NovelToon NovelToon

Mari Kita Bully Demi Kebaikan

Bab 1 Joko Wiryawan, Guru SD yang Suka Nyentil

Bab 1 Joko Wiryawan, Guru SD yang Suka Nyentil

Joko Wiryawan, 42 tahun, adalah guru SD negeri di pinggiran Jakarta. Murid-muridnya lebih hafal nama YouTuber prank daripada nama Menteri Pendidikan. Ia dikenal sebagai guru idealis, galak, tapi diam-diam banyak yang kagum. Setiap kali Joko nyeletuk di depan kelas, reaksinya beragam: ada yang takut, ada yang ketawa, ada juga yang pernah nangis rame-rame.

Pagi itu, Joko duduk santai di warung kopi Bu Tikah—warung kecil berdinding triplek, tapi bersih dan tertata rapi. Di rak dinding, berjejer toples kaca berisi kerupuk, kue sagu, dan rengginang. Meja-mejanya sederhana, tapi selalu kinclong. Di pojok, tikar plastik digelar buat yang suka lesehan. Wangi gorengan dan kopi hitam berpadu dengan kicau burung dari pohon mangga di halaman.

Joko nyruput Top Coffee Gula Aren, lalu ngetik status Facebook pakai HP yang lcd nya dilakban karena lcd sudah menganga, lemnya sudah enggak erat merekat. Di seberangnya, duduk Edi Saputra, sahabat lamanya yang sekarang jadi tukang servis elektronik merangkap ojol.

> “Orang tua murid zaman sekarang banyak yang nyebelin,” kata Joko, masih ngetik sambil matanya enggak lepas dari layar.

“Baru dikasih PR dua halaman, langsung WA: ‘Pak, anak saya stres belajar.’ Lah, elu pikir anak gue enggak?”

Edi ketawa kecil sambil ngaduk teh manis.

> “Lu emang guru SD paling galak sedunia,” godanya.

“Bukan galak, Ed. Disiplin. Kalau dari SD aja enggak belajar disiplin, nanti pas gede bisa jadi preman pasar... atau koruptor!”

“Halah, lu mah dari dulu emang suka nyolot.”

“Bukan nyolot. Sadar! Nih ya... orang sekarang beli motor bisa nyicil sampai delapan tahun. Gue kadang mikir, ‘Ini motor sebegitu mahalnya, apa jangan-jangan... motornya yang naikin dia?’”

Edi ngakak.

> “Wkwkwk... iya juga sih! Ada yang beli motor cuma buat pamer ke mantan. Padahal helmnya aja masih nyewa!”

Edi lalu nanya, sambil nyengir:

> “Tapi, hubungannya apa ya antara disiplin murid sama elu julid soal cicilan motor?”

Joko nyeletuk pelan:

> “Akhirnya, hidupnya stres sendiri. Lupa satu hal penting, Ed...

Semakin sedikit yang kita mau, semakin bahagia.”

---

Joko buka Facebook, lalu scroll status yang dia post kemarin sore. Isinya cuma satu kalimat:

> "Naik motor enggak pakai helm itu goblok, walaupun yang naik Pak Haji."

Kolom komentar sudah rame. Ada yang setuju, ada yang bilang dia enggak sopan, bahkan ada yang ngajak debat soal adab dan akhlak. Tapi yang paling bikin Edi ketawa adalah caption kecil yang ditulis Joko di bawahnya:

> (FYI: Pak Haji itu bapak gue sendiri.)

---

Joko memang bukan cuma suka nyentil. Dia percaya, dunia pendidikan bisa berubah—asal bukan cuma kurikulum doang yang diganti, tapi juga karakter manusianya dibangun. Dan kalau enggak bisa mulai dari menteri, ya mulai aja dari bangku plastik kelas SD yang salah satu kakinya udah miring. Dari papan tulis yang catnya ngelupas. Dari anak-anak yang lebih hafal lagu Kepiting Rebus daripada lagu wajib nasional.

Dan dari situ, Joko sudah bersiap. Jadi guru yang bukan cuma ngajar... tapi juga ngasih “tamparan kecil” biar mikir.

Tamparan secara harfiah? Nggak. Joko bahkan enggak pernah membentak muridnya, apalagi main fisik.

Suatu hari, ada satu murid: Muhammad Matthew, atau Mamat, panggilannya. Anak ini cerdas, jago matematika. Tapi karena dari keluarga broken home, Mamat sering cari perhatian. Pas Joko lagi nerangin pelajaran, Mamat keliling kelas, gangguin temen, ajak ngobrol, lempar kertas, dan sebagainya.

Joko sudah coba berbagai cara:

— Mamat duduk di luar kelas.

— Belajar sendiri di ruang guru.

— Disarankan ke guru BK.

— Dipanggil wali kelas berkali-kali.

Tapi tetap aja, Mamat mengulang lagi. Sampai suatu saat, ketika Joko lagi serius ngajar, Mamat jalan-jalan lagi keliling kelas sambil gangguin temen-temennya. Joko yang biasanya sabar, langsung kehilangan kendali. Dia banting spidol ke lantai.

Bukan untuk menakuti. Tapi lebih karena frustrasi.

Setelah itu, Joko langsung panik sendiri. Ia minta salah satu murid memanggil wali kelas 3A, Pak Ibnu.

Pak Ibnu datang cepat. Dengan suara tenang dan nada penuh empati, dia tanya ke Mamat:

> “Ada apa sih, Mat?”

