Bab 5 Tatapan Terakhir, Sebelum Pulang

Bab 5

Tatapan Terakhir, Sebelum Pulang

Raka Maulana  kini sudah kelas dua SMP. Badannya makin jangkung, rambutnya disisir ke samping, tapi mata tajamnya tetap sama: warisan dari Pak Joko Wiryawan, guru SD yang pernah bilang, "Kalau mulutmu enggak didengar orang, coba pakai matamu."

Pagi itu, Raka membantu seorang kakek tua mendorong becak yang bannya bocor. Dia tidak banyak bicara, cuma senyum, lalu pergi.

Di sisi lain kota, Joko Wiryawan duduk di bangku taman dekat SDN 07 Republik Gulali. Dia sudah pensiun dini. Masih pakai sepatu bekas, masih nyeruput kopi Tapi Coffee Gula Aren, tapi wajahnya lebih tenang dari sebelumnya.

"Pak Joko," sapa Raka, muncul dari balik pohon kamboja. "Saya ada pertanyaan terakhir."

""Kamu nanya mulu, kayak soal ujian," kata Joko sambil terkekeh. "Apa pertanyaannya?"

"Zodiak apa yang paling banyak masuk surga?"

Joko menatap langit, lalu menjawab:

Pak Joko nyengir, "Yang paling banyak masuk surga itu... bukan yang lahir bulan apa. Tapi yang sibuk memperbaiki diri, bukan sibuk update story."

Raka senyum. “Dalem, Pak.”

Joko diam sebentar, lalu berkata pelan:

> “Hidup itu yang lurus-lurus aja… sampai Tuhan bilang: ‘Waktunya pulang.’”

---

Kisah Air, Negara, dan Sakaratul Maut

Beberapa bulan setelah Joko pensiun, viral sebuah kisah lama: tentang seorang guru honorer sukarela di pelosok, yang membuka saluran air dari bukit demi mengairi desa tandus. Bertahun-tahun ia gali parit dengan tangan sendiri, tanpa upah, tanpa liputan TV. Ia bukan aktivis. Bukan pejabat. Bukan pahlawan nasional.

Dia cuma seseorang yang ingin menyambung hidup… dan menyambung harapan orang lain.

Ketika dia terbaring sakaratul maut, anaknya bertanya, “Pak, dulu cita-cita Bapak mau menyelamatkan dunia ya?”

Sang guru menjawab dengan senyum:

> “Ternyata salah…

Yang benar itu: selamatkan diri sendiri dulu.

Kalau kita selamat, istri dan anak kita ikut selamat.

Kalau keluarga kita selamat, tetangga ikut selamat.

Kalau lingkungan kita selamat… baru negara bisa ikut selamat.”

---

Sementara itu, Bagas Prawira  masih jadi Presiden.

Korup dan manipulatif.

Iklan wajahnya ada di bungkus mi instan subsidi.

Tapi Joko Wiryawan tak peduli lagi.

Dia menutup laptopnya.

Menulis status terakhir:

> “Kita enggak bisa nyelamatin semua orang.

Tapi kita bisa nolong satu… dua…

Dan itu udah cukup.”

---

Tatapan itu masih ada.

Bukan di wajah Joko. Tapi di wajah murid-muridnya.

Dan selama masih ada orang-orang yang diam-diam berbuat baik…

Dunia ini belum tamat.

TikTok, Hoaks, dan Sebuah Senyuman

Tiga tahun kemudian, Gerakan Bully Demi Kebaikan berubah wujud. Dari status Facebook, jadi konten TikTok viral. Sayangnya, yang viral bukan esensinya. Yang viral cuma dramanya.

Anak-anak bikin video tatap-tatapan di kelas. Ada backsound seram. Ada tulisan: "Kalau kamu nyontek, aku tatap. Kalau kamu gak sholat, aku tindas."

Raka ngelus dada. Joko Wiryawan yang kini tinggal di desa juga lihat dari layar kecil HP-nya. Ia cuma tertawa kecil sambil berkata:

> "Anak muda emang suka lebay. Tapi setidaknya... mereka masih inget tatapan."

