Bab 2: Nostalgia, Surga, dan Neraka
Pagi itu, Joko Wiryawan duduk di beranda rumah kontrakan kecilnya di daerah Kebon Jeruk. Rumah tipe petak 4x9 meter, berdempetan dengan tetangga, hanya dipisahkan tembok tipis yang kadang bikin suara TV sebelah lebih nyaring daripada suara hati sendiri. Dinding catnya mulai kusam, genteng ada yang bocor, dan saluran air belakang sering mampet pas musim hujan.
Tapi pagi ini cukup cerah. Langit abu-abu muda, seperti lembaran kertas yang lupa ditulisi. Joko duduk di kursi plastik warna hijau daun, kaki selonjoran, dan tangan menggenggam cangkir kopinya—bukan cangkir keramik mahal, cuma gelas bening tipis hadiah dari minyak goreng refill.
Di tangan kirinya kopi hitam pahit, dan di tangan kanannya HP jadul Samsung. Dari Facebook, dia scroll pelan-pelan. Status orang, kabar duka, jualan skincare, dan satu postingan lama tentang “Tanda-Tanda Kiamat Kecil” muncul di layar.
"Wah," gumam Joko pelan. "Makin banyak yang meninggal muda sekarang... Jangan-jangan, gue berikutnya?"
Dia menghela napas. Lalu muncul pertanyaan iseng, tapi dalem:
> "Kalau dari 44 teman sekelas SD dulu, yang masuk surga cuma satu orang… siapa ya?"
Mata Joko menerawang. Ingatannya melayang ke masa kecil di SDN 03 Pagi. Sekolah yang sekarang udah disatukan dengan sekolah siang karena kekurangan murid. Di sana dulu mereka main gobak sodor, main tutup botol, dan rebutan tempat duduk depan cuma karena kipas angin kelas itu rusak.
Dia nyengir sendiri.
> “Mungkin Dodi, yang dulu suka nyontek tapi sekarang jadi ustaz TikTok? Atau Rina, yang dulu juara kelas tapi katanya sekarang kerja di biro jodoh syariah online?”
Joko menyeruput kopi lagi. “Atau Dani… yang dulu suka kentut di kelas tapi rajin nyapu musholla?”
> “Atau malah si Edi, temen gue, yang waktu SD kayak enggak kelihatan. Tapi sekarang… diam-diam rajin infak anonim ke masjid setiap Jum'at.”
Kepalanya tambah ngelantur.
> “Atau bisa jadi, yang dulu paling alim, sekarang justru ketangkep nipu jamaah umroh…”
> “Yang dulu suka bawa roti bolu buat guru, sekarang jadi preman parkir…”
> “Yang dulu kalem banget, sekarang jadi selebgram endorse judi online…”
Dia ngakak kecil, tapi dalam hati terasa sepi.
> “Ternyata, makin tua, pertanyaan hidup juga ikut tua.
Dulu pas SMA mikir: siapa yang bakal jadi menteri?
Sekarang mikir: siapa ya yang masuk surga?”
Joko menarik napas panjang. Udara pagi itu agak dingin, tapi bukan karena angin. Mungkin karena pikiran.
Istrinya, Ika, lewat sambil nyapu halaman. Rambutnya sekarang pendek, digelung seadanya. Dulu, waktu awal nikah, rambutnya panjang dan sering dicepol rapi. Tapi sekarang, rambutnya seperti harapan-harapan kecil yang dipangkas waktu.
Joko tersenyum pahit. Dalam hati dia ngomong, “Tapi gue ngerti satu hal: jangan nyari hidup yang sempurna. Jangan nyari kerjaan sempurna, istri sempurna, anak sempurna. Karena hidup itu bukan Instagram."
"Tau nggak, Ed," kata Joko seolah sahabatnya Edi lagi duduk di sebelah, "Istri gue itu toxic. Manipulatif. Dramaqueen. Tapi... enggak matre.”
Dia nyengir.
> “Orang-orang mah pake deodorant Rexona, ini mah pake tawas. Makan pempek pake nasi. Martabak telor, pake nasi. Somay, pake nasi.”
> “Segala lauk dipakein nasi, kayak hidup yang gak pernah cukup kalau gak ditambah keluhan.”
Joko kemudian ingat mimpinya dulu. Sebelum menikah. Dia dan Edi duduk di warung kopi deket lapangan SD. Ada perempuan rambut pendek, duduk di seberang mereka. Dalam mimpi itu, Edi bilang:
> "Dia kalo ngomong, nyakitin, Jok. Tapi dia enggak matre."
Dan entah kenapa, mimpi itu kepikiran lagi pagi ini. Karena sekarang, Ika—yang dulunya berambut panjang—sudah berambut pendek. Joko menghela napas.
“Kenapa ya, perempuan kalau makin tua rambutnya makin pendek?” tanyanya pada kopi.
> “Di tengah lamunannya, Joko teringat kisah yang pernah ia dengar dari seorang ustaz…”
**Joko juga tiba-tiba ingat kisah yang pernah ia baca atau dengar di majelis. Tentang seorang wali yang miskin. Suatu hari, temannya datang ke rumah sang wali. Bertanya pada istri sang wali, “Mana suamimu?” Istrinya menjawab ketus, “Lagi nyari kayu bakar. Semoga dimakan macan.”
Dan yang ajaib, si wali pulang—membawa kayu bakar yang justru dibawakan oleh macan. Binatang buas itu menurut.
Waktu berlalu, sang wali akhirnya bercerai dan menikah lagi dengan perempuan yang sopan.
Suatu hari, temannya datang lagi. Bertanya, “Mana suamimu?” Istri barunya menjawab lembut, “Sedang ke hutan mencari kayu. Mudah-mudahan pulang selamat.”
Kali ini, sang wali pulang dengan memanggul kayu sendiri.
Temannya bertanya heran, “Kenapa sekarang nggak dibawain macan lagi?”
Dan sang wali menjawab tenang, “Karena sejak istriku shalihah, keramatku hilang.”**
Suara Ika terdengar dari dalam rumah, “Jangan lupa buang sampah ya!”
“Iya,” jawab Joko pelan. “Sampah masa lalu juga sekalian.”
Ia menyeruput kopi lagi. Pahitnya udah nggak kagetin. Mirip hidup.
> “Usia 42 itu aneh,” batinnya. “Kadang ngerasa udah alim, kadang ngerasa dosa gue udah kayak utang negara—nggak bisa kebayar.”
Dia buka galeri HP, nemu foto anaknya waktu kecil—masih SD, masih suka manggil “Ayah” sambil peluk kaki. Sekarang udah remaja, kadang jawab cuma “Hmm” atau “Nggak, Yah.”
Dulu Joko pengen jadi presiden. Sekarang cuma pengen satu: jadi bapak yang enggak nyusahin anak-anaknya kalau udah tua nanti.
Dia kemudian buka Facebook, baca status teman SD-nya yang baru jadi PNS:
> “Yang bikin negara rusak itu bukan rakyat kecil. Tapi orang gede yang ngerasa dirinya kecil di mata hukum.”
Joko senyum miris. “Dari kecil kita diajarin aturan. Tapi makin gede, makin banyak yang ngerasa aturan itu buat orang lain, bukan buat dirinya.”
Lalu dia mulai mikir:
> “Hidup bukan soal jadi kaya atau terkenal. Tapi soal apa yang kita tinggalin setelah mati.”
Ingatannya melayang ke masa kecil lagi:
– Waktu dia rebutan penghapus kayak rebutan warisan keluarga.
– Waktu guru marah cuma karena huruf sambungnya lebih mirip benang kusut.
– Waktu dia dilempar sendal sama Pak RT karena buang bungkus permen ke got.
> “Dari kecil udah diajarin buang sampah pada tempatnya.
Tapi sekarang, orang gede buang korupsi sembarangan.”
Dia menulis status:
> “Surga bukan buat orang yang sempurna. Tapi buat orang yang sadar dia banyak salah dan tetap nyoba memperbaiki.”
“Surga itu bukan buat yang hidupnya rapi dan sempurna. Tapi buat yang tahu dia berantakan, dan tetap nyoba beresin satu per satu.”
Beberapa menit kemudian, komentar mulai masuk:
> “Aamiin.”
“Dalem, Bang.”
“Eh, lu kenapa? Sakit?”
“Kayaknya lagi galau, nih…”
Joko senyum tipis. Kadang orang baru peduli kalau kita udah ngomong sehalus mungkin. Itupun… belum tentu mereka benar-benar dengar.
Dia melirik langit. Mendung. Tapi nggak hujan.
> “Kalau hidup ini cuma buat nyari senyum orang…
Bisa jadi, kita lupa nyari senyum Tuhan.”
Dia nyeruput kopi terakhir. Dingin. Tapi nggak masalah.
Toh, hidup juga nggak selalu harus hangat. Yang penting, enggak basi.
Hari itu, Joko gak jadi update status lagi. Tapi dalam hati, dia udah bikin catatan sendiri:
> “Gue belum tentu masuk surga.
Tapi gue pengen terus bergerak ke arahnya.
Dan minimal…
Gue gak diam.”
> “Setelah buang sampah dan salaman singkat dengan istrinya, Joko berangkat ke sekolah naik motor tuanya…”
Guru, Tatapan, dan Awal Sebuah Gerakan
Pagi itu langit agak mendung. Tapi hati Pak Joko Wiryawan, guru SD kelas 5 di SDN 07 Republik Gulali, justru cerah. Ia masuk kelas dengan baju batik biru dan sepatu pantofel bekas yang udah direkatin lem Alteco di bagian sol.
"Anak-anak, kalian tahu nggak? Kadang Pak Joko iri sama tukang es keliling. Soalnya dia tiap hari bahagia, padahal hidupnya sederhana. Nggak perlu update status tiap lima menit."
"Pak... Bapak ngiri sama tukang es?" tanya Raka bingung.
"Iya. Karena dia ngajarin satu hal: nikmatin yang kita punya. Jangan FOMO! Fear Of Missing Out. Jangan takut ketinggalan berita. Jangan takut ketinggalan gaya. Gaya nggak bisa beli ketenangan.”
Joko kemudian bertanya, “Kalian ikut grup WhatsApp, kan?”
Semua murid menjawab, “Iya, Pak!”
Joko tersenyum dan berkata, “Pak Joko cuma punya satu grup. Grup guru-guru sekolah.”
Seorang murid angkat tangan dan bertanya polos, “Kenapa cuma satu, Pak?”
Joko menjawab dengan suara tenang, “Karena kebanyakan grup itu bikin kepala rame. Bunyi terus ‘ting ting ting’, padahal kadang isinya cuma becandaan enggak penting. Lagi mau bikin soal ujian, eh malah kebablasan baca obrolan di grup, sampai setengah jam. Jadinya enggak fokus kerja.
Kadang juga, isi grupnya enggak cocok. Ada yang suka pamer-pamer, ngomongin orang lain, debat mulu... capek, Nak. Padahal, Pak Joko cuma pengen hidup tenang, fokus kerja, ibadah, dan istirahat.”
Anak-anak mendengarkan dengan serius.
“Ia lanjut dengan suara agak pelan. “Dulu saya pernah dimasukin ke grup alumni SMA. Sama temen saya, namanya Amel. Saya enggak bilang apa-apa, cuma diem aja. Eh, ada satu orang—sekarang dia Kapolres, namanya Roni—bilang gini di grup: ‘Joko ini sukses, tapi pendiam. Karena inspirasinya Limbad.’”
Anak-anak tertawa, tapi Pak Joko melanjutkan dengan suara lebih tenang.
“Padahal... inspirasi saya itu Rasulullah SAW, Michael Jordan, dan Pakde saya sendiri—Brigjend Bedjo—pahlawan di Sumatra. Kisah hidupnya bahkan diangkat jadi film Nagabonar. Makamnya di Taman Makam Pahlawan Kalibata.”
Waktu itu, Pak Joko lagi susah banget cari kerja. Bahkan buat makan aja susah. Istri juga lagi pergi ke rumah mertuanya.
Pak Joko keluar dari grup. Terus Amel masukin lagi. Pak Joko keluar lagi. Dan enggak bilang apa-apa. Sampai akhirnya, demi ketenangan hati, Pak Joko blok dulu nomor Amel.
Bukan karena benci. Tapi karena kadang... orang enggak tahu, kalau kita lagi jatuh.
“Kalian tahu… bahkan sama orang yang kita kenal pun, kita tetap harus baik. Karena kita nggak tahu mereka lagi ngalamin apa. Apalagi sama orang yang nggak kita kenal.”
Kadang, ada juga grup yang isinya cuma foto kaki doang... pakai sepatu sultan. Sepatu Air Jordan... flexing. Sementara Pak Joko ke sekolah aja pakai sepatu lama, sol-nya dilem Alteco.
Pak Joko sekarang milih hidup sederhana. Enggak usah ikut semua grup. Enggak usah tahu semua hal. Yang penting hati tenang. Fokus ke yang penting aja: kerja, doa, dan ngajarin kalian semua.”
Kelas hening sejenak. Hanya suara kipas yang terdengar. Beberapa murid menunduk, ada juga yang menatap Joko dengan tatapan beda. Lebih hormat.
“Kadang grup juga bikin drama,” tambah Joko pelan. “Ada yang debat terus, saling sindir, atau malah bikin kita kayak enggak dihargai. HP juga bisa penuh. Jadi... Pak Joko pilih satu grup aja. Grup guru. Itu pun kadang enggak dibuka juga.”
Ia menutup dengan kalimat pelan, “Kadang... hidup lebih enak kalau kita tahu kapan harus
diam, dan kapan harus jaga jarak.”
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 49 Episodes
Comments