Tangisan yang Dirindukan

Mobil berhenti tepat di depan pintu utama rumah besar keluarga Jeffreyson. Lampu-lampu gantung di sepanjang halaman hingga teras rumah berkilauan, para pelayan pun sudah berjajar siap menyambut. Chris menoleh ke samping, menatap kakaknya.

“Kau sudah siap bertemu Ayah?” tanyanya pelan, seolah ikut menanggung beban.

Stacy menarik napas panjang, lalu mengangguk dengan penuh keyakinan.

“Tentu…"

Chris menatapnya sesaat, lalu membuka pintu mobil.

Sementara itu, di sudut lain rumah—kamar bayi dengan desain interior bertema luar angkasa. Dindingnya penuh gambar planet, bintang, dan roket kecil. Lampu gantung berbentuk bulan berayun pelan, menebarkan cahaya lembut ke seluruh ruangan. Di sana, Daniel duduk di kursi goyang, memangku Aiden. Senyumnya mengembang setiap kali melihat cucunya menggerakkan bibir mungilnya atau menggenggam jarinya. Sesekali, Daniel bahkan tertawa kecil—suara yang jarang sekali terdengar darinya.

“Kau pintar sekali, Aiden…” bisiknya, mata Daniel melembut.

“Kau penerus keluarga Jeffreyson. Kakek akan pastikan kau mendapatkan segalanya.”

Tawa kecil bayi itu membuat Daniel terpesona. Namun kebahagiaan itu seketika terputus ketika pintu kamar bayi diketuk. Kepala pelayan masuk, membungkuk hormat.

“Tuan besar… Tuan Muda Chris sudah kembali dari kantor bersama seseorang.”

Daniel mengangkat wajahnya. Senyum di bibirnya hilang, berganti ekspresi serius. Ia menatap cucunya sekali lagi, lalu mengelus kepala mungil Aiden.

“Aiden… kakek harus pergi sebentar. Kita akan bertemu lagi,”

Ia bangkit dari kursi goyang, menyerahkan Aiden kepada babysitter. Tatapannya menusuk tajam.

“Pastikan Chris tidak mengetahui bayi ini ada di rumah. Kau mengerti?”

Babysitter menelan ludah, lalu mengangguk cepat.

“Ya, Tuan.”

Daniel melangkah keluar dengan langkah pasti, menyembunyikan lagi rahasia besar yang bisa mengguncang segalanya.

***

"Aku gugup sekali Chris..." Berulang kali stacy mengatakan hal yang sama.

"Tenanglah, aku bersama mu sekarang. Kita hadapi bersama." Chris mengelus punggung sang kakak.

Daniel melangkah dari balik pintu besar yang memisahkan ruang tamu yang besar dengan ruang keluarga yang lebih intim. Daniel melihat Stacy berdiri bersama Chris menatap ke arah dirinya. Tak ada ekspresi rindu layaknya seorang ayah kepada putrinya. Namun tidak untuk Stacy.

"Kau... masih punya malu datang ke rumah ini setelah bertahun-tahun pergi dan menentangku?" Tak ada basa-basi dari mulut Daniel.

“Hentikan ayah…! Stacy datang dengan niat baik ingin bertemu denganmu sebagai orang tua yang dia sayangi dan hormati!!! Sampai kapan ayah akan bersikap egois dan sewenang-wenang? Tidakkah ayah berkaca pada peristiwa yang menimpa Ben???” Chris berteriak dengan suara pecah, matanya merah berair.

Kata-kata itu menghantam ruangan bagaikan petir. Stacy terkejut, menutup mulutnya, tak pernah menyangka adiknya yang lembut dan pendiam bisa memberontak seperti itu. Daniel berdiri kaku. Wajahnya menegang, tapi ada kilatan lain di matanya—rasa bersalah yang terpendam dan amarah yang ditutupi. Ia mengepalkan tangannya di sisi tubuh, berusaha menahan gejolak batin yang tidak terlihat.

