Mari Kita Bully Demi Kebaikan
Bab 1 Joko Wiryawan, Guru SD yang Suka Nyentil
Joko Wiryawan, 42 tahun, adalah guru SD negeri di pinggiran Jakarta. Murid-muridnya lebih hafal nama YouTuber prank daripada nama Menteri Pendidikan. Ia dikenal sebagai guru idealis, galak, tapi diam-diam banyak yang kagum. Setiap kali Joko nyeletuk di depan kelas, reaksinya beragam: ada yang takut, ada yang ketawa, ada juga yang pernah nangis rame-rame.
Pagi itu, Joko duduk santai di warung kopi Bu Tikah—warung kecil berdinding triplek, tapi bersih dan tertata rapi. Di rak dinding, berjejer toples kaca berisi kerupuk, kue sagu, dan rengginang. Meja-mejanya sederhana, tapi selalu kinclong. Di pojok, tikar plastik digelar buat yang suka lesehan. Wangi gorengan dan kopi hitam berpadu dengan kicau burung dari pohon mangga di halaman.
Joko nyruput Top Coffee Gula Aren, lalu ngetik status Facebook pakai HP yang lcd nya dilakban karena lcd sudah menganga, lemnya sudah enggak erat merekat. Di seberangnya, duduk Edi Saputra, sahabat lamanya yang sekarang jadi tukang servis elektronik merangkap ojol.
> “Orang tua murid zaman sekarang banyak yang nyebelin,” kata Joko, masih ngetik sambil matanya enggak lepas dari layar.
“Baru dikasih PR dua halaman, langsung WA: ‘Pak, anak saya stres belajar.’ Lah, elu pikir anak gue enggak?”
Edi ketawa kecil sambil ngaduk teh manis.
> “Lu emang guru SD paling galak sedunia,” godanya.
“Bukan galak, Ed. Disiplin. Kalau dari SD aja enggak belajar disiplin, nanti pas gede bisa jadi preman pasar... atau koruptor!”
“Halah, lu mah dari dulu emang suka nyolot.”
“Bukan nyolot. Sadar! Nih ya... orang sekarang beli motor bisa nyicil sampai delapan tahun. Gue kadang mikir, ‘Ini motor sebegitu mahalnya, apa jangan-jangan... motornya yang naikin dia?’”
Edi ngakak.
> “Wkwkwk... iya juga sih! Ada yang beli motor cuma buat pamer ke mantan. Padahal helmnya aja masih nyewa!”
Edi lalu nanya, sambil nyengir:
> “Tapi, hubungannya apa ya antara disiplin murid sama elu julid soal cicilan motor?”
Joko nyeletuk pelan:
> “Akhirnya, hidupnya stres sendiri. Lupa satu hal penting, Ed...
Semakin sedikit yang kita mau, semakin bahagia.”
---
Joko buka Facebook, lalu scroll status yang dia post kemarin sore. Isinya cuma satu kalimat:
> "Naik motor enggak pakai helm itu goblok, walaupun yang naik Pak Haji."
Kolom komentar sudah rame. Ada yang setuju, ada yang bilang dia enggak sopan, bahkan ada yang ngajak debat soal adab dan akhlak. Tapi yang paling bikin Edi ketawa adalah caption kecil yang ditulis Joko di bawahnya:
> (FYI: Pak Haji itu bapak gue sendiri.)
---
Joko memang bukan cuma suka nyentil. Dia percaya, dunia pendidikan bisa berubah—asal bukan cuma kurikulum doang yang diganti, tapi juga karakter manusianya dibangun. Dan kalau enggak bisa mulai dari menteri, ya mulai aja dari bangku plastik kelas SD yang salah satu kakinya udah miring. Dari papan tulis yang catnya ngelupas. Dari anak-anak yang lebih hafal lagu Kepiting Rebus daripada lagu wajib nasional.
Dan dari situ, Joko sudah bersiap. Jadi guru yang bukan cuma ngajar... tapi juga ngasih “tamparan kecil” biar mikir.
Tamparan secara harfiah? Nggak. Joko bahkan enggak pernah membentak muridnya, apalagi main fisik.
Suatu hari, ada satu murid: Muhammad Matthew, atau Mamat, panggilannya. Anak ini cerdas, jago matematika. Tapi karena dari keluarga broken home, Mamat sering cari perhatian. Pas Joko lagi nerangin pelajaran, Mamat keliling kelas, gangguin temen, ajak ngobrol, lempar kertas, dan sebagainya.
Joko sudah coba berbagai cara:
— Mamat duduk di luar kelas.
— Belajar sendiri di ruang guru.
— Disarankan ke guru BK.
— Dipanggil wali kelas berkali-kali.
Tapi tetap aja, Mamat mengulang lagi. Sampai suatu saat, ketika Joko lagi serius ngajar, Mamat jalan-jalan lagi keliling kelas sambil gangguin temen-temennya. Joko yang biasanya sabar, langsung kehilangan kendali. Dia banting spidol ke lantai.
Bukan untuk menakuti. Tapi lebih karena frustrasi.
Setelah itu, Joko langsung panik sendiri. Ia minta salah satu murid memanggil wali kelas 3A, Pak Ibnu.
Pak Ibnu datang cepat. Dengan suara tenang dan nada penuh empati, dia tanya ke Mamat:
> “Ada apa sih, Mat?”
Mamat langsung jawab:
> “Pak Joko banting spidol!”
Tapi beberapa murid menyanggah:
> “Enggak, Pak. Pak Joko enggak banting spidol!”
Sementara itu, Joko cuma bisa duduk diam, campur aduk antara rasa marah, kecewa, dan takut—takut salah langkah, takut kehilangan kendali, tapi juga takut gagal jadi guru yang seharusnya bukan cuma ngajar... tapi juga ngasuh.
---
Kalau kamu pernah jadi guru, kamu pasti ngerti.
Kalau kamu pernah jadi murid, kamu harusnya paham.
Dan kalau kamu orang tua murid zaman sekarang...
...mungkin udah waktunya denger dulu sebelum nge-judge.
Di luar jam sekolah, Joko sering diajak ngopi bareng guru-guru lain. Tapi makin ke sini, ia makin pilih-pilih. Banyak obrolan yang menurutnya enggak produktif: gosip soal atasan, sindiran soal murid, atau bahasan receh kayak siapa yang belanja di Alfamart pakai potongan guru.
Menurut Joko, keterampilan sosial di tempat kerja itu sederhana: jangan ikut politik kantor. Jangan ngomongin jelek rekan kerja—karena cepat atau lambat, pasti sampai ke telinga yang diomongin. Dan jangan berharap disukai semua orang. Kita bukan anjing yang selalu mengibas ekor. Atau pizza yang semua orang suka.
Rekan kerja itu ya kolega. Bukan sahabat. Pulang kerja, urus hidup masing-masing.
Joko lebih suka ngobrol dengan orang-orang seperti Bu Rika, guru Bahasa Indonesia yang hobi nulis puisi. Atau Pak Damar, guru IPS yang suka diskusi soal filosofi pendidikan Finlandia—meski sambil ngisep rokok kretek.
Ruang guru SDN 04 itu bukan sekadar tempat istirahat. Di sanalah ide-ide liar, kejengkelan, tawa, dan kadang air mata tumpah. Meja-meja kayu kusam berdempetan, kipas angin tua menggantung dari langit-langit dengan suara menderit yang seperti mengeluh, dan toples-toples plastik penuh kerupuk keras atau biskuit sisa dikocok angin sejak zaman Orde Baru.
Hari itu, seperti biasa, Joko Wiryawan duduk menyendiri di pojok ruangan, di meja yang sudah jadi semacam wilayah kekuasaan pribadinya. Di atasnya ada gelas plastik isi kopi tubruk sachet, buku catatan bergaris yang sudah menguning, dan ballpoint yang tinggal separuh isi. Latar suara guru-guru lain bergosip menjadi semacam musik latar—semrawut tapi akrab.
“Eh, kalian tau nggak, si Ibu Rika katanya deket lagi sama Pak Damar,” bisik Bu Tati, guru kelas 3, sambil mencomot kerupuk garing dari toples.
“Ah masa sih? Kan dulu udah sempet ribut gegara Pak Damar nggak ngasih iPhone pas ulang tahun,” timpal Bu Ina sambil menyeruput teh manis dari gelas kaca yang ada noda bekas lipstik.
Suasana sore itu agak redup. Langit menggantung mendung tipis. Dari luar jendela, suara anak-anak main bola masih terdengar samar, dibalut sesekali teriakan tukang sayur keliling.
Joko hanya melirik sekilas. Tak tertarik. Tapi di balik wajah datarnya, ia mengamati. Ada sesuatu dalam cara orang-orang membicarakan orang lain yang seperti cermin kecil—tentang hidup yang terus berjalan tapi selalu butuh bahan gosip agar terasa hangat.
Ia membuka ponselnya sebentar, mengecek WhatsApp grup guru yang isinya hampir selalu dua hal: undangan rapat dan broadcast jualan skincare. Tidak ada yang penting. Ia meletakkan lagi ponselnya dan memandang keluar jendela.
Di luar, pohon mangga di halaman sekolah diam saja. Seperti ikut mendengarkan.
“Pak Joko!”
Sebuah suara nyaring mengagetkannya. Bu Rika tiba-tiba sudah berdiri di samping mejanya. Wajahnya selalu terlihat terlalu semangat, seperti orang yang terlalu banyak konsumsi kopi susu dan sinetron prime time.
“Eh, Bu Rika. Ada apa?” Joko setengah berdiri, menghormati meski enggan.
“Pak, saya denger dari Bu Ina, katanya Bapak nyuruh murid-murid nulis esai soal arti sukses? Seriusan?”
“Iya. Emang kenapa?”
“Ya... anak kelas 5, Pak. Mereka aja nulis nama sendiri masih salah, masa disuruh mikir soal sukses?”
Joko tersenyum kecil. “Justru karena itu. Biar mereka belajar mikir. Meski nggak semua ngerti, pasti ada satu-dua yang merenung.”
Bu Rika menghela napas, lalu duduk di kursi sebelah. “Pak, jujur aja ya. Saya kadang nggak ngerti kenapa Bapak repot-repot. Toh nanti juga nilai UN yang diliat. Ranking. Nilai Matematika. Bukan soal ‘makna sukses’.”
“Ya... saya ngerti. Tapi hidup bukan cuma soal ranking, Bu.”
“Lha iya, tapi orang tua murid itu taunya nilai. Kalau anaknya dapet nilai jelek, yang disalahin siapa? Kita. Bukan sistem.”
Joko tak menjawab. Di meja seberang, suara Bu Tati masih terdengar menggoda Bu Ina dengan info diskon bulanan di e-commerce. Seorang guru laki-laki baru, Pak Damar, melintas membawa dus berisi buku paket. Joko mengangguk kecil padanya.
Dalam hati, Joko sadar, idealisme itu mahal. Tapi baginya, itu satu-satunya alasan ia masih bertahan di dunia pendidikan. Tiap pagi melihat murid-muridnya—ada yang datang pakai sandal jepit bolong, ada yang ngantuk karena bantu orang tua jualan sampai malam—membuatnya yakin bahwa sekolah harus lebih dari sekadar tempat mengejar nilai.
Kadang, ia membayangkan jadi seperti Robin Williams di film “Dead Poets Society”. Tapi ini Jakarta, bukan New England. Dan murid-muridnya lebih hafal TikTok dance ketimbang puisi Chairil Anwar.
“Pak Joko, saya pamit duluan ya. Mau nyuapin anak di rumah,” kata Bu Rika seraya berdiri.
“Silakan, Bu.”
Tapi sebelum benar-benar melangkah, Bu Rika menjatuhkan pulpen miliknya ke lantai, tepat di dekat kaki Joko.
Refleks, mereka berdua jongkok bersamaan untuk memungutnya. Tangan Joko enggak sengaja menyentuh tangan Bu Rika. Joko lekas menghindar, menarik tangannya cepat-cepat seolah tersengat listrik.
Tapi Bu Rika malah menahan, menarik lembut jari-jarinya, seakan ingin memperlambat perpisahan.
Joko kembali menjauhkan tangannya. Tanpa kata, tanpa tatapan, hanya dengan gerakan pelan tapi tegas.
Ia tidak marah, tidak juga risih. Hanya... ia tahu batasnya. Bu Rika perempuan baik, cerdas, dan menyenangkan. Tapi Joko bukan lelaki yang mencari alasan untuk bermain hati. Ia tidak sedang lapar perhatian. Dan ia percaya: godaan itu bukan datang karena kesempatan, tapi karena kita membiarkannya tumbuh.
Ia berdiri, lalu menyodorkan pulpennya sambil berkata pendek, “Ini, Bu.”
Mata Bu Rika mencari sesuatu di wajah Joko, mungkin harapan kecil. Tapi yang ia temukan hanya senyum tipis dan kepala yang sedikit menunduk, seperti ucapan “maaf” yang tak diucap.
Bu Rika pun mengambil pulpennya dengan tangan gemetar halus. “Makasih, Pak,” ucapnya pelan, lalu melangkah pergi.
Setelah semua guru lain berangsur pergi, ruang guru perlahan lengang. Hanya tinggal Joko, kopi yang sudah dingin, dan suara kipas angin yang masih
setia berdecit.
Ia membuka laci mejanya, mengeluarkan beberapa lembar esai yang ditulis murid-muridnya.
“Sukses itu kalau bisa beliin ibu motor.”
“Sukses itu bisa punya rumah dua lantai.”
“Sukses itu kalau Bapak bangga.”
Matanya berhenti pada satu tulisan:
“Sukses itu kalau aku nggak takut jawab soal, dan guru nggak marah kalau aku salah.”
Joko terdiam.
Lama.
Angin sore masuk dari jendela, membawa bau tanah dan sedikit aroma gorengan dari warung depan.
Ia tersenyum tipis.
Kadang, satu kalimat jujur dari seorang anak kecil cukup untuk mengisi ulang hati yang lelah.
---
"Jok, lu tuh kayak api unggun," kata Bu Rika suatu sore. "Terang, hangat, tapi bisa bikin gosong kalau kelamaan dideketin."
Joko cuma nyengir. "Ya, semoga enggak kebakaran aja."
Yang Joko enggak bilang adalah: kadang dia juga capek. Capek jadi guru yang "berbeda". Capek harus selalu kuat di depan murid, tegas di depan orang tua, dan idealis di tengah sistem yang absurd.
Tapi setiap kali melihat satu dua muridnya berubah—jadi lebih peka, lebih sopan, atau tiba-tiba bantu bersihin kelas tanpa disuruh—itu sudah cukup. Itu jadi semacam bahan bakar.
Karena integritas itu adalah tetap berbuat baik, meski enggak ada yang melihat.
Joko bukan Superman. Tapi dia percaya satu hal:
Kadang, perubahan besar dimulai dari obrolan kecil. Dari warung kopi. Dari status Facebook. Dari sepotong kalimat nyentil di papan tulis.
Dan dari seorang guru yang, walaupun capek, tetap nyruput kopi sambil mikir:
“Besok gue mau nyeletuk apa, ya, biar mereka mikir?”
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 49 Episodes
Comments