya, Aiden berada di tempat yang sama, hanya beberapa langkah darinya, namun Chris sama sekali tak mengetahuinya. Ayah dan anak terpisah dalam rumah yang sama, dipisahkan oleh rahasia Daniel. Chris kini kembali ke rutinitas perusahaan keluarga sejak terakhir kali sebelum menikahi Sarah. Dengan Thomas yang selalu berada di sisinya sebagai asisten pribadi, ia bekerja, bertemu orang-orang, membaca dan menandatangani dokumen… semua dilakukan dengan sikap dingin dan murung. Para karyawan terdiam setiap kali ia lewat. Mereka takut, bukan hanya pada statusnya, tapi pada tatapan kosong dan dingin yang tak menyisakan kehangatan. Semua itu hanyalah cerminan dari frustrasi dan kehancuran hatinya—kehilangan Sarah dan Aiden yang belum juga ditemukan. Siang itu, di ruang kerjanya yang luas, Thomas berdiri rapi dengan setumpuk berkas di tangan.

“Ini dokumen yang harus Anda tanda tangani,” ujarnya sopan, lalu meletakkannya di meja.

Chris memutar kursinya, kembali menghadap tumpukan kertas. Jemarinya meraih pena, matanya tertuju ke dokumen-dokumen dimejanya.

“Sudah ada kabar yang kau dapatkan?” tanyanya dingin, tanpa emosi.

Thomas tahu betul apa maksud pertanyaan itu. Ia menarik napas pendek, lalu menunduk sedikit.

“Mohon maaf, saya belum bisa menemukan keberadaan istri dan anak Anda. Namun… saya telah menempatkan seseorang untuk mengikuti Peter. Seperti yang Anda tahu, dialah yang mengetahui dan menjalankan semua rencana Tuan besar. Saya akan segera memberi kabar jika ada perkembangan.”

Chris terdiam. Matanya tak bergerak sedikit pun, seolah menenggelamkan diri dalam tumpukan angka dan laporan. Tanpa sepatah kata pun, jemarinya sibuk bergerak, menandatangani setiap halaman. Namun di balik wajah dingin itu, hatinya kembali merintih—hanya ada satu hal yang benar-benar ia inginkan: menemukan Sarah dan Aiden.

Dokumen terakhir selesai ditandatangani. Thomas membungkuk sedikit, mengambil berkas itu, lalu keluar dari ruangan dengan langkah teratur.

Hening.

Chris menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi, memutar perlahan kursinya ke arah jendela besar yang memperlihatkan barisan gedung pencakar langit. Tatapannya kosong, penuh keputusasaan.Sejenak, terlintas pikiran gila di kepalanya—bagaimana jika ia melompat saja dari ketinggian itu? Mungkin sakit di hatinya akan berakhir. Namun ingatan akan wajah Sarah dan suara tangis Aiden kembali menyeruak. Seharusnya mereka kini tengah berbahagia: begadang bergantian menjaga bayi mungil itu, merayakan setiap senyum pertama, setiap tangisan kecil. Semua kebahagiaan itu sirna, dirampas dengan kejam oleh tangan ayahnya sendiri. Chris menutup wajah dengan kedua tangannya. Air mata jatuh tanpa suara, hanya sesekali ia menahan tangisnya dengan menggigit bibir.

***

Di lobi gedung, sebuah sedan hitam berhenti. Seorang security buru-buru membukakan pintu.

Seorang wanita turun, penampilannya memancarkan keanggunan dan kekuatan. Rambut panjang bergelombang dengan warna soft brown, kacamata hitam elegan, dan busana stylish yang langsung menarik perhatian orang sekitar. Ia melangkah penuh percaya diri masuk ke dalam gedung.

“Aku ingin bertemu Chris Arthur Jeffreyson. Apakah dia ada di ruangannya?” suaranya terdengar tegas di meja resepsionis.

Staf resepsionis sedikit gugup.

“Maaf, apakah Anda sudah memiliki janji sebelumnya?”

Wanita itu melepas kacamatanya perlahan, menatap resepsionis dengan tajam.

“Kau tidak tahu siapa aku? Katakan saja padaku, dia ada atau tidak?”

Suasana sempat menegang. Nama besar Jeffreyson memang membuat siapa pun waspada. Saat itu, Thomas Rise kebetulan lewat, hendak keluar dari lift dengan membawa map dokumen. Ia menghentikan langkahnya ketika mendengar suara perdebatan.

“Maaf, ada apa di sini?” tanya Thomas, menoleh ke resepsionis.

Namun begitu pandangannya jatuh pada sosok wanita itu, matanya sedikit membulat.