Mamat langsung jawab:

> “Pak Joko banting spidol!”

Tapi beberapa murid menyanggah:

> “Enggak, Pak. Pak Joko enggak banting spidol!”

Sementara itu, Joko cuma bisa duduk diam, campur aduk antara rasa marah, kecewa, dan takut—takut salah langkah, takut kehilangan kendali, tapi juga takut gagal jadi guru yang seharusnya bukan cuma ngajar... tapi juga ngasuh.

---

Kalau kamu pernah jadi guru, kamu pasti ngerti.

Kalau kamu pernah jadi murid, kamu harusnya paham.

Dan kalau kamu orang tua murid zaman sekarang...

...mungkin udah waktunya denger dulu sebelum nge-judge.

Di luar jam sekolah, Joko sering diajak ngopi bareng guru-guru lain. Tapi makin ke sini, ia makin pilih-pilih. Banyak obrolan yang menurutnya enggak produktif: gosip soal atasan, sindiran soal murid, atau bahasan receh kayak siapa yang belanja di Alfamart pakai potongan guru.

Menurut Joko, keterampilan sosial di tempat kerja itu sederhana: jangan ikut politik kantor. Jangan ngomongin jelek rekan kerja—karena cepat atau lambat, pasti sampai ke telinga yang diomongin. Dan jangan berharap disukai semua orang. Kita bukan anjing yang selalu mengibas ekor. Atau pizza yang semua orang suka.

Rekan kerja itu ya kolega. Bukan sahabat. Pulang kerja, urus hidup masing-masing.

Joko lebih suka ngobrol dengan orang-orang seperti Bu Rika, guru Bahasa Indonesia yang hobi nulis puisi. Atau Pak Damar, guru IPS yang suka diskusi soal filosofi pendidikan Finlandia—meski sambil ngisep rokok kretek.

Ruang guru SDN 04 itu bukan sekadar tempat istirahat. Di sanalah ide-ide liar, kejengkelan, tawa, dan kadang air mata tumpah. Meja-meja kayu kusam berdempetan, kipas angin tua menggantung dari langit-langit dengan suara menderit yang seperti mengeluh, dan toples-toples plastik penuh kerupuk keras atau biskuit sisa dikocok angin sejak zaman Orde Baru.

Hari itu, seperti biasa, Joko Wiryawan duduk menyendiri di pojok ruangan, di meja yang sudah jadi semacam wilayah kekuasaan pribadinya. Di atasnya ada gelas plastik isi kopi tubruk sachet, buku catatan bergaris yang sudah menguning, dan ballpoint yang tinggal separuh isi. Latar suara guru-guru lain bergosip menjadi semacam musik latar—semrawut tapi akrab.

“Eh, kalian tau nggak, si Ibu Rika katanya deket lagi sama Pak Damar,” bisik Bu Tati, guru kelas 3, sambil mencomot kerupuk garing dari toples.

“Ah masa sih? Kan dulu udah sempet ribut gegara Pak Damar nggak ngasih iPhone pas ulang tahun,” timpal Bu Ina sambil menyeruput teh manis dari gelas kaca yang ada noda bekas lipstik.

Suasana sore itu agak redup. Langit menggantung mendung tipis. Dari luar jendela, suara anak-anak main bola masih terdengar samar, dibalut sesekali teriakan tukang sayur keliling.

Joko hanya melirik sekilas. Tak tertarik. Tapi di balik wajah datarnya, ia mengamati. Ada sesuatu dalam cara orang-orang membicarakan orang lain yang seperti cermin kecil—tentang hidup yang terus berjalan tapi selalu butuh bahan gosip agar terasa hangat.

Ia membuka ponselnya sebentar, mengecek WhatsApp grup guru yang isinya hampir selalu dua hal: undangan rapat dan broadcast jualan skincare. Tidak ada yang penting. Ia meletakkan lagi ponselnya dan memandang keluar jendela.

Di luar, pohon mangga di halaman sekolah diam saja. Seperti ikut mendengarkan.

“Pak Joko!”

Sebuah suara nyaring mengagetkannya. Bu Rika tiba-tiba sudah berdiri di samping mejanya. Wajahnya selalu terlihat terlalu semangat, seperti orang yang terlalu banyak konsumsi kopi susu dan sinetron prime time.

“Eh, Bu Rika. Ada apa?” Joko setengah berdiri, menghormati meski enggan.

“Pak, saya denger dari Bu Ina, katanya Bapak nyuruh murid-murid nulis esai soal arti sukses? Seriusan?”

“Iya. Emang kenapa?”

“Ya... anak kelas 5, Pak. Mereka aja nulis nama sendiri masih salah, masa disuruh mikir soal sukses?”

Joko tersenyum kecil. “Justru karena itu. Biar mereka belajar mikir. Meski nggak semua ngerti, pasti ada satu-dua yang merenung.”

Bu Rika menghela napas, lalu duduk di kursi sebelah. “Pak, jujur aja ya. Saya kadang nggak ngerti kenapa Bapak repot-repot. Toh nanti juga nilai UN yang diliat. Ranking. Nilai Matematika. Bukan soal ‘makna sukses’.”

“Ya... saya ngerti. Tapi hidup bukan cuma soal ranking, Bu.”

“Lha iya, tapi orang tua murid itu taunya nilai. Kalau anaknya dapet nilai jelek, yang disalahin siapa? Kita. Bukan sistem.”