---

Pembunuh yang Gagal Tobat

Namanya Fajar Arwana, 27 tahun. Dulu tukang sayur keliling di kampung Cilambik, naik motor bebek jadul sambil live TikTok. Slogan khasnya:

> “Kol segar, sayur sehat, jangan lupa senyum sebelum kiamat.”

Tapi hidupnya berubah drastis setelah dia jadi buzzer politik. Gara-gara sering nyinyir di kolom komentar dan gampang dikasih pulsa, dia direkrut jadi bagian dari tim bawah tanah pendukung Presiden Bagas Prawira. Tugasnya makin ekstrem:

> "Kau cuma butuh satu tusukan, Fajar. Tuhan pasti ngerti perjuanganmu."

Awalnya Fajar menolak. Tapi setelah dikasih DP motor Beat merah marun, hatinya goyah.

Lalu... malam itu terjadi. Di musholla kecil, saat Pak Arif Setiawan sujud terakhir. Dua tikaman, 11 detik, dan semuanya berakhir.

---

Setelah kejadian itu, Fajar berubah. Awalnya merasa gagah. Tapi malam-malam mulai dihantui. Mual tiap dengar adzan. Lemes tiap lihat peci putih. Pernah coba tobat. Datang ke pesantren kilat. Duduk paling depan di majelis taklim. Tapi saat disuruh baca Surah Al-Baqarah, lidahnya kaku kayak sendok bengkok.

> "Pak Ustaz… saya ngerasa Allah nggak nerima saya. Saya takut… saya takut saya bukan manusia lagi."

Ustaz cuma geleng kepala. Dikasih air zam-zam. Didoain. Tapi trauma Fajar nggak hilang. Tiap malam dia merasa ada yang natap dari bayangan kaca. Tatapan Pak Arif.

---

Suatu sore, Fajar pulang kerja dari kantor buzzer. Motornya ngebut karena ngejar waktu magrib. Hatinya was-was. Pikirannya bercabang. Di ujung tanjakan, seorang ibu tua menyebrang sambil bawa ember air.

Fajar kaget. Rem mendadak. Motornya oleng. Dari arah berlawanan, sebuah truk pasir meluncur kencang—klakson keras tapi tak terelakkan.

> Brakk!

Orang-orang berlarian. Tubuh Fajar terpental, jatuh di bawah baliho besar bergambar Presiden Bagas Prawira.

Di baliho itu tertulis:

> “Tatapan Sosial: Menyelamatkan Bangsa.”

Tapi mata Fajar sudah kosong. Tak ada senyum. Tak ada TikTok. Di kantong jaketnya, polisi menemukan secarik kertas lusuh. Tulisan tangan:

> “Saya pengen bener. Tapi saya udah ngebunuh orang paling bener. Maafkan saya, Pak Arif...”

---

Kalimat itu viral. Tapi bukan karena dramanya. Viral karena orang mulai sadar:

> Kalau salah dibayar uang, benar takkan pernah punya harga.

Presiden Gila dan Anaknya Hijrah

Presiden Bagas Prawira masih menjabat. Tapi kini wajahnya terpampang di setiap mi instan subsidi, baliho kampanye, bahkan sabun cuci piring.

Tapi rakyat udah muak.

Demo terjadi di mana-mana. Di medsos muncul tagar:

> #MatikanTatapan #TurunkanBagas #CCTVNeraka

Pada siaran langsung Hari Nasional yang disiarkan serentak di 43 saluran TV dan 12 platform streaming, Presiden Bagas Prawira berdiri di atas podium. Wajahnya putih pucat. Keringat di pelipis tak bisa ditutupi bedak tebal.

Ia mulai baca teks pidato.

Lalu... diam.

Selama 46 detik, ia menatap lurus ke kamera. Matanya goyah, bibirnya gemetar. Seisi negeri membeku.

Lalu tiba-tiba ia mengacak-acak rambut sendiri, melempar teks pidato, dan teriak:

> “KENAPA SEMUA ORANG NATAP GUE?! KENAPA SEMUA MATA KAYAK CCTV TUHAN?! SIAPA YANG NGINTIP GUE DI TOILET?!”

Mic copot. Kamera digoyang. Tayangan diputus. Tapi netizen udah sempat rekam, edit, dan upload. Video viral dengan backsound slow piano versi remix horor.

Dua hari kemudian, Bagas dirawat di rumah sakit jiwa elit. Tapi tiap malam dia teriak dari balik sel isolasi ber-AC:

> “Ampuni saya... saya cuma pengen kelihatan suci. Saya nggak pengen bener-bener baik. Saya cuma pengen kelihatan baik!”

---

Sementara itu, anaknya, Riko Prawira, menghilang diam-diam dari istana. Ternyata dia hijrah. Masuk pesantren di Garut. Ganti nama jadi Ustaz Rico.

> “Saya pernah hidup dari kebohongan. Sekarang saya nyari kebenaran… meski harus lewat jalan becek.”

Anak Presiden kini pakai sarung. Jaket lusuh. Motor Supra X-nya sering mogok. Tapi ia bahagia.

Namanya bukan Riko Prawira lagi.

Orang-orang desa memanggilnya:

"Ustaz Rico, yang dulu anak Presiden… sekarang sopir ambulans jenazah keliling."

Setiap malam, ia ngaji bareng anak-anak kecil di musholla. Di sela-sela ngaji, ia cerita:

> “Dulu saya hidup dari kebohongan. Feed Instagram saya rapi, tapi hati saya berantakan. Sekarang... saya kepleset tiap lewat jalan becek. Tapi hati saya bersih.”

Edi Saputra dan Harga Sebuah Klik

Edi Saputra, sahabat Pak Joko sejak SD, dulunya pemilik toko fotokopi dan tukang servis printer keliling. Orangnya lucu, ramah, dan selalu siap traktir teh botol di warung Bu Tikah.

Tapi saat anaknya masuk kuliah swasta dan biaya SPP bikin dompet kebas, Edi terpaksa cari jalan cepat. Akhirnya ia jadi buzzer pemerintah.

> “Satu cuitan Rp150 ribu. Kalo tiga kali sehari, udah bisa bayar cicilan laptop anak.”

Awalnya cuma repost. Lalu mulai ngetik sendiri:

> “Presiden Bagas itu visioner!” “Hoaks itu bahaya, jangan percaya yang viral!” “Tatapan sosial menyelamatkan bangsa!”

Hatinya perih tiap ngetik. Tapi tagihan terus datang. Edi pernah nangis di kamar mandi setelah disuruh nulis bahwa Arif Setiawan "pantas mati karena fitnah moral."

Suatu malam, dia buka chat lama dengan Joko. Terakhir kali mereka ngobrol:

> "Gue tetep percaya kebaikan, Ed. Walau dunia bilang gue salah."

Edi tutup laptop. Lalu update status:

> "Gue jual suara, karena gue nggak sanggup jual anak gue. Tapi gue rindu jadi orang biasa yang bisa tidur nyenyak."

Komentar langsung rame:

> “Tobat, Bang.” “Lu juga korban.” “Bismillah, semoga masih ada jalan pulang.”

Dosa Bapak, Tebusan Anak

Riko Prawira, mantan anak Presiden Bagas Prawira, berdiri sendirian di depan makam Arif Setiawan. Jas hitamnya kebesaran, rambutnya gondrong separuh telinga, dan wajahnya jauh lebih tenang dari masa-masa ia jadi influencer politik di masa pemerintahan bapaknya.

Tangannya gemetar memegang seikat bunga melati. Mata Riko berkaca-kaca.

> "Pak Arif... saya tahu, Bapak dibunuh karena difitnah. Dan saya tahu... itu semua gara-gara Bapak saya."

Ia meletakkan bunga di atas tanah merah yang mulai ditumbuhi rumput liar. Di belakangnya berdiri ajudan pribadi, tapi Riko angkat tangan, memberi isyarat untuk mundur. Hari itu, ia ingin sendiri.

> "Saya ingin menebus dosa ayah saya. Saya tahu itu nggak cukup. Tapi... ini niat saya."