“Tidak salah lagi… Anda—Nyonya Clara?”

Wanita itu mengangkat alisnya, sedikit terkejut.

“Kau mengenalku?”

“Tentu,” Thomas tersenyum kecil sambil menunduk hormat.

“Anda Stacy Clara, kakak dari Tuan Arthur. Beliau pasti senang melihat kehadiran Anda. Mari, izinkan saya mengantarkan Anda langsung ke ruangannya.”

Stacy menatap Thomas sejenak, seakan mengukur niat baiknya, lalu mengangguk ringan. Ia pun melangkah diiringi Thomas, meninggalkan resepsionis yang masih tampak bingung.

Suara ketukan pintu terdengar pelan. Chris tidak bergerak sedikit pun dari kursinya, tatapannya masih kosong menembus jendela. Thomas masuk dengan langkah hati-hati.

“Maaf Tuan… ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda.”

Chris tetap diam, tidak memberikan reaksi.

Thomas menoleh ke arah pintu dan memberi kode halus. Stacy pun melangkah masuk dengan anggun. Ia menoleh sekilas ke arah Thomas.

“Terima kasih, kau boleh pergi,” katanya tegas.

Thomas menunduk singkat lalu meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan tenang.

Hening sejenak.

“Kau tidak ingin melihat siapa tamu yang datang padamu?” suara perempuan itu terdengar sedikit menggoda, mencoba memecah kebekuan.

Chris tersentak pelan. Suara itu… seperti dikenalnya, terdengar samar seperti dari masa lalu.

“Chris…” panggilan itu terdengar lebih lembut, penuh kasih sayang.

Perlahan Chris bangkit, tubuhnya kaku seolah tak percaya. Ia memutar badannya, dan matanya langsung terpaku pada sosok wanita di ambang pintu.

“Haiii…” Stacy tersenyum, melambaikan tangan kecilnya dengan gaya khas yang dulu sering ia lakukan saat mereka masih anak-anak.

Detik berikutnya, Stacy berlari menghampiri dan langsung merengkuh Chris dalam pelukan erat.

Chris menelan ludah, tubuhnya membeku. Rasa asing dan akrab bercampur menjadi satu.

“Aku rindu sekali padamu, Chris… Kau sudah dewasa sekarang… adikku yang tampan…” suara Stacy bergetar, penuh emosi.

Chris akhirnya tak kuasa menahan tangis. Bahunya bergetar, air mata jatuh tanpa henti. Dengan gemetar ia membalas pelukan sang kakak, memeluk erat seakan takut kehilangan lagi.

“Stacy… kakak…” suara Chris pecah, tertelan isak tangis yang tertahan terlalu lama.

“Kau menangis? Kau… merindukanku?” tanya Stacy pelan, menatap adiknya dengan tatapan lembut.

Chris semakin terisak. Segala rasa sakit, frustasi, dan kehilangan yang selama ini ia pendam pecah dalam pelukan sang kakak. Ia menangis seperti seorang anak kecil yang baru saja kehilangan benda paling berharganya. Stacy kebingungan. Tangannya menepuk lembut punggung Chris.

“Kau baik-baik saja? Aku tidak tahu kenapa kau menangis seperti ini… ini membuatku sedih, Chris.”

Perlahan ia melepaskan pelukannya, kedua tangannya kini menggenggam lengan adiknya, memaksa Chris menatap wajahnya. Mereka akhirnya duduk bersama di sofa, saling berhadapan. Stacy tak melepaskan genggaman tangannya, mencoba memberi kekuatan untuk Chris.

“Kau kembali? Ada apa? Bukankah kau hidup bahagia di Kanada bersama suamimu? Kenapa kau kembali ke sini? Kau tahu, ayah akan menyulitkanmu…” Suara Chris serak, masih tersendat tangis.

“Aku kembali hanya untuk menemuimu,” jawab Stacy tegas, namun matanya berkaca-kaca.

“Aku mendapat kabar… kau sudah menikah, dan istrimu sudah melahirkan. Sejujurnya, aku kecewa, Chris. Kecewa... karena terlambat mengetahuinya. Dan lebih dari itu—kau sama sekali tidak memberitahuku…”

Chris menunduk. Jemarinya meremas tangan Stacy tanpa kata, seolah ia tidak tahu bagaimana menjelaskan keadaan sebenarnya.

Stacy menarik napas dalam.

“Apakah ayah menerima pernikahanmu? Dari yang kudengar… kau menikah dengan wanita dari kalangan biasa. Kau tahu sendiri, ayah tidak pernah bisa menerima itu. Dia selalu ingin mengatur hidup anak-anaknya. Sama seperti aku dulu, saat ditentang menikah dengan pria pilihanku.” Suara Stacy mulai parau, luka lamanya ikut terkuak.