Joko tak menjawab. Di meja seberang, suara Bu Tati masih terdengar menggoda Bu Ina dengan info diskon bulanan di e-commerce. Seorang guru laki-laki baru, Pak Damar, melintas membawa dus berisi buku paket. Joko mengangguk kecil padanya.

Dalam hati, Joko sadar, idealisme itu mahal. Tapi baginya, itu satu-satunya alasan ia masih bertahan di dunia pendidikan. Tiap pagi melihat murid-muridnya—ada yang datang pakai sandal jepit bolong, ada yang ngantuk karena bantu orang tua jualan sampai malam—membuatnya yakin bahwa sekolah harus lebih dari sekadar tempat mengejar nilai.

Kadang, ia membayangkan jadi seperti Robin Williams di film “Dead Poets Society”. Tapi ini Jakarta, bukan New England. Dan murid-muridnya lebih hafal TikTok dance ketimbang puisi Chairil Anwar.

“Pak Joko, saya pamit duluan ya. Mau nyuapin anak di rumah,” kata Bu Rika seraya berdiri.

“Silakan, Bu.”

Tapi sebelum benar-benar melangkah, Bu Rika menjatuhkan pulpen miliknya ke lantai, tepat di dekat kaki Joko.

Refleks, mereka berdua jongkok bersamaan untuk memungutnya. Tangan Joko enggak sengaja menyentuh tangan Bu Rika. Joko lekas menghindar, menarik tangannya cepat-cepat seolah tersengat listrik.

Tapi Bu Rika malah menahan, menarik lembut jari-jarinya, seakan ingin memperlambat perpisahan.

Joko kembali menjauhkan tangannya. Tanpa kata, tanpa tatapan, hanya dengan gerakan pelan tapi tegas.

Ia tidak marah, tidak juga risih. Hanya... ia tahu batasnya. Bu Rika perempuan baik, cerdas, dan menyenangkan. Tapi Joko bukan lelaki yang mencari alasan untuk bermain hati. Ia tidak sedang lapar perhatian. Dan ia percaya: godaan itu bukan datang karena kesempatan, tapi karena kita membiarkannya tumbuh.

Ia berdiri, lalu menyodorkan pulpennya sambil berkata pendek, “Ini, Bu.”

Mata Bu Rika mencari sesuatu di wajah Joko, mungkin harapan kecil. Tapi yang ia temukan hanya senyum tipis dan kepala yang sedikit menunduk, seperti ucapan “maaf” yang tak diucap.

Bu Rika pun mengambil pulpennya dengan tangan gemetar halus. “Makasih, Pak,” ucapnya pelan, lalu melangkah pergi.

Setelah semua guru lain berangsur pergi, ruang guru perlahan lengang. Hanya tinggal Joko, kopi yang sudah dingin, dan suara kipas angin yang masih

setia berdecit.

Ia membuka laci mejanya, mengeluarkan beberapa lembar esai yang ditulis murid-muridnya.

“Sukses itu kalau bisa beliin ibu motor.”

“Sukses itu bisa punya rumah dua lantai.”

“Sukses itu kalau Bapak bangga.”

Matanya berhenti pada satu tulisan:

“Sukses itu kalau aku nggak takut jawab soal, dan guru nggak marah kalau aku salah.”

Joko terdiam.

Lama.

Angin sore masuk dari jendela, membawa bau tanah dan sedikit aroma gorengan dari warung depan.

Ia tersenyum tipis.

Kadang, satu kalimat jujur dari seorang anak kecil cukup untuk mengisi ulang hati yang lelah.

---

"Jok, lu tuh kayak api unggun," kata Bu Rika suatu sore. "Terang, hangat, tapi bisa bikin gosong kalau kelamaan dideketin."

Joko cuma nyengir. "Ya, semoga enggak kebakaran aja."

Yang Joko enggak bilang adalah: kadang dia juga capek. Capek jadi guru yang "berbeda". Capek harus selalu kuat di depan murid, tegas di depan orang tua, dan idealis di tengah sistem yang absurd.

Tapi setiap kali melihat satu dua muridnya berubah—jadi lebih peka, lebih sopan, atau tiba-tiba bantu bersihin kelas tanpa disuruh—itu sudah cukup. Itu jadi semacam bahan bakar.

Karena integritas itu adalah tetap berbuat baik, meski enggak ada yang melihat.

Joko bukan Superman. Tapi dia percaya satu hal:

Kadang, perubahan besar dimulai dari obrolan kecil. Dari warung kopi. Dari status Facebook. Dari sepotong kalimat nyentil di papan tulis.

Dan dari seorang guru yang, walaupun capek, tetap nyruput kopi sambil mikir:

“Besok gue mau nyeletuk apa, ya, biar mereka mikir?”

Bab 2 Nostalgia, Surga, dan Neraka

Bab 2: Nostalgia, Surga, dan Neraka

Pagi itu, Joko Wiryawan duduk di beranda rumah kontrakan kecilnya di daerah Kebon Jeruk. Rumah tipe petak 4x9 meter, berdempetan dengan tetangga, hanya dipisahkan tembok tipis yang kadang bikin suara TV sebelah lebih nyaring daripada suara hati sendiri. Dinding catnya mulai kusam, genteng ada yang bocor, dan saluran air belakang sering mampet pas musim hujan.

Tapi pagi ini cukup cerah. Langit abu-abu muda, seperti lembaran kertas yang lupa ditulisi. Joko duduk di kursi plastik warna hijau daun, kaki selonjoran, dan tangan menggenggam cangkir kopinya—bukan cangkir keramik mahal, cuma gelas bening tipis hadiah dari minyak goreng refill.

Di tangan kirinya kopi hitam pahit, dan di tangan kanannya HP jadul Samsung. Dari Facebook, dia scroll pelan-pelan. Status orang, kabar duka, jualan skincare, dan satu postingan lama tentang “Tanda-Tanda Kiamat Kecil” muncul di layar.

"Wah," gumam Joko pelan. "Makin banyak yang meninggal muda sekarang... Jangan-jangan, gue berikutnya?"

Dia menghela napas. Lalu muncul pertanyaan iseng, tapi dalem:

> "Kalau dari 44 teman sekelas SD dulu, yang masuk surga cuma satu orang… siapa ya?"

Mata Joko menerawang. Ingatannya melayang ke masa kecil di SDN 03 Pagi. Sekolah yang sekarang udah disatukan dengan sekolah siang karena kekurangan murid. Di sana dulu mereka main gobak sodor, main tutup botol, dan rebutan tempat duduk depan cuma karena kipas angin kelas itu rusak.

Dia nyengir sendiri.

> “Mungkin Dodi, yang dulu suka nyontek tapi sekarang jadi ustaz TikTok? Atau Rina, yang dulu juara kelas tapi katanya sekarang kerja di biro jodoh syariah online?”

Joko menyeruput kopi lagi. “Atau Dani… yang dulu suka kentut di kelas tapi rajin nyapu musholla?”

> “Atau malah si Edi, temen gue, yang waktu SD kayak enggak kelihatan. Tapi sekarang… diam-diam rajin infak anonim ke masjid setiap Jum'at.”

Kepalanya tambah ngelantur.

> “Atau bisa jadi, yang dulu paling alim, sekarang justru ketangkep nipu jamaah umroh…”

> “Yang dulu suka bawa roti bolu buat guru, sekarang jadi preman parkir…”

> “Yang dulu kalem banget, sekarang jadi selebgram endorse judi online…”

Dia ngakak kecil, tapi dalam hati terasa sepi.

> “Ternyata, makin tua, pertanyaan hidup juga ikut tua.

Dulu pas SMA mikir: siapa yang bakal jadi menteri?

Sekarang mikir: siapa ya yang masuk surga?”

Joko menarik napas panjang. Udara pagi itu agak dingin, tapi bukan karena angin. Mungkin karena pikiran.

Istrinya, Ika, lewat sambil nyapu halaman. Rambutnya sekarang pendek, digelung seadanya. Dulu, waktu awal nikah, rambutnya panjang dan sering dicepol rapi. Tapi sekarang, rambutnya seperti harapan-harapan kecil yang dipangkas waktu.

Joko tersenyum pahit. Dalam hati dia ngomong, “Tapi gue ngerti satu hal: jangan nyari hidup yang sempurna. Jangan nyari kerjaan sempurna, istri sempurna, anak sempurna. Karena hidup itu bukan Instagram."

"Tau nggak, Ed," kata Joko seolah sahabatnya Edi lagi duduk di sebelah, "Istri gue itu toxic. Manipulatif. Dramaqueen. Tapi... enggak matre.”

Dia nyengir.

> “Orang-orang mah pake deodorant Rexona, ini mah pake tawas. Makan pempek pake nasi. Martabak telor, pake nasi. Somay, pake nasi.”

> “Segala lauk dipakein nasi, kayak hidup yang gak pernah cukup kalau gak ditambah keluhan.”

Joko kemudian ingat mimpinya dulu. Sebelum menikah. Dia dan Edi duduk di warung kopi deket lapangan SD. Ada perempuan rambut pendek, duduk di seberang mereka. Dalam mimpi itu, Edi bilang:

> "Dia kalo ngomong, nyakitin, Jok. Tapi dia enggak matre."

Dan entah kenapa, mimpi itu kepikiran lagi pagi ini. Karena sekarang, Ika—yang dulunya berambut panjang—sudah berambut pendek. Joko menghela napas.

“Kenapa ya, perempuan kalau makin tua rambutnya makin pendek?” tanyanya pada kopi.

> “Di tengah lamunannya, Joko teringat kisah yang pernah ia dengar dari seorang ustaz…”

**Joko juga tiba-tiba ingat kisah yang pernah ia baca atau dengar di majelis. Tentang seorang wali yang miskin. Suatu hari, temannya datang ke rumah sang wali. Bertanya pada istri sang wali, “Mana suamimu?” Istrinya menjawab ketus, “Lagi nyari kayu bakar. Semoga dimakan macan.”

Dan yang ajaib, si wali pulang—membawa kayu bakar yang justru dibawakan oleh macan. Binatang buas itu menurut.

Waktu berlalu, sang wali akhirnya bercerai dan menikah lagi dengan perempuan yang sopan.

Suatu hari, temannya datang lagi. Bertanya, “Mana suamimu?” Istri barunya menjawab lembut, “Sedang ke hutan mencari kayu. Mudah-mudahan pulang selamat.”

Kali ini, sang wali pulang dengan memanggul kayu sendiri.

Temannya bertanya heran, “Kenapa sekarang nggak dibawain macan lagi?”

Dan sang wali menjawab tenang, “Karena sejak istriku shalihah, keramatku hilang.”**

Suara Ika terdengar dari dalam rumah, “Jangan lupa buang sampah ya!”

“Iya,” jawab Joko pelan. “Sampah masa lalu juga sekalian.”

Ia menyeruput kopi lagi. Pahitnya udah nggak kagetin. Mirip hidup.

> “Usia 42 itu aneh,” batinnya. “Kadang ngerasa udah alim, kadang ngerasa dosa gue udah kayak utang negara—nggak bisa kebayar.”

Dia buka galeri HP, nemu foto anaknya waktu kecil—masih SD, masih suka manggil “Ayah” sambil peluk kaki. Sekarang udah remaja, kadang jawab cuma “Hmm” atau “Nggak, Yah.”

Dulu Joko pengen jadi presiden. Sekarang cuma pengen satu: jadi bapak yang enggak nyusahin anak-anaknya kalau udah tua nanti.

Dia kemudian buka Facebook, baca status teman SD-nya yang baru jadi PNS:

> “Yang bikin negara rusak itu bukan rakyat kecil. Tapi orang gede yang ngerasa dirinya kecil di mata hukum.”

Joko senyum miris. “Dari kecil kita diajarin aturan. Tapi makin gede, makin banyak yang ngerasa aturan itu buat orang lain, bukan buat dirinya.”

Lalu dia mulai mikir:

> “Hidup bukan soal jadi kaya atau terkenal. Tapi soal apa yang kita tinggalin setelah mati.”

Ingatannya melayang ke masa kecil lagi:

– Waktu dia rebutan penghapus kayak rebutan warisan keluarga.

– Waktu guru marah cuma karena huruf sambungnya lebih mirip benang kusut.

– Waktu dia dilempar sendal sama Pak RT karena buang bungkus permen ke got.

> “Dari kecil udah diajarin buang sampah pada tempatnya.

Tapi sekarang, orang gede buang korupsi sembarangan.”

Dia menulis status:

> “Surga bukan buat orang yang sempurna. Tapi buat orang yang sadar dia banyak salah dan tetap nyoba memperbaiki.”

“Surga itu bukan buat yang hidupnya rapi dan sempurna. Tapi buat yang tahu dia berantakan, dan tetap nyoba beresin satu per satu.”

Beberapa menit kemudian, komentar mulai masuk:

> “Aamiin.”

“Dalem, Bang.”

“Eh, lu kenapa? Sakit?”

“Kayaknya lagi galau, nih…”

Joko senyum tipis. Kadang orang baru peduli kalau kita udah ngomong sehalus mungkin. Itupun… belum tentu mereka benar-benar dengar.

Dia melirik langit. Mendung. Tapi nggak hujan.

> “Kalau hidup ini cuma buat nyari senyum orang…

Bisa jadi, kita lupa nyari senyum Tuhan.”

Dia nyeruput kopi terakhir. Dingin. Tapi nggak masalah.

Toh, hidup juga nggak selalu harus hangat. Yang penting, enggak basi.

Hari itu, Joko gak jadi update status lagi. Tapi dalam hati, dia udah bikin catatan sendiri:

> “Gue belum tentu masuk surga.

Tapi gue pengen terus bergerak ke arahnya.

Dan minimal…

Gue gak diam.”

> “Setelah buang sampah dan salaman singkat dengan istrinya, Joko berangkat ke sekolah naik motor tuanya…”

Guru, Tatapan, dan Awal Sebuah Gerakan

Pagi itu langit agak mendung. Tapi hati Pak Joko Wiryawan, guru SD kelas 5 di SDN 07 Republik Gulali, justru cerah. Ia masuk kelas dengan baju batik biru dan sepatu pantofel bekas yang udah direkatin lem Alteco di bagian sol.

"Anak-anak, kalian tahu nggak? Kadang Pak Joko iri sama tukang es keliling. Soalnya dia tiap hari bahagia, padahal hidupnya sederhana. Nggak perlu update status tiap lima menit."

"Pak... Bapak ngiri sama tukang es?" tanya Raka bingung.

"Iya. Karena dia ngajarin satu hal: nikmatin yang kita punya. Jangan FOMO! Fear Of Missing Out. Jangan takut ketinggalan berita. Jangan takut ketinggalan gaya. Gaya nggak bisa beli ketenangan.”

Joko kemudian bertanya, “Kalian ikut grup WhatsApp, kan?”

Semua murid menjawab, “Iya, Pak!”

Joko tersenyum dan berkata, “Pak Joko cuma punya satu grup. Grup guru-guru sekolah.”

Seorang murid angkat tangan dan bertanya polos, “Kenapa cuma satu, Pak?”

Joko menjawab dengan suara tenang, “Karena kebanyakan grup itu bikin kepala rame. Bunyi terus ‘ting ting ting’, padahal kadang isinya cuma becandaan enggak penting. Lagi mau bikin soal ujian, eh malah kebablasan baca obrolan di grup, sampai setengah jam. Jadinya enggak fokus kerja.

Kadang juga, isi grupnya enggak cocok. Ada yang suka pamer-pamer, ngomongin orang lain, debat mulu... capek, Nak. Padahal, Pak Joko cuma pengen hidup tenang, fokus kerja, ibadah, dan istirahat.”

Anak-anak mendengarkan dengan serius.

“Ia lanjut dengan suara agak pelan. “Dulu saya pernah dimasukin ke grup alumni SMA. Sama temen saya, namanya Amel. Saya enggak bilang apa-apa, cuma diem aja. Eh, ada satu orang—sekarang dia Kapolres, namanya Roni—bilang gini di grup: ‘Joko ini sukses, tapi pendiam. Karena inspirasinya Limbad.’”

Anak-anak tertawa, tapi Pak Joko melanjutkan dengan suara lebih tenang.

“Padahal... inspirasi saya itu Rasulullah SAW, Michael Jordan, dan Pakde saya sendiri—Brigjend Bedjo—pahlawan di Sumatra. Kisah hidupnya bahkan diangkat jadi film Nagabonar. Makamnya di Taman Makam Pahlawan Kalibata.”

Waktu itu, Pak Joko lagi susah banget cari kerja. Bahkan buat makan aja susah. Istri juga lagi pergi ke rumah mertuanya.

Pak Joko keluar dari grup. Terus Amel masukin lagi. Pak Joko keluar lagi. Dan enggak bilang apa-apa. Sampai akhirnya, demi ketenangan hati, Pak Joko blok dulu nomor Amel.

Bukan karena benci. Tapi karena kadang... orang enggak tahu, kalau kita lagi jatuh.

“Kalian tahu… bahkan sama orang yang kita kenal pun, kita tetap harus baik. Karena kita nggak tahu mereka lagi ngalamin apa. Apalagi sama orang yang nggak kita kenal.”

Kadang, ada juga grup yang isinya cuma foto kaki doang... pakai sepatu sultan. Sepatu Air Jordan... flexing. Sementara Pak Joko ke sekolah aja pakai sepatu lama, sol-nya dilem Alteco.

Pak Joko sekarang milih hidup sederhana. Enggak usah ikut semua grup. Enggak usah tahu semua hal. Yang penting hati tenang. Fokus ke yang penting aja: kerja, doa, dan ngajarin kalian semua.”

Kelas hening sejenak. Hanya suara kipas yang terdengar. Beberapa murid menunduk, ada juga yang menatap Joko dengan tatapan beda. Lebih hormat.

“Kadang grup juga bikin drama,” tambah Joko pelan. “Ada yang debat terus, saling sindir, atau malah bikin kita kayak enggak dihargai. HP juga bisa penuh. Jadi... Pak Joko pilih satu grup aja. Grup guru. Itu pun kadang enggak dibuka juga.”

Ia menutup dengan kalimat pelan, “Kadang... hidup lebih enak kalau kita tahu kapan harus

diam, dan kapan harus jaga jarak.”

Bab 3 Tatapan yang Menular

Bab 3: Tatapan yang Menular

Anak-anak, sebelum kita mulai pelajaran, coba lihat papan tulis. Ada tulisan 'Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana-mana'. Kalian ngerti maksudnya?"

Bocah-bocah itu saling pandang. Satu dua nyengir. Yang lain mainan penghapus.

"Saya ngerti, Pak!" seru Raka Maulana  dari bangku pojok.

"Coba jelasin."

"Kalau nyontek, nilai tinggi tapi gak laku di surga."

"Betul... agak ngaco, tapi betul." Joko nyengir sambil ngangguk-ngangguk.

Joko Wiryawan memang bukan guru biasa. Di sekolah dia dikenal galak tapi adil, kadang nyeleneh tapi tulus. Dan satu hal yang paling diingat murid-muridnya: tatapan maut.

Kalau ada murid nyontek, buang sampah sembarangan, atau bohongin temennya, Joko gak perlu teriak. Cukup menatap tajam. Diam. Dua detik. Tiga detik. Bocahnya langsung nyesel kayak abis makan permen karet rasa sabun.

> "Pak Joko tuh gak pernah mukul. Tapi tatapannya kayak CCTV di neraka," kata Raka suatu kali.

Hari Jumat itu, matahari menyelinap malu-malu di antara awan Jakarta yang seperti bantal belum dijemur. Masjid Al-Fattah yang berada di pinggir jalan raya mulai dipenuhi jamaah. Di sisi belakang, bangku kayu panjang menghitam karena usia menjadi tempat ngaso para guru SD Negeri 08 sebelum masuk shaf Jumatan.

Joko Wiryawan duduk di ujung, masih mengenakan kemeja batik PGRI. Di sebelahnya, Pak Anwar – guru olahraga dengan dompet tipis tapi gaya sok tebal – mulai mengelus janggut tiga helainya.

“Joko,” bisik Pak Anwar sambil ngelirik, “Lo pernah gak sih, ngerasa Jumatan itu… kayak teater?”

Joko senyum miring. “Teater apaan?”

“Teater... 'menghindari kotak amal'. Gue sering liat jamaah pura-pura khusyuk banget pas kotak lewat. Doanya gak kelar-kelar, padahal biar gak usah nyumbang.”

Joko mengangguk pelan. “Ada juga yang pura-pura tidur. Serius. Mata merem, tangan nyilang, kayak mayat damai.”

“Hehehe, iya. Tapi paling absurd tuh yang nyumbang dua ribu... tapi ekspresinya kayak baru wakafin tanah buat bangun pesantren.”

“Kayak berharap bidadari langsung booking di surga,” sambung Joko sambil nyengir.

Pak Anwar makin semangat. “Tapi bro... ada juga yang gak nyumbang sama sekali. Tapi isi hatinya kedengeran kayak speaker Bluetooth.”

“‘Aduh, ntar gue nyumbang, malah jadi miskin…’ gitu ya?”

Joko membalas, “Padahal dua ribu itu juga nanti sorenya abis buat es teh solo.”

Pak Anwar ngakak tertahan. “Lucunya, giliran wudhu, borosnya kayak nyuci Suzuki Carry. Satu galon dihabisin. Padahal Nabi aja bilang jangan boros, meski air sungai.”

“Gue pernah ngeliat yang paling nyentil, Joko. Pas doa khatib — ngaminnya: ‘Aamiiiin ya Roooobbal ‘Alaaamiiiin!’ kayak final Lomba MTQ Nasional. Tapi waktu kotak amal lewat? Dompet aman. Tangan diem. Mata pura-pura gak liat.”

Joko ketawa pendek. “Dan puncaknya... pas selesai Jumatan, ada yang nyumbang nasi kotak. Orang yang tadi gak gerak pas kotak amal lewat... sekarang paling depan ngantri makanan.”

“Anak kecil yang antri disikut,” balas Pak Anwar cepat. “Demi sepiring nasi uduk dan ayam paha bawah.”

Joko menggeleng, lebih sedih dari lucu. “Padahal balik ke kantor ada Aqua galon, tapi pas Jumatan, Aqua gelas dikantongin.”

Pak Anwar nyengir pahit. “Udah gitu, yang gak nyumbang malah ngeliatin yang nyumbang... pake tatapan sinis. Seolah bilang: ‘Ih, norak banget sih pamer.’”

Joko menatap masjid yang mulai padat. Lalu berkata pelan, “Padahal ya… satu-satunya hal yang boleh pamer, justru sedekah. Tapi bukan buat ria. Buat nyemangatin.”

“Ada haditsnya tuh,” sahut Pak Anwar. “Barang siapa menunjukkan kebaikan, pahalanya sama kayak yang ngelakuin. HR Muslim.”

Joko menoleh serius. “Tapi ya, kita juga harus ingat... ada level lain dari sedekah: yang tangan kiri gak tahu apa yang tangan kanan lakukan. Diam-diam. Tanpa pengakuan. Bukan buat konten, bukan buat validasi.”

Pak Anwar manggut-manggut. “Berat itu. Tapi justru yang paling murni.”

Joko jadi teringat sahabatnya, Susilo Beng Beng. Dulu sama-sama guru honorer, sekarang udah jadi wakil kepala cabang di perusahaan BUMN.

“Gue jadi inget temen gue,” kata Joko. “Namanya Susilo Beng Beng. Dulu sempet nganggur, rezekinya mampet, nyari kerja gak dapet-dapet. Tapi dia nekat, tiap Jumat, kotak amal lewat, dia masukin lima puluh ribu. Kadang seratus ribu. Brutal.”

Pak Anwar melotot. “Kotak yang lewat tuh? Bukan buat pembangunan?”

Joko mengangguk. “Kotak keliling. Kotak standar. Tapi dia bilang, ‘justru saat gue takut miskin, gue pengen sedekah. Biar hati gue gak kalah sama rasa takut.’”

Pak Anwar manggut-manggut. “Keren.”

“Dan lo tau gak?” lanjut Joko. “Gak lama, dapet kerja. Rezeki ngalir. Tapi bukan cuma duit. Kesehatan. Dimudahin urusan. Bahkan rumahnya selamat waktu kompleknya kebakaran. Rumah tetangganya abis semua. Rumah dia? Aman. Padahal cuma beda satu pagar.”

Pak Anwar bengong. “Wah…”

“Terus beberapa hari kemudian, dia naik motor. Ada yang nyelonong dari arah berlawanan. Nabrak. Tapi justru yang nabrak yang jatuh. Dia cuma oleng dikit. Padahal mestinya dia yang luka.”

Pak Anwar narik napas panjang. “Allah yang jagain.”

Joko mengangguk. “Dia bilang, sedekah yang paling bernilai... itu yang kita kasih waktu kita takut kehilangan.”

“Sedekah itu kayak gigi susu. Dilepas sekarang, tapi diganti gigi permanen. Lebih kuat,” kata Pak Anwar sok bijak.

Mereka tertawa kecil bersama. Lalu Joko berkata lirih, hampir seperti bicara ke dirinya sendiri:

“Kalau lo bisa tanya orang yang udah meninggal, ‘Kalau bisa hidup lagi, apa yang lo pengen lakuin pertama?’ Lo tau gak jawaban mereka? Bukan liburan. Bukan shopping. Bahkan bukan sholat.”

Pak Anwar melotot lagi.

“Jawabannya... sedekah. Karena sedekah itu bisa terus ngalir. Sementara sholat, itu kewajiban. Amal wajib ya ditanya duluan. Tapi sedekah... itu bisa jadi penyelamat dari lubang kubur.”

Pak Anwar menunduk. “Iya sih… tapi banyak juga yang sedekah miliaran, tapi gak sholat.”

Joko mengangguk berat. “Dan semua kebaikannya bisa gugur. Jadi tetap — sholat dulu. Tapi jangan lupakan sedekah. Karena bisa jadi… itu tiket selamat kita.”

Lalu azan berkumandang. Mereka berdiri, berjejer di barisan tengah. Di pojok kanan, terlihat Pak Joni – bendahara masjid – sedang menyiapkan kotak amal kayu bertali hijau.

Joko tersenyum lirih. Kali ini, dia gak mau pura-pura khusyuk atau berpura-pura tidur. Dia keluarkan dompetnya. Isinya tinggal tiga lembar. Tapi satu lembar dia pisahkan.

Pak Anwar melirik. “Seratus?”

Joko angguk. “Buat nyemangatin orang... termasuk diri sendiri. Tapi gak usah dikasih tahu siapa-siapa, ya.”

Pak Anwar mengacungkan jempol. “Tenang, tangan kiri gue lagi libur.”

Joko tersenyum kecil, tapi dalam hatinya ia teringat lagi satu nasihat lama yang sering dia ulang-ulang di dalam kepalanya sendiri:

> “Orang miskin yang hartanya cuma sejuta... kalau dia sedekah seratus ribu, itu artinya dia kasih sepuluh persen dari seluruh hidupnya.”

Ia melirik kotak amal yang sebentar lagi akan lewat barisan mereka.

> “Bandingin sama orang kaya yang hartanya satu miliar, tapi sedekahnya cuma sejuta. Di mata manusia, kelihatan besar. Tapi di hadapan Allah... siapa yang lebih berkorban?”

Pak Anwar menunduk, lirih, “Yang sedikit tapi ikhlas, bisa lebih berat timbangannya daripada yang banyak tapi ogah-ogahan.”

Joko mengangguk pelan.

> “Kadang... bukan nominalnya yang bikin berat, tapi hati yang belum rela ngasih.”

Tatapan yang Menular

Di luar sekolah pun Joko kadang bawa tatapan itu.

Suatu sore, dia lihat seorang ibu muda nyelonong ke jalur trotoar naik motor Beat, sambil ngemil donat.

Joko berdiri di pinggir, cuma ngelihatin. Matanya tajam. Tangannya di pinggang.

Si ibu pelan-pelan turunin kaki. Senyum malu. Muter balik. Donatnya jatuh.

Lain hari, di antrean Alfamart, ada cowok pakai kaos Supreme KW nerobos antrean. Joko diem aja. Tapi tatapannya nempel kayak stiker di kulkas.

Cowok itu pura-pura ngebales chat, terus mundur ke belakang antrean.

> "Silakan, Pak," katanya sopan banget.

Semua itu belum viral. Belum ada gerakan. Tapi Joko mulai mikir:

> “Ternyata kita bisa bikin orang tertib… tanpa marah, tanpa gebuk, cukup dengan tatapan yang tepat waktu.”

Joko lalu posting status:

> "Kalau mulutmu gak didengar orang, coba pakai matamu. Kalau matamu juga gak mempan, ya mungkin kamu yang salah."

Beberapa temen Facebook-nya mulai komentar:

> “Wah, setuju Bang Joko!”

“Tatapan lebih pedes dari makian.”

“Kita bikin gerakan yuk, Tatapan Sosial.”

Joko cuma bales pakai emoji ️.

---

Tabrakan, Video, dan Viral yang Menggoda

Suatu hari, Joko Wiryawan ditabrak seorang bapak-bapak tua yang mengendarai motor lawas. Darah mengucur perlahan dari lutut Joko, sobek sedikit, celana bolong.

Yang menabrak justru sewot.

> "Enggak punya rem, ya?!" bentak si bapak.

Joko Wiryawan diam. Sama sekali tidak marah. Tidak membalas. Tidak menyalahkan.

Dia bangkit perlahan, menepuk celana, dan melanjutkan perjalanan seperti biasa.

Dalam hati, dia cuma membatin:

> "Manusia bertambah tua, tidak semakin menjadi lebih pintar... tapi menjadi lebih bijak."

Yang dia lupa: GoPro di helmnya sedang merekam.

Malamnya, iseng, dia upload video itu ke Facebook dengan caption:

> “Udah salah, kok malah galakan dia?”

Beberapa jam kemudian… viral.

Komentar membanjiri. Mayoritas pro. Tapi ada juga yang sinis.

> “Keren, Pak Guru.”

“Beginilah kalo hidup masih pakai logika.”

“Yaelah, semua pengendara juga gitu. Ngebego-begoin orang.”

“Pas kita protes hal kayak gini, kita ngerasa paling suci sedunia…”

Joko baca semua. Lalu muncul rasa aneh dalam dadanya.

Bangga. Sekaligus… haus.

---

Tatapan Jadi Gerakan

Joko Wiryawan mulai merasa dia punya “peran lebih”. Bukan sekadar guru SD.

Dia mulai rajin mengamati ketidaktertiban. Memotret. Menulis caption. Bikin status-status menyentil.

Lalu muncullah suatu sore di lampu merah, seorang pengendara motor nekat nerobos.

Tak ada yang teriak. Tak ada yang marah.

Tapi semua mata—pengemudi mobil, tukang sayur, bahkan pemulung—menatap tajam ke arah pelanggar itu.

Seketika, si pengendara yang melanggar jadi salah tingkah. Nunduk. Mundur. Malu.

Tatapan sosial jadi fenomena kecil yang tumbuh diam-diam. Semacam passive protest tapi memalukan.

> Bahkan antrian tiket bioskop mulai tertib.

Bahkan yang nyalip antrean di Pom Bensin mulai minggir.

Bahkan... tukang parkir liar mulai sopan.

---

Akar yang Dalam

Hari-hari berikutnya, Joko mulai ngajarin murid-muridnya satu hal:

> “Kalau kalian liat orang ngelanggar aturan, jangan marah, jangan ribut. Tatap aja. Dengan sopan. Tapi konsisten.”

Dan dari sanalah… benih kecil yang disebut orang nanti sebagai “Gerakan Bully Demi Kebaikan” mulai tumbuh.

Belum viral. Belum besar. Tapi diam-diam mengakar.

Joko tidak tahu, bahwa sesuatu yang ia anggap iseng dan mendidik ini… suatu hari akan membunuh orang yang ia sayangi.

Dan hampir membunuh dirinya juga.

Download NovelToon APP on App Store and Google Play

novel PDF download
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play