Hari berikutnya, anak Arif Setiawan yang kini remaja, tiba-tiba dipanggil ke kantor pengacara ternama di Jakarta.

"Mas, kami mewakili Riko Prawira. Beliau ingin menghadiahkan satu blok rumah cluster premium—total 12 unit rumah—untuk Mas dan keluarga. Kepemilikan penuh. Pajak ditanggung. Semua legal dan bersertifikat."

Anak Arif kaget. Duduknya bergeser. Wajahnya tegang.

"Maaf... saya nggak bisa terima."

"Kenapa?"

Anak Arif menghela napas, lalu menjawab pelan:

> "Saya nggak butuh rumah. Saya butuh ilmu. Tolong sampaikan ke Pak Riko... kalau beliau mau tebus dosa bapaknya, kirim saya ke Yale Law School. Biayain saya kuliah hukum sampai S3."

Pengacara itu terdiam. Takjub. Lalu mengangguk pelan.

Beberapa bulan kemudian, publik geger. Riko Prawira—yang dulu anak Presiden, kini resmi jadi donatur tetap untuk program beasiswa luar negeri. Ia tak lagi tampil di TV, tak lagi bicara soal politik. Ia memilih diam, dan berbuat.

Sementara itu, anak Arif Setiawan kini belajar keras di New Haven, Amerika Serikat. Setiap malam ia menulis jurnal. Judulnya:

> "Hukum Tak Akan Suci, Kalau Ditegakkan Oleh Orang yang Salah."

Di kamar kecilnya, ada foto ayahnya—Arif Setiawan—yang sedang tersenyum, berdiri di depan papan tulis. Di bawah foto itu, tertulis:

> "Keadilan sejati dimulai dari hati."

---

Tatapan itu... tetap menyala. Bukan lagi di ruang kelas. Tapi di ruang sidang masa depan.

Dan dunia ini, masih belum tamat.

Episodes
1 Bab 1 Joko Wiryawan, Guru SD yang Suka Nyentil
2 Bab 2 Nostalgia, Surga, dan Neraka
3 Bab 3 Tatapan yang Menular
4 Bab 4 Bambang Maulana , Tatapan Terakhir yang Salah Sasaran
5 Bab 5 Tatapan Terakhir, Sebelum Pulang
6 Bab 6 Kail, Bukan Ikan
7 Bab 7 Sastra Inggris dan Negara Republik Gulali
8 Bab 8 Guru TK yang Multitalenta Tapi Dibully
9 Bab 9 Cita-Cita Setinggi Ruko
10 Bab 10 Antara Columbia dan Kopi Joss MLM
11 Bab 11 Yang menyayangi di bumi, akan disayang di langit
12 Bab 12 Amerika atau Rendang Ibu?
13 Bab 13 Mekanik Masjid dan Malaikat Neraka
14 Bab 14 Kopi Pahit dan Luka yang Masih Hangat
15 Bab 15 Republik Gulali dan Rolling Thunder
16 Bab 16 DeShawn Belajar Sholat
17 Bab 17 Tiket Pulang Tanpa Pamitan
18 Bab 18 Kota Baru Tanpa Kenangan
19 Bab 19 Rujuk Tanpa Kata "Kembali"
20 Bab 20 Dari Seragam ke Seragam Lucu
21 Bab 21 Masa Lalu di Seragam Baru
22 Bab 22 Chuckie Ray dan Korek Api Digital
23 Bab 23 Montir, Polisi, dan Kehilangan
24 Bab 24 Luka Lama di Dalam Gudang Musik
25 Bab 25 Surat dari Masa Lalu
26 Bab 26 Potongan Puzzle Terakhir
27 Bab 27 Angin Dingin Wichita
28 Bab 28 Raka Maulana dan Bisnis Kopi Jalanan
29 Bab 29 Antara Bubuk Putih dan Bubuk Kopi
30 Bab 30 Si Raka dan Laci Rahasia
31 Bab 31 Penawaran yang Menggoda
32 Bab 32 Ayam, Celana Dalam, dan Sidang Pertama
33 Bab 33 Jalan Baru untuk Dua Orang Laki-laki yang Lelah
34 Bab 34 Big Mac dan Rolex di Tengah Krisis
35 Bab 35 Mahasiswi, Mimpi Buruk, dan Media
36 Bab 36 FBI, Fotokopi, dan Firasat Buruk
37 Bab 37 Putusan dan Popularitas
38 Bab 38 Yang Disembunyikan oleh Rak Nomor 27
39 Bab 39 Jejak yang Dihapus
40 Bab 40 Bayangan di Tengah Padang Rumput
41 Bab 41 Guru Baru Bernama Ahmad
42 Bab 42 Satu Ayat, Satu Air Mata
43 Bab 43 Surat dari Tahanan Hati
44 Bab 44 James Ngajak Raka Diskusi Soal Neraka dan Keadilan Tuhan
45 Bab 45 Pertolongan yang Datang Diam-Diam
46 Bab 46
47 Bab 47
48 Bab 48
49 Bab 49
Episodes

Updated 49 Episodes

1
Bab 1 Joko Wiryawan, Guru SD yang Suka Nyentil
2
Bab 2 Nostalgia, Surga, dan Neraka
3
Bab 3 Tatapan yang Menular
4
Bab 4 Bambang Maulana , Tatapan Terakhir yang Salah Sasaran
5
Bab 5 Tatapan Terakhir, Sebelum Pulang
6
Bab 6 Kail, Bukan Ikan
7
Bab 7 Sastra Inggris dan Negara Republik Gulali
8
Bab 8 Guru TK yang Multitalenta Tapi Dibully
9
Bab 9 Cita-Cita Setinggi Ruko
10
Bab 10 Antara Columbia dan Kopi Joss MLM
11
Bab 11 Yang menyayangi di bumi, akan disayang di langit
12
Bab 12 Amerika atau Rendang Ibu?
13
Bab 13 Mekanik Masjid dan Malaikat Neraka
14
Bab 14 Kopi Pahit dan Luka yang Masih Hangat
15
Bab 15 Republik Gulali dan Rolling Thunder
16
Bab 16 DeShawn Belajar Sholat
17
Bab 17 Tiket Pulang Tanpa Pamitan
18
Bab 18 Kota Baru Tanpa Kenangan
19
Bab 19 Rujuk Tanpa Kata "Kembali"
20
Bab 20 Dari Seragam ke Seragam Lucu
21
Bab 21 Masa Lalu di Seragam Baru
22
Bab 22 Chuckie Ray dan Korek Api Digital
23
Bab 23 Montir, Polisi, dan Kehilangan
24
Bab 24 Luka Lama di Dalam Gudang Musik
25
Bab 25 Surat dari Masa Lalu
26
Bab 26 Potongan Puzzle Terakhir
27
Bab 27 Angin Dingin Wichita
28
Bab 28 Raka Maulana dan Bisnis Kopi Jalanan
29
Bab 29 Antara Bubuk Putih dan Bubuk Kopi
30
Bab 30 Si Raka dan Laci Rahasia
31
Bab 31 Penawaran yang Menggoda
32
Bab 32 Ayam, Celana Dalam, dan Sidang Pertama
33
Bab 33 Jalan Baru untuk Dua Orang Laki-laki yang Lelah
34
Bab 34 Big Mac dan Rolex di Tengah Krisis
35
Bab 35 Mahasiswi, Mimpi Buruk, dan Media
36
Bab 36 FBI, Fotokopi, dan Firasat Buruk
37
Bab 37 Putusan dan Popularitas
38
Bab 38 Yang Disembunyikan oleh Rak Nomor 27
39
Bab 39 Jejak yang Dihapus
40
Bab 40 Bayangan di Tengah Padang Rumput
41
Bab 41 Guru Baru Bernama Ahmad
42
Bab 42 Satu Ayat, Satu Air Mata
43
Bab 43 Surat dari Tahanan Hati
44
Bab 44 James Ngajak Raka Diskusi Soal Neraka dan Keadilan Tuhan
45
Bab 45 Pertolongan yang Datang Diam-Diam
46
Bab 46
47
Bab 47
48
Bab 48
49
Bab 49

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play