“Dan sama seperti… Ben.”

Chris menegakkan kepalanya. Nama itu bagai hantaman keras di dadanya.

“Ben…” ucapnya lirih.

Benjamin Edward Jeffreyson. Anak sulung keluarga Jeffreyson. Idola bagi adik-adiknya, tulang punggung keluarga—namun sekaligus korban pertama dari keegoisan Daniel.

“Ayah begitu murka saat tahu Ben menikah diam-diam. Kau ingat, Chris?” suara Stacy bergetar.

“Hari itu seharusnya menjadi hari yang paling bahagia untuk Ben dan istrinya… tetapi semua berubah menjadi mimpi buruk.”

Chris menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ia masih ingat kabar mengerikan itu saat dirinya berusia 12 tahun. Mobil Ben yang dikendarai bersama istrinya malam itu dikejar oleh preman suruhan Daniel. Ben memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi untuk menghindari kejaran para preman, namun naas, Ben saat itu kehilangan kendali mobilnya. Mobil itu pun menabrak pagar pembatas jalan lalu terjun bebas ke jurang. Hari pernikahan itu berubah menjadi hari kematian.

“Ben pergi selamanya… hanya karena menentang ayah,” Stacy berbisik, matanya basah.

“Dan kau… kau menempuh jalan yang sama, Chris.”

"Aku tak bisa menentukan takdirku sendiri kak, pertemuan ku dengan Sarah lalu tumbuh perasaan untuknya, adalah sesuatu yang tidak ku rencanakan. Tapi hal itu yang tak pernah dimengerti oleh ayah."

Chris menatap mata sang kakak kemudian.

“Kakak…” suara Chris pecah tertahan,

“Apakah kau bahagia? Apakah suamimu memperlakukanmu dengan baik? Sejak kau pergi dari rumah… aku benar-benar kesepian. Aku ketakutan… aku merindukan kalian… Ibu, Ben… dan juga dirimu.” Tangisnya makin kuat.

Kata-kata itu seperti tumpahan perasaan yang selama ini terkurung di dadanya. Stacy pun tak kuasa. Air mata mengalir, ia buru-buru menghapusnya dengan jemarinya yang gemetar.

“Bohong… bila aku berkata bahwa aku bahagia, Chris. Bagaimanapun, rasanya akan selalu sakit rasanya hidup terasing dari keluarga sendiri. Bukan hanya terpisah secara fisik… tapi juga terpisah oleh perasaan, oleh dinding yang ayah bangun di antara kita semua.”

Ia menarik napas berat, suaranya bergetar. “Bagaimanapun sikap ayah, aku tetap menyayanginya. Tapi aku selalu berharap… suatu hari ayah bisa berubah. Melihat dunia di luar dirinya, belajar menghargai pilihan anak-anaknya…”

Chris menggeleng dengan getir, matanya merah dan basah.

“Ayah… dia tak pernah berubah, Kak. Kukira… kematian Ben, kepergianmu dari rumah… akan membuka matanya. Akan membuatnya sadar. Tapi nyatanya tidak.”

Ia menunduk, bahunya bergetar.

“Yang kurasakan… dia semakin jauh dari sosok seorang manusia. Dia bukan lagi seorang ayah bagiku… tapi lebih seperti robot… robot tanpa hati.”

Hening sesaat. Hanya suara isakan Chris yang memenuhi ruangan. Stacy menatap adiknya penuh getir. Hatinya sendiri tercabik, namun ia tahu Chris menanggung beban yang jauh lebih berat. Dan saat itulah Chris tak mampu menahannya lagi. Dengan suara bergetar, ia menceritakan semuanya—tentang pernikahannya dengan Sarah yang ditolak ayah mereka, tentang kelahiran Aiden, tentang penculikan istri dan anaknya, yang membuatnya dipisahkan paksa dari keluarga kecilnya. Stacy membeku. Tubuhnya gemetar hebat, kedua tangannya menutupi mulutnya yang ternganga.

“Tidak… Chris, katakan itu tidak benar…” suaranya patah, nyaris tak terdengar.

Namun tatapan penuh luka di mata adiknya menjawab segalanya. Stacy pun meratap pilu, tubuhnya terhuyung ke depan, memeluk Chris erat-erat.

“Astaga, Chris… bagaimana bisa ayah… melakukan hal ini…”

***

Daniel duduk di kursi empuknya yang tinggi, dikelilingi rak buku berisi arsip perusahaan dan dokumen hukum. Asap tipis dari cangkir kopi panas mengepul di hadapannya. Ia menyeruputnya perlahan, seolah dunia seisinya berada digenggamannya. Peter duduk tegak di kursi seberang, wajahnya datar, tenang seperti biasa.

“Apakah persiapan untuk Chris dan Aiden ke Afrika Selatan sudah siap?” suara Daniel rendah, namun tajam.

“Aku tak ingin mereka terlalu lama di sini. Semakin lama… semakin besar kemungkinan mereka bertemu Sarah.”

Peter mengangguk sedikit, suaranya mantap.

“Semuanya sudah siap, Tuan. Tinggal menunggu kabar kapan Tuan Muda bersedia berangkat. Bahkan jika besok pun, semuanya sudah diatur. Pesawat, dokumen, pengawalan… semuanya siap.”

Daniel menyandarkan tubuhnya, jemarinya mengetuk pelan lengan kursi. Senyum tipis muncul di bibirnya.

“Bagus. Chris akan mengurus perusahaan tambang emasku di sana. Sudah waktunya… penerusku mengemban tanggung jawab nyata.”

Peter kembali mengangguk, seperti bayangan yang tak pernah meninggalkan majikannya.

Bagai anjing setia yang hanya tahu menggonggong ketika diperintah. Daniel meletakkan cangkir kopinya di atas meja, nadanya berubah dingin.

“Dan Sarah…” matanya menyipit.

“Aku tidak ingin mendengar namanya lagi. Bahkan melihatnya pun tak sudi. Dia tidak pantas… untuk Chris.”

Hening sejenak, hanya suara jam antik di dinding yang berdetak. Peter menunduk hormat, tak berani menatap langsung.

“Saya mengerti, Tuan.”

***

Hari demi hari berlalu, dinding-dinding pucat rumah sakit jiwa itu menjadi saksi penderitaan Sarah. Bau obat-obatan menusuk hidung, suara teriakan histeris dari pasien lain sesekali menggema di lorong-lorong panjang yang dingin.

Sarah duduk di ranjangnya, tubuhnya menyusut jauh dari sebelumnya. Rambutnya kusut, wajahnya pucat tanpa cahaya kehidupan. Ia hanya diam, menatap kosong ke arah lantai atau meringkuk memeluk lututnya.

“Aku… tidak gila…” lirihnya, begitu pelan hampir seperti bisikan.

Namun suara itu segera tenggelam oleh rengekan dan tawa tanpa makna pasien-pasien lain di sekitarnya.

“Aku lelah… jika terus seperti ini… di mana Aiden? Di mana anakku? Chris…” suaranya pecah, penuh kepiluan.

Air mata menetes, tapi tak lagi deras seperti dulu. Kini ia hanya menangis diam-diam, seperti seorang tawanan yang sudah kehilangan tenaga untuk melawan. Sarah yang dulu penuh semangat, kini perlahan berubah menjadi bayangan dirinya sendiri. Ia mulai larut dalam atmosfer suram rumah sakit jiwa itu. Jika awal-awal ia berteriak dan meronta, sekarang ia lebih banyak diam, seakan pasrah, membuatnya tak ada bedanya dengan pasien lain yang benar-benar sakit. Tubuhnya kurus, tulangnya menonjol di balik pakaian pasien yang longgar. Nafsu makannya hilang, semangat hidupnya padam. Hanya satu hal yang masih membuatnya bertahan—nama Aiden dan Chris yang sesekali keluar dari bibirnya di antara helaan napas putus asa.

Tangisan yang Dirindukan

Mobil berhenti tepat di depan pintu utama rumah besar keluarga Jeffreyson. Lampu-lampu gantung di sepanjang halaman hingga teras rumah berkilauan, para pelayan pun sudah berjajar siap menyambut. Chris menoleh ke samping, menatap kakaknya.

“Kau sudah siap bertemu Ayah?” tanyanya pelan, seolah ikut menanggung beban.

Stacy menarik napas panjang, lalu mengangguk dengan penuh keyakinan.

“Tentu…"

Chris menatapnya sesaat, lalu membuka pintu mobil.

Sementara itu, di sudut lain rumah—kamar bayi dengan desain interior bertema luar angkasa. Dindingnya penuh gambar planet, bintang, dan roket kecil. Lampu gantung berbentuk bulan berayun pelan, menebarkan cahaya lembut ke seluruh ruangan. Di sana, Daniel duduk di kursi goyang, memangku Aiden. Senyumnya mengembang setiap kali melihat cucunya menggerakkan bibir mungilnya atau menggenggam jarinya. Sesekali, Daniel bahkan tertawa kecil—suara yang jarang sekali terdengar darinya.

“Kau pintar sekali, Aiden…” bisiknya, mata Daniel melembut.

“Kau penerus keluarga Jeffreyson. Kakek akan pastikan kau mendapatkan segalanya.”

Tawa kecil bayi itu membuat Daniel terpesona. Namun kebahagiaan itu seketika terputus ketika pintu kamar bayi diketuk. Kepala pelayan masuk, membungkuk hormat.

“Tuan besar… Tuan Muda Chris sudah kembali dari kantor bersama seseorang.”

Daniel mengangkat wajahnya. Senyum di bibirnya hilang, berganti ekspresi serius. Ia menatap cucunya sekali lagi, lalu mengelus kepala mungil Aiden.

“Aiden… kakek harus pergi sebentar. Kita akan bertemu lagi,”

Ia bangkit dari kursi goyang, menyerahkan Aiden kepada babysitter. Tatapannya menusuk tajam.

“Pastikan Chris tidak mengetahui bayi ini ada di rumah. Kau mengerti?”

Babysitter menelan ludah, lalu mengangguk cepat.

“Ya, Tuan.”

Daniel melangkah keluar dengan langkah pasti, menyembunyikan lagi rahasia besar yang bisa mengguncang segalanya.

***

"Aku gugup sekali Chris..." Berulang kali stacy mengatakan hal yang sama.

"Tenanglah, aku bersama mu sekarang. Kita hadapi bersama." Chris mengelus punggung sang kakak.

Daniel melangkah dari balik pintu besar yang memisahkan ruang tamu yang besar dengan ruang keluarga yang lebih intim. Daniel melihat Stacy berdiri bersama Chris menatap ke arah dirinya. Tak ada ekspresi rindu layaknya seorang ayah kepada putrinya. Namun tidak untuk Stacy.

"Kau... masih punya malu datang ke rumah ini setelah bertahun-tahun pergi dan menentangku?" Tak ada basa-basi dari mulut Daniel.

“Hentikan ayah…! Stacy datang dengan niat baik ingin bertemu denganmu sebagai orang tua yang dia sayangi dan hormati!!! Sampai kapan ayah akan bersikap egois dan sewenang-wenang? Tidakkah ayah berkaca pada peristiwa yang menimpa Ben???” Chris berteriak dengan suara pecah, matanya merah berair.

Kata-kata itu menghantam ruangan bagaikan petir. Stacy terkejut, menutup mulutnya, tak pernah menyangka adiknya yang lembut dan pendiam bisa memberontak seperti itu. Daniel berdiri kaku. Wajahnya menegang, tapi ada kilatan lain di matanya—rasa bersalah yang terpendam dan amarah yang ditutupi. Ia mengepalkan tangannya di sisi tubuh, berusaha menahan gejolak batin yang tidak terlihat.

“Jangan bawa-bawa nama Ben dalam masalah ini!” suara Daniel menggelegar, meski ada getar halus yang tidak luput dari pendengaran Chris dan Stacy.

“Ben... dia... meninggal… karena dia menentangku!!! Karena dia berani melawan! Itu—” ia terhenti, napasnya berat, seakan menahan sesuatu yang tak sanggup ia ucapkan.

Stacy melangkah maju, menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

“Tidak, Ayah… Ben meninggal karena Ayah terlalu keras padanya. Karena Ayah tak pernah memberinya kebebasan. Bahkan setelah kehilangan Ben, Ayah tetap tidak pernah belajar!”

Chris menambahkan, suaranya lebih pelan namun penuh luka,

“Lihat dinding ini, Ayah. Hanya ada foto Ayah dan aku. Lalu bagaimana dengan Ibu? Bagaimana dengan Ben? Bagaimana dengan Stacy? Apakah mereka tak pantas untuk tetap hadir dirumah ini? Walau hanya sekedar foto?" Daniel terdiam.

Tubuhnya seakan membatu, matanya menatap ke arah potret foto yang masih tergantung di dinding. Sesaat, ada kilatan kesedihan melintas di wajahnya, tapi dengan cepat ia menegakkan tubuh dan mengeraskan hati kembali.

“Cukup. Aku tidak ingin membicarakan hal ini lagi.” katanya singkat, dingin, dan kemudian ia melangkah pergi meninggalkan mereka.

Suasana ruang tamu mendadak sunyi. Stacy menunduk, air matanya jatuh menetes di lantai marmer. Chris duduk lemas di sofa, kedua tangannya menutupi wajahnya.

“Dia… dia tidak akan pernah berubah,” suara Chris bergetar.

Stacy menoleh, menatap adiknya penuh iba. Ia mengulurkan tangan, menggenggam jemari Chris dengan erat.

“Tapi kita… kita tidak boleh berhenti berharap, Chris. Kalau tidak, kita semua akan hancur termasuk ayah, suatu hari nanti.” Jemari Stacy mengusap lembut pipi adiknya.

Chris menggeleng lemah.

“Aku sudah kehilangan Sarah, aku sudah kehilangan Aiden. Rasanya aku hanya… ingin menyerah.”

Stacy memeluk adiknya erat, menahan guncangan tubuh Chris. Air matanya jatuh begitu deras, bukan hanya karena kesedihan, tapi juga karena rasa bersalah—dulu meninggalkan adiknya, kini membuat Chris harus menanggung semua beban ini sendirian.

***

Sementara itu, di ruang kerjanya, Daniel menutup map dokumen dengan tegas. Kopi yang tadi masih hangat kini sudah dingin tak tersentuh. Ia berdiri, tangannya terkepal di belakang punggung, berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke halaman depan.

“Besok pagi, Chris harus segera berangkat,” suara Daniel terdengar rendah, namun sarat dengan tekanan.

Peter menunduk dalam-dalam.

“Saya akan atur penerbangan khusus, tuan. Tidak akan ada yang mengetahui.”

Daniel menghela napas panjang, matanya sedikit meredup.

“Anak itu… terlalu banyak menangis. Dia harus dijauhkan dari bayangan perempuan itu. Terlebih kini Stacy kembali dan itu akan membuat Chris semakin sulit dikendalikan!”

Peter mengangguk, tak berani menanggapi lebih jauh. Daniel memalingkan wajahnya ke arah meja, di sana ada sebuah foto kecil yang disembunyikan di balik laci: potret Ben semasa muda, tersenyum dengan seragam universitasnya. Daniel menatap foto itu beberapa detik, wajahnya keras, tapi rahangnya sedikit bergetar. Ia buru-buru menutup laci, menekan segala emosi yang berusaha muncul ke permukaan.

“Besok… semua akan berakhir. Chris, kau akan berterima kasih padaku suatu hari nanti.” Senyumnya tipis, tetapi dingin.

***

Mobil hitam yang membawa Stacy berbelok keluar dari gerbang besar rumah keluarga Jeffreyson. Sorot lampu merah dari belakang mobil semakin mengecil, hingga akhirnya lenyap di balik pepohonan. Chris berdiri kaku di halaman, tubuhnya terasa kosong. Air mata mengalir tanpa henti, jatuh di pipinya yang pucat. Bibirnya bergetar pelan, berucap lirih pada kepergian kakaknya,

“Jaga dirimu, kak…”

Ia terdiam lama, menatap hampa ke jalanan yang kini sunyi. Namun saat ia berbalik hendak kembali ke paviliun, matanya menangkap sesuatu yang ganjil. Dari arah gedung samping rumah, seorang wanita dengan seragam babysitter berwarna pink berjalan tergesa bersama Peter. Chris mengernyit. Sejak kapan ada pelayan dengan seragam berbeda? Semua pelayan di rumah ini selalu memakai hitam-putih… siapa dia?

Dari kejauhan, Peter juga menyadari tatapan curiga Chris. Wajahnya langsung berubah tegang. Dengan cepat, ia memberi isyarat agar babysitter itu berbalik arah dan segera pergi. Wanita itu menunduk, lalu buru-buru menghilang ke dalam bangunan lain, menyembunyikan barang kebutuhan Aiden yang dibawanya. Peter lalu melangkah mendekat kepada Chris, senyum tipis dipaksakan di wajahnya.

“Tuan muda, malam sudah larut. Anda sebaiknya beristirahat.”

Chris tak menjawab. Tatapannya dingin menusuk Peter sejenak, sebelum akhirnya ia memilih berbalik menuju paviliunnya. Dalam hatinya, rasa curiga semakin menebal.

***

Di ruang kerja Daniel, suasana hening menusuk. Thomas berdiri tegak di hadapan meja besar yang penuh berkas dan dokumen. Daniel masih sibuk menorehkan tanda tangan, seolah kehadiran anak angkatnya itu tak lebih dari angin lalu. Beberapa menit kemudian, barulah Daniel bersuara, tanpa sekalipun menatapnya.

“Thomas… bagaimana kabarmu?”

Thomas merasa janggal dengan pembukaan itu. Namun ia menjawab sopan, menahan nada curiga.

“Kabar saya baik, tuan.”

Daniel berhenti menulis, lalu mengangkat pandangannya perlahan.

“Sudah seminggu ini kau mendampingi Chris. Aku ingin tahu… bagaimana menurutmu? Aku tahu kalian sudah akrab sejak kecil.”

Thomas sempat terdiam, mencari kata yang aman.

“Terima kasih karena telah memberi kesempatan ini, tuan. Menjadi asisten pribadi tuan muda adalah kehormatan besar bagi saya. Bagi saya… Tuan Chris sudah seperti adik saya sendiri.”

Daniel menatapnya lama, seakan menimbang setiap kata. Lalu sudut bibirnya terangkat, senyum samar penuh misteri.

“Aku selalu menyukai kesetiaanmu, Thomas.”

Kemudian kalimat berikutnya meluncur, membuat dada Thomas seolah dihantam.

“Mulai besok, kau akan ikut Chris ke Afrika Selatan. Dia akan memimpin perusahaan tambang emas ku di sana. Aku ingin kau mendampinginya, memastikan dia tetap pada jalurnya.”

Thomas menegang, matanya membulat kaget.

“Af… Afrika Selatan? Besok?” ia hampir tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Apakah tuan muda… sudah mengetahuinya?”

Daniel mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.

“Jangan tanyakan hal yang bukan urusanmu. Chris akan tetap berangkat… sekali pun dia menolaknya. Tugasmu hanya satu—patuh. Siap kapan pun aku perintah.”

Thomas menunduk, menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Dalam hatinya, ia merasa semakin terjebak dalam situasi terjepit ini—sementara Chris masih buta terhadap keberadaan Sarah dan Aiden.

***

Malam itu sunyi. Hanya suara tetesan air dari keran rusak yang menemani Sarah duduk membeku di toilet sempit itu. Matanya kosong, tubuhnya lunglai karena obat penenang yang terus dipaksakan padanya. Namun di balik kelelahan itu, tekadnya masih menyala—ia menolak menyerah pada perangkap kejam Daniel Jeffreyson.

Tuhan… jangan biarkan aku gila. Aku harus tetap sadar. Demi Chris… demi Aiden…

Air mata mengalir deras ketika ia berbisik pada dirinya sendiri,

“Tidak… tidak… aku tidak boleh menyerah. Aku harus kabur dari sini… aku harus bertemu Chris dan Aiden!”

Tangisnya pecah, kedua tangannya menutup wajah pucatnya. Tetapi di tengah keputusasaan itu, tiba-tiba matanya terpaku pada sebuah titik: jendela kecil tepat di atas dinding toilet. Cahaya lampu dari luar samar-samar menembus kaca jendela. Wajah Sarah seketika berubah. Ada sebuah harapan.

“Jendela itu…” bisiknya pelan.

Dengan sisa tenaga, ia berdiri. Tangan gemetar meraba tembok, kakinya menapak di dudukan toilet, mencoba menggapai jendela itu. Ujung jarinya berhasil menyentuh pinggirannya. Engsel besi jendela berkarat, dan kayu jendelanya keropos dimakan rayap. Sarah menarik napas panjang, lalu menempelkan wajahnya, mencoba mengintip. Dari luar hanya terlihat kegelapan malam dan samar bayangan tembok tinggi rumah sakit jiwa. Tapi bagi Sarah, celah sekecil itu adalah tanda menuju jalan kebebasan.

“Kau bisa, Sarah… kau pasti bisa keluar dari sini…” ucapnya pada diri sendiri, meski tubuhnya bergetar karena lemah.

Tangannya meraih pinggiran jendela yang keropos, mencoba menggoyangnya. Bunyi krek kecil terdengar, tanda karat dari engsel besi sudah mulai rapuh. Matanya melebar—ada kemungkinan jendela itu bisa dilepas. Namun tiba-tiba—

Tok… tok… tok…

Ketukan keras terdengar dari pintu toilet. Suara seorang perawat menggema.

“Nyonya Sarah, apa yang kau lakukan di dalam? Sudah hampir setengah jam! Cepat keluar!”

Sarah terperanjat, nyaris terjatuh dari dudukan toilet. Nafasnya memburu, panik. Tangannya segera meninggalkan jendela dan ia melompat turun, tubuhnya limbung menahan pusing. Dengan cepat ia membasuh wajahnya di wastafel, berusaha menutupi kegiatannya barusan. Ketukan kembali terdengar, kali ini lebih keras.

“Nyonya Sarah! Apa kau mendengar ku?”

Sarah menatap pantulan dirinya di cermin—wajah kusut, rambut acak-acakan, mata sembab. Namun di balik itu semua, tatapannya kini berbeda: ada kilatan tekad. Pelan, ia membuka pintu toilet.

“Aku… aku sakit... perutku sakit…” katanya lirih, berusaha terdengar normal.

Perawat mendengus curiga, tapi tidak berkata apa-apa lagi, lalu menggiring Sarah kembali ke kamarnya. Namun di dalam hati Sarah, tekadnya sudah bulat. Malam ini aku gagal… tapi suatu saat aku akan mencoba lagi.

***

Thomas duduk termenung di bangku kayu, cahaya remang lampu taman memantul di permukaan air danau yang tenang. Wajahnya penuh gelisah, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.

Haruskah aku memberitahu Chris? Jika aku diam, dia akan dibawa jauh ke Afrika Selatan tanpa tahu apa-apa… Tapi jika aku buka mulut, dia pasti akan memberontak, dan Tuan Daniel… dia bisa menghancurkan semuanya.

Thomas menunduk, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hatinya terbelah antara kesetiaan pada Daniel yang telah mengangkatnya sebagai anak dan kasih sayangnya kepada Chris yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

“Ya Tuhan… apa yang harus kulakukan?” gumamnya lirih, suaranya tenggelam dalam angin malam.

***

Di kamar paviliunnya, Chris berulang kali memutar tubuhnya di ranjang, selimut terlempar begitu saja ke lantai. Matanya bengkak, dadanya sesak. Suara tangisan Aiden yang selalu terngiang–ngiang, terdengar terasa nyata menggema di kepalanya.

“Aku… merindukan kalian…” gumamnya dengan suara bergetar.

Ia bangun, lalu meraih gelas kosong di meja samping ranjang. Air digelas itu habis. Dengan langkah malas, ia membuka pintu kamarnya. Namun sesuatu membuat alisnya mengernyit—tidak ada pengawalan di sekitar paviliun. Biasanya dua orang bodyguard berjaga di depan, tapi malam ini lengang. Chris berjalan pelan, menyusuri jalur taman yang sunyi menuju ruang makan. Angin malam sedikit memberi rasa lega, tapi hatinya tetap gelisah.

Di dapur

Lampu yang terang membuat dapur luas itu tampak hangat, namun pemandangan di dalamnya membuat Chris tertegun. Seorang wanita muda berseragam pink sedang sibuk membersihkan botol-botol susu bayi di mesin pemanas khusus. Tangannya cekatan, ekspresinya serius. Chris menahan napas.

Itu wanita yang kulihat bersama Peter tadi… siapa dia?

Matanya menatap botol susu bening dengan logo bayi yang tertempel di salah satu sisinya. Hatinya berdebar hebat.

Botol susu bayi…

Wanita itu selesai membereskan botol, lalu menaruhnya di sebuah tas bayi. Ia merapikan peralatan dengan hati-hati, seolah sedang menyiapkan untuk perjalanan panjang. Chris semakin penasaran. Tanpa pikir panjang, ia bersembunyi di balik dinding dan mulai mengikuti langkah wanita itu. Babysitter itu berjalan melewati lorong panjang menuju arah yang tak pernah Chris dekati sebelumnya. Chris menelan ludah, napasnya berat. Lorong itu terasa sunyi, hanya langkah kaki Chris yang berusaha ditekan sehalus mungkin. Detak jantungnya makin kencang seiring ia mendekati ruangan asing yang belum pernah ia masuki sebelumnya. Cahaya samar keluar dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Chris berhenti tepat di depan pintu. Tangannya gemetar, dadanya naik turun cepat. Ia menelan ludah, mencoba menguatkan diri. Saat ia ingin meraih celah pintu itu, suara lirih pecah dari dalam ruangan. Tangisan bayi. Tangisan yang begitu dikenalnya, suara yang selama ini ia rindukan di setiap mimpi buruknya.

“...Aaiden…” suara Chris patah, air matanya langsung mengalir deras.

Ia menutup mulut dengan telapak tangannya, menahan isak agar tidak terdengar. Bahunya bergetar, kepalanya menggeleng cepat, tidak percaya pada kenyataan yang ada di depan matanya. Lewat celah sempit pintu, matanya menangkap pemandangan samar: sebuah ranjang bayi kecil dengan selimut bergambar bintang-bintang, lampu gantung berbentuk bulan memantulkan cahaya lembut ke langit-langit. Dan di sana… seorang bayi mungil terbaring, menangis, meronta pelan mencari dekapan hangat. Tubuh Chris melemas, lututnya hampir goyah.

“Ya Tuhan… itu… itu benar-benar anakku... Aiden…” bisiknya lirih.

Rasa bahagia, hancur, marah, dan lega bercampur jadi satu dalam dirinya. Setelah sekian lama disiksa dengan ketidakpastian, kini bukti nyata ada di depan mata.

Download NovelToon APP on App Store and Google Play

novel PDF download
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play