“Jangan bawa-bawa nama Ben dalam masalah ini!” suara Daniel menggelegar, meski ada getar halus yang tidak luput dari pendengaran Chris dan Stacy.

“Ben... dia... meninggal… karena dia menentangku!!! Karena dia berani melawan! Itu—” ia terhenti, napasnya berat, seakan menahan sesuatu yang tak sanggup ia ucapkan.

Stacy melangkah maju, menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

“Tidak, Ayah… Ben meninggal karena Ayah terlalu keras padanya. Karena Ayah tak pernah memberinya kebebasan. Bahkan setelah kehilangan Ben, Ayah tetap tidak pernah belajar!”

Chris menambahkan, suaranya lebih pelan namun penuh luka,

“Lihat dinding ini, Ayah. Hanya ada foto Ayah dan aku. Lalu bagaimana dengan Ibu? Bagaimana dengan Ben? Bagaimana dengan Stacy? Apakah mereka tak pantas untuk tetap hadir dirumah ini? Walau hanya sekedar foto?" Daniel terdiam.

Tubuhnya seakan membatu, matanya menatap ke arah potret foto yang masih tergantung di dinding. Sesaat, ada kilatan kesedihan melintas di wajahnya, tapi dengan cepat ia menegakkan tubuh dan mengeraskan hati kembali.

“Cukup. Aku tidak ingin membicarakan hal ini lagi.” katanya singkat, dingin, dan kemudian ia melangkah pergi meninggalkan mereka.

Suasana ruang tamu mendadak sunyi. Stacy menunduk, air matanya jatuh menetes di lantai marmer. Chris duduk lemas di sofa, kedua tangannya menutupi wajahnya.

“Dia… dia tidak akan pernah berubah,” suara Chris bergetar.

Stacy menoleh, menatap adiknya penuh iba. Ia mengulurkan tangan, menggenggam jemari Chris dengan erat.

“Tapi kita… kita tidak boleh berhenti berharap, Chris. Kalau tidak, kita semua akan hancur termasuk ayah, suatu hari nanti.” Jemari Stacy mengusap lembut pipi adiknya.

Chris menggeleng lemah.

“Aku sudah kehilangan Sarah, aku sudah kehilangan Aiden. Rasanya aku hanya… ingin menyerah.”

Stacy memeluk adiknya erat, menahan guncangan tubuh Chris. Air matanya jatuh begitu deras, bukan hanya karena kesedihan, tapi juga karena rasa bersalah—dulu meninggalkan adiknya, kini membuat Chris harus menanggung semua beban ini sendirian.

***

Sementara itu, di ruang kerjanya, Daniel menutup map dokumen dengan tegas. Kopi yang tadi masih hangat kini sudah dingin tak tersentuh. Ia berdiri, tangannya terkepal di belakang punggung, berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke halaman depan.

“Besok pagi, Chris harus segera berangkat,” suara Daniel terdengar rendah, namun sarat dengan tekanan.

Peter menunduk dalam-dalam.

“Saya akan atur penerbangan khusus, tuan. Tidak akan ada yang mengetahui.”

Daniel menghela napas panjang, matanya sedikit meredup.

“Anak itu… terlalu banyak menangis. Dia harus dijauhkan dari bayangan perempuan itu. Terlebih kini Stacy kembali dan itu akan membuat Chris semakin sulit dikendalikan!”

Peter mengangguk, tak berani menanggapi lebih jauh. Daniel memalingkan wajahnya ke arah meja, di sana ada sebuah foto kecil yang disembunyikan di balik laci: potret Ben semasa muda, tersenyum dengan seragam universitasnya. Daniel menatap foto itu beberapa detik, wajahnya keras, tapi rahangnya sedikit bergetar. Ia buru-buru menutup laci, menekan segala emosi yang berusaha muncul ke permukaan.

“Besok… semua akan berakhir. Chris, kau akan berterima kasih padaku suatu hari nanti.” Senyumnya tipis, tetapi dingin.

***

Mobil hitam yang membawa Stacy berbelok keluar dari gerbang besar rumah keluarga Jeffreyson. Sorot lampu merah dari belakang mobil semakin mengecil, hingga akhirnya lenyap di balik pepohonan. Chris berdiri kaku di halaman, tubuhnya terasa kosong. Air mata mengalir tanpa henti, jatuh di pipinya yang pucat. Bibirnya bergetar pelan, berucap lirih pada kepergian kakaknya,

“Jaga dirimu, kak…”

Ia terdiam lama, menatap hampa ke jalanan yang kini sunyi. Namun saat ia berbalik hendak kembali ke paviliun, matanya menangkap sesuatu yang ganjil. Dari arah gedung samping rumah, seorang wanita dengan seragam babysitter berwarna pink berjalan tergesa bersama Peter. Chris mengernyit. Sejak kapan ada pelayan dengan seragam berbeda? Semua pelayan di rumah ini selalu memakai hitam-putih… siapa dia?

Dari kejauhan, Peter juga menyadari tatapan curiga Chris. Wajahnya langsung berubah tegang. Dengan cepat, ia memberi isyarat agar babysitter itu berbalik arah dan segera pergi. Wanita itu menunduk, lalu buru-buru menghilang ke dalam bangunan lain, menyembunyikan barang kebutuhan Aiden yang dibawanya. Peter lalu melangkah mendekat kepada Chris, senyum tipis dipaksakan di wajahnya.

“Tuan muda, malam sudah larut. Anda sebaiknya beristirahat.”

Chris tak menjawab. Tatapannya dingin menusuk Peter sejenak, sebelum akhirnya ia memilih berbalik menuju paviliunnya. Dalam hatinya, rasa curiga semakin menebal.

***

Di ruang kerja Daniel, suasana hening menusuk. Thomas berdiri tegak di hadapan meja besar yang penuh berkas dan dokumen. Daniel masih sibuk menorehkan tanda tangan, seolah kehadiran anak angkatnya itu tak lebih dari angin lalu. Beberapa menit kemudian, barulah Daniel bersuara, tanpa sekalipun menatapnya.

“Thomas… bagaimana kabarmu?”

Thomas merasa janggal dengan pembukaan itu. Namun ia menjawab sopan, menahan nada curiga.

“Kabar saya baik, tuan.”

Daniel berhenti menulis, lalu mengangkat pandangannya perlahan.

“Sudah seminggu ini kau mendampingi Chris. Aku ingin tahu… bagaimana menurutmu? Aku tahu kalian sudah akrab sejak kecil.”

Thomas sempat terdiam, mencari kata yang aman.

“Terima kasih karena telah memberi kesempatan ini, tuan. Menjadi asisten pribadi tuan muda adalah kehormatan besar bagi saya. Bagi saya… Tuan Chris sudah seperti adik saya sendiri.”

Daniel menatapnya lama, seakan menimbang setiap kata. Lalu sudut bibirnya terangkat, senyum samar penuh misteri.

“Aku selalu menyukai kesetiaanmu, Thomas.”

Kemudian kalimat berikutnya meluncur, membuat dada Thomas seolah dihantam.

“Mulai besok, kau akan ikut Chris ke Afrika Selatan. Dia akan memimpin perusahaan tambang emas ku di sana. Aku ingin kau mendampinginya, memastikan dia tetap pada jalurnya.”

Thomas menegang, matanya membulat kaget.

“Af… Afrika Selatan? Besok?” ia hampir tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Apakah tuan muda… sudah mengetahuinya?”

Daniel mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.

“Jangan tanyakan hal yang bukan urusanmu. Chris akan tetap berangkat… sekali pun dia menolaknya. Tugasmu hanya satu—patuh. Siap kapan pun aku perintah.”

Thomas menunduk, menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Dalam hatinya, ia merasa semakin terjebak dalam situasi terjepit ini—sementara Chris masih buta terhadap keberadaan Sarah dan Aiden.

***

Malam itu sunyi. Hanya suara tetesan air dari keran rusak yang menemani Sarah duduk membeku di toilet sempit itu. Matanya kosong, tubuhnya lunglai karena obat penenang yang terus dipaksakan padanya. Namun di balik kelelahan itu, tekadnya masih menyala—ia menolak menyerah pada perangkap kejam Daniel Jeffreyson.

Tuhan… jangan biarkan aku gila. Aku harus tetap sadar. Demi Chris… demi Aiden…

Air mata mengalir deras ketika ia berbisik pada dirinya sendiri,

“Tidak… tidak… aku tidak boleh menyerah. Aku harus kabur dari sini… aku harus bertemu Chris dan Aiden!”

Tangisnya pecah, kedua tangannya menutup wajah pucatnya. Tetapi di tengah keputusasaan itu, tiba-tiba matanya terpaku pada sebuah titik: jendela kecil tepat di atas dinding toilet. Cahaya lampu dari luar samar-samar menembus kaca jendela. Wajah Sarah seketika berubah. Ada sebuah harapan.

“Jendela itu…” bisiknya pelan.

Dengan sisa tenaga, ia berdiri. Tangan gemetar meraba tembok, kakinya menapak di dudukan toilet, mencoba menggapai jendela itu. Ujung jarinya berhasil menyentuh pinggirannya. Engsel besi jendela berkarat, dan kayu jendelanya keropos dimakan rayap. Sarah menarik napas panjang, lalu menempelkan wajahnya, mencoba mengintip. Dari luar hanya terlihat kegelapan malam dan samar bayangan tembok tinggi rumah sakit jiwa. Tapi bagi Sarah, celah sekecil itu adalah tanda menuju jalan kebebasan.

“Kau bisa, Sarah… kau pasti bisa keluar dari sini…” ucapnya pada diri sendiri, meski tubuhnya bergetar karena lemah.

Tangannya meraih pinggiran jendela yang keropos, mencoba menggoyangnya. Bunyi krek kecil terdengar, tanda karat dari engsel besi sudah mulai rapuh. Matanya melebar—ada kemungkinan jendela itu bisa dilepas. Namun tiba-tiba—

Tok… tok… tok…

Ketukan keras terdengar dari pintu toilet. Suara seorang perawat menggema.

“Nyonya Sarah, apa yang kau lakukan di dalam? Sudah hampir setengah jam! Cepat keluar!”

Sarah terperanjat, nyaris terjatuh dari dudukan toilet. Nafasnya memburu, panik. Tangannya segera meninggalkan jendela dan ia melompat turun, tubuhnya limbung menahan pusing. Dengan cepat ia membasuh wajahnya di wastafel, berusaha menutupi kegiatannya barusan. Ketukan kembali terdengar, kali ini lebih keras.

“Nyonya Sarah! Apa kau mendengar ku?”

Sarah menatap pantulan dirinya di cermin—wajah kusut, rambut acak-acakan, mata sembab. Namun di balik itu semua, tatapannya kini berbeda: ada kilatan tekad. Pelan, ia membuka pintu toilet.

“Aku… aku sakit... perutku sakit…” katanya lirih, berusaha terdengar normal.

Perawat mendengus curiga, tapi tidak berkata apa-apa lagi, lalu menggiring Sarah kembali ke kamarnya. Namun di dalam hati Sarah, tekadnya sudah bulat. Malam ini aku gagal… tapi suatu saat aku akan mencoba lagi.

***

Thomas duduk termenung di bangku kayu, cahaya remang lampu taman memantul di permukaan air danau yang tenang. Wajahnya penuh gelisah, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.

Haruskah aku memberitahu Chris? Jika aku diam, dia akan dibawa jauh ke Afrika Selatan tanpa tahu apa-apa… Tapi jika aku buka mulut, dia pasti akan memberontak, dan Tuan Daniel… dia bisa menghancurkan semuanya.

Thomas menunduk, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hatinya terbelah antara kesetiaan pada Daniel yang telah mengangkatnya sebagai anak dan kasih sayangnya kepada Chris yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

“Ya Tuhan… apa yang harus kulakukan?” gumamnya lirih, suaranya tenggelam dalam angin malam.

***

Di kamar paviliunnya, Chris berulang kali memutar tubuhnya di ranjang, selimut terlempar begitu saja ke lantai. Matanya bengkak, dadanya sesak. Suara tangisan Aiden yang selalu terngiang–ngiang, terdengar terasa nyata menggema di kepalanya.

“Aku… merindukan kalian…” gumamnya dengan suara bergetar.

Ia bangun, lalu meraih gelas kosong di meja samping ranjang. Air digelas itu habis. Dengan langkah malas, ia membuka pintu kamarnya. Namun sesuatu membuat alisnya mengernyit—tidak ada pengawalan di sekitar paviliun. Biasanya dua orang bodyguard berjaga di depan, tapi malam ini lengang. Chris berjalan pelan, menyusuri jalur taman yang sunyi menuju ruang makan. Angin malam sedikit memberi rasa lega, tapi hatinya tetap gelisah.

Di dapur

Lampu yang terang membuat dapur luas itu tampak hangat, namun pemandangan di dalamnya membuat Chris tertegun. Seorang wanita muda berseragam pink sedang sibuk membersihkan botol-botol susu bayi di mesin pemanas khusus. Tangannya cekatan, ekspresinya serius. Chris menahan napas.

Itu wanita yang kulihat bersama Peter tadi… siapa dia?

Matanya menatap botol susu bening dengan logo bayi yang tertempel di salah satu sisinya. Hatinya berdebar hebat.

Botol susu bayi…

Wanita itu selesai membereskan botol, lalu menaruhnya di sebuah tas bayi. Ia merapikan peralatan dengan hati-hati, seolah sedang menyiapkan untuk perjalanan panjang. Chris semakin penasaran. Tanpa pikir panjang, ia bersembunyi di balik dinding dan mulai mengikuti langkah wanita itu. Babysitter itu berjalan melewati lorong panjang menuju arah yang tak pernah Chris dekati sebelumnya. Chris menelan ludah, napasnya berat. Lorong itu terasa sunyi, hanya langkah kaki Chris yang berusaha ditekan sehalus mungkin. Detak jantungnya makin kencang seiring ia mendekati ruangan asing yang belum pernah ia masuki sebelumnya. Cahaya samar keluar dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Chris berhenti tepat di depan pintu. Tangannya gemetar, dadanya naik turun cepat. Ia menelan ludah, mencoba menguatkan diri. Saat ia ingin meraih celah pintu itu, suara lirih pecah dari dalam ruangan. Tangisan bayi. Tangisan yang begitu dikenalnya, suara yang selama ini ia rindukan di setiap mimpi buruknya.

“...Aaiden…” suara Chris patah, air matanya langsung mengalir deras.

Ia menutup mulut dengan telapak tangannya, menahan isak agar tidak terdengar. Bahunya bergetar, kepalanya menggeleng cepat, tidak percaya pada kenyataan yang ada di depan matanya. Lewat celah sempit pintu, matanya menangkap pemandangan samar: sebuah ranjang bayi kecil dengan selimut bergambar bintang-bintang, lampu gantung berbentuk bulan memantulkan cahaya lembut ke langit-langit. Dan di sana… seorang bayi mungil terbaring, menangis, meronta pelan mencari dekapan hangat. Tubuh Chris melemas, lututnya hampir goyah.

“Ya Tuhan… itu… itu benar-benar anakku... Aiden…” bisiknya lirih.

Rasa bahagia, hancur, marah, dan lega bercampur jadi satu dalam dirinya. Setelah sekian lama disiksa dengan ketidakpastian, kini bukti nyata ada di depan mata.

Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play