"Umi nggak mau ikut sarapan bersama Na, Abi dan Uni Puti?" giliran ku yang membujuk, setelah Abi gagal.
Umi masih menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, tak ada tanda-tanda akan menanggapi pertanyaanku.
"Mi," aku duduk di sebelah tempat tidur Umi. Lalu menyenderkan badan ke tubuh Umi. "Na lapar." ucapku pelan. "Umi tega melihat Na kelaparan, padahal yang membuat Umi kesal Uda Rizal. Itu namanya nggak adil, Mi." rengekku.
"Kalau lapar, makan Na!" jawab Umi dari balik selimut.
"Bagaimana Na bisa makan kalau Umi juga belum makan. Itu namanya Na nggak punya perasaan. Na kan sayang sekali sama Umi. Na nggak sanggup kenyang sementara Umi masih kelaparan. Jadi, Na nggak akan makan kalau Umi nggak makan juga. Kemungkinan Abi juga begitu. Berarti kita sama-sama lapar. Na sih akan sabar menanti, Abi juga begitu. Meski tadi Abi baru pingsan."
"Astagfirullah. Zalina? Kenapa sih kamu membuat Umