Bab 4: Bambang Maulana , Tatapan Terakhir yang Salah Sasaran
Bambang Maulana , Tatapan Terakhir yang Salah Sasaran
Bambang Maulana adalah sosok biasa. Karyawan pabrik konveksi, naik angkot setiap hari, dan selalu bawa bekal nasi telur dadar dari rumah. Tapi hidupnya berubah 180 derajat… hanya karena satu tatapan.
---
Pagi Sial Dimulai dari Paha
Hari itu Bambang naik angkot Suzuki Carry biru tua jurusan Kembang–Semangka Indah.
Penumpang cuma empat orang. Bambang duduk pojok kiri.
Lalu naik seorang pria gondrong , jaket jeans belel, duduk persis di sebelahnya—padahal bangku lain kosong.
Bambang langsung curiga.
Benar saja, tangan si gondrong mulai meraba paha kirinya perlahan-lahan.
> “Woy, ngapain lu?!”
Bambang bentak sambil geser badan.
Dua penumpang lain melirik.
Si gondrong cengengesan. Wajahnya merah.
Bambang buru-buru ambil HP. Jepret. Cekrek!
Foto si gondrong masuk galeri. Bukan buat dilaporin… cuma buat jaga-jaga.
> “Jangan main-main sama orang yang tiap hari naik angkot, Bro,” gumam Bambang sambil turun.
---
Balas Dendam ala Pencopet Gagal
Si gondrong ternyata sakit hati.
Dia bukan copet amatir. Tapi hari itu, dia ketauan sebelum sempat ambil apa pun.
Foto dirinya kemungkinan sudah tersebar. Bisa jadi viral.
Dia kepikiran semalaman. Lalu muncul ide: fitnah.
---
Hari Berikutnya: Fitnah Terencana
Pagi berikutnya, Bambang turun di halte biasa.
Tanpa sadar, si gondrong mengikutinya dari jauh.
Pas Bambang jalan santai menuju kantor pabrik,
Si gondrong sengaja nyenggol keras dari belakang, lalu… masukin dompet sendiri ke kantong celana Bambang.
> “Maling! Maling!”
teriak si gondrong sambil nunjuk Bambang.
Orang-orang langsung mengepung.
“Apaan, Bang?! Gak salah lu?!”
“Dompet gue ada di kantong dia! Coba geledah aja!”
Warga kampung yang emosi langsung rame-rame buka tas Bambang, saku belakang Bambang.
Dan benar saja… dompet dengan KTP si gondrong ada di situ.
> “Lihat tuh! Nama gue ada!”
Si gondrong teriak, meyakinkan.
Bambang bingung. Panik.
> “Lu... lu yang kemarin... nyopet gua di angkot!”
“Ngaco! Lu fitnah gua balik ya?!”
Tapi suara Bambang tenggelam di tengah amarah warga.
> Hari itu, massa datang lebih cepat dari logika.
Bambang Maulana sempat teriak minta penjelasan. Tapi yang dijawab justru pukulan.
Dan dalam hitungan menit, tubuh itu diam.
Belakangan baru terbukti: video yang menuduhnya rekayasa. Tapi penyesalan tak bisa menghidupkan orang.
Raka masih ingat, tatapan terakhir itu... bukan marah. Tapi kecewa.
Seolah berkata:
“Kalian bahkan nggak mau dengar aku dulu, ya?”
Ada yang ngerekam. Ada yang nonton. Tapi tak ada yang menyelamatkan.
Dan dunia pun percaya… Bambang copet.
Padahal, dialah korban.
Korban dari tatapan benar yang diarahkan ke orang yang salah.
---
Setelah Itu
Si gondrong kabur.
Bawa nama baik.
Bawa kebohongan.
Dan... membawa hidup Bambang.
Gerakan tatapan belum viral. Tapi satu hal jelas:
Kalau kebenaran disalahgunakan oleh orang jahat, hasilnya bisa lebih mengerikan dari kebohongan itu sendiri.
—
Arif Setiawan , Malaikat yang Dijebak
"Presiden itu bukan Tuhan," gumam Arif Setiawan.
"Dan kita bukan robot," kata asistennya.
"Betul. Tapi sekarang... semua orang dituntut sempurna. Padahal perfeksionis itu bikin kita sengsara. Gue capek ngeliat orang ngelakuin semua demi terlihat sempurna."
"Terus solusinya, Pak?"
"Jadi biasa aja. Tapi bener.”
Arif Setiawan bukan sembarang orang.
Dia Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Gulali. Orangnya lurus, kaku, dan gak bisa diajak ketawa sama sekali. Kalau ada menteri korupsi Rp2 miliar, Arif bisa marah kayak habis diselingkuhin pas akad nikah.
Tapi justru karena kelurusannya itulah, dia dibenci banyak orang… terutama orang-orang yang bajunya putih tapi hatinya hitam legam kayak knalpot truk solar.
---
“Tatapan Sosial” Jadi “Senjata Politik”
Awalnya, Gerakan Tatapan Sosial cuma gerakan edukatif. Hanya menatap pelanggar aturan dengan tajam.
Tapi sejak Presiden Bagas Prawira dan anaknya, Riko Prawira , menjadikan gerakan ini bagian dari kampanye nasional, semuanya berubah.
TV nasional bikin program:
> ️ “TATAP ATAU HANCUR!”
“Bersama kita tatap para pengkhianat bangsa!”
Ada billboard raksasa di jalan tol:
> ️ “Koruptor Takut Tatapan Kita!”
Joko Wiryawan, yang dulu cuma guru SD dengan tatapan maut, jadi seleb Facebook dan influencer dadakan.
Tapi Joko tahu... semuanya mulai salah arah.
---
Target Berikutnya: Gunawan Saleh
Gunawan Saleh, mantan Menteri Keuangan, terkenal licin kayak belut disabunin.
Hartanya triliunan. Rumahnya lebih gede dari hotel bintang lima. Tapi begitu Arif Setiawan mulai menyelidiki proyek fiktif pembangunan jalan tol tembus ke antariksa, Gunawan panik.
"Orang ini nggak bisa disogok," kata Gunawan ke anak buahnya.
> Maka dimulailah misi jahat: Hancurkan Arif.
---
Settingan Skandal
Dari pesan WhatsApp palsu, potongan video editan, sampe akun Telegram yang katanya milik Arif Setiawan , semuanya disusun rapih.
Kontennya? Mesum.
Ada kalimat, “Malam ini kamu pakai baju warna merah ya... biar cocok sama dosa-dosa kita.”
Padahal Arif bahkan gak pernah download Telegram.
Besoknya, #ArifMesum trending di Twitter.
Akun-akun buzzer mulai nyebar foto editan.
Grup WA emak-emak ramai:
“Wah, pantesan dia sok bersih. Ternyata… ”
---
Racun & Penjara
Belum cukup dengan fitnah, malam itu juga, saat Arif pulang dari masjid, dia minum teh dari botol yang udah dicampur racun.
Dia koma dua hari.
Pas bangun, bukannya dirawat... langsung dijemput polisi.
> Tuduhan: Skandal moral, gratifikasi, dan pencemaran nama baik pemerintah.
Arif Setiawan , pejuang keadilan, dipenjara di sel khusus, satu sel dengan tikus dan kamar mandi yang baunya kayak got pecah.
---
Anaknya Dibully
Putra Arif, umur 12 tahun, tadinya ranking satu di sekolah, sekarang homeschool.
> Meja sekolahnya dicoret-coret: “Anak mesum!” “Sok adil, padahal bejat!”
Teman-temannya unfollow. Gurunya ketakutan. Bahkan guru olahraga pun bilang:
“Main bola aja gak usah deket-deket, ya…”
Anak itu diam.
Tapi setiap malam, dia nangis sambil peluk bantal.
---
Tiket ke Surga
Hari ke-9 di rumah sakit (karena racunnya kambuh), Arif Setiawan berwudhu, lalu pergi ke musholla kecil dekat rumah.
Dia sholat Subuh berjamaah.
Waktu sujud terakhir, seorang fanatik buta pendukung Presiden Bagas Prawira menyelinap dari belakang...
> Ckrek.
Pisau dapur menembus punggung Arif.
Arif sempat berbalik. Matanya bening. Bibirnya bergerak, seolah berkata, “Aku maafkan
Raka Maulana , murid kelas 5 SDN 07 Republik Gulali, bukan anak biasa. Kakaknya, Bambang, dibakar hidup-hidup karena difitnah copet oleh pencopet sungguhan. Dan Raka tahu betul siapa pelakunya.
Sejak itu, Raka berubah.
Nggak lagi suka gambar Naruto. Nggak lagi beli es mambo dua warna.
Setiap malam, dia nulis di buku diary yang disembunyikan di bawah kasur:
> “Keadilan bukan datang dari malaikat. Tapi dari keberanian.”
---
Rencana Pipis Berdarah
Raka cari info:
Nama pencopet itu Wawan Gembel. Tukang ojek pangkalan depan Alfamart Semangka Indah. Punya tato naga kecil di lengan kanan. Motor Beat hitam, pelek bengkok, suara knalpot kayak suara kentut ditahan.
Raka minta bantuan Pak Joko Wiryawan.
> “Pak… saya mau ketemu orang yang bikin kakak saya mati.”
Joko diam cukup lama buat bikin lalat berhenti terbang.
> “Kamu mau bunuh dia, Raka?”
> “Nggak, Pak… saya cuma mau pipis dulu. Habis itu… ya liat nanti.”
---
Operasi Pipis (Lanjutan)
Hari Sabtu pagi. Raka pakai jaket gede, celana panjang, dan topi hitam nutupin mata.
Dia naik ojek. Sopirnya? Si gondrong itu sendiri.
“Ke pemakaman Kamboja ya, Bang,” kata Raka pelan.
Begitu sampai dekat batu nisan tua, Raka minta berhenti.
> “Bang, saya mau pipis bentar. Di balik pohon situ.”
Begitu motor berhenti...
BRAK!
Joko Wiryawan muncul dari balik pohon beringin, nyeret tali rafia dan wajah kayak habis ngoreksi 40 buku tugas yang sama semua.
Mereka seret si gondrong ke tanah.
Diikat. Jongkok.
Nafasnya ngap-ngapan.
Raka berdiri. Buka resleting celana.
Lalu pipis ke muka pencopet.
> “INI BUAT KAKAK GUE, GOBLOK!”
---
Pisau & Darah yang Nyaris Tumpah
Pencopet ngedumel. Tapi mukanya merah kayak tomat rebus.
> “Anak kecil sialan…!”
Raka langsung keluarin pisau dapur.
Besi tipis, pegangan plastik merah, masih ada bekas stiker harga Rp6.000.
> “Lu kira cukup cuma dikencingin?! Kakak gue tewas, elo fitnah, Bro! Hah?!”
Dia arahkan pisau ke leher si pencopet. Tangannya gemetar.
Mata berkaca. Tapi gak goyah.
> “Kalo sekarang gue iris leher lu, adil nggak?”
Pencopet mulai nangis.
Lalu… mengencingi dirinya sendiri.
Beneran. Celananya basah kuyup.
Bau pesing campur ketakutan.
---
Kalimat Penyelamat
Joko Wiryawan pelan-pelan maju.
> “Raka.”
Raka nggak noleh.
> “Jangan Pak, saya cuma butuh satu tusukan doang!”
Joko taruh tangan di bahu Raka.
> “Balas dendam terbaik… adalah memaafkan.”
Raka nangis. Pisau jatuh ke tanah.
Dia terduduk. Pundaknya naik turun. Air matanya jatuh campur debu.
> “Pak... saya benci banget. Saya benci banget...”
Joko peluk dia dari samping.
> “Saya ngerti, Raka. Tapi jangan jadi orang yang sama kayak mereka.”
---
Penutup Hari Itu
Joko buka ikatan si pencopet.
> “Pergi. Tapi ingat… hari ini kamu diselamatkan oleh anak kecil yang hidupnya lu hancurin.”
Si pencopet kabur sambil gemeter. Celananya masih basah. Langkahnya kayak kambing habis disemprot selang.
Raka berdiri. Bersihin tangannya. Lalu berkata:
> “Gue belum bisa maafin lu. Tapi gue juga gak mau jadi pembunuh kayak lu.”
---
Status Malam Itu
Raka pinjam HP ayahnya.
Update status Facebook:
> “Hari ini gue menang. Bukan karena gue nyakitin orang. Tapi karena gue masih bisa nahan pisau.”
Komentar netizen:
> “Lu nonton anime apaan sih?” “Keren, dek.” “Lu anak siapa, sih?”
Raka nggak jawab.
Dia tahu, Kak Bambang pasti lihat.
Dan Bambang… pasti senyum.
---
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 49 Episodes
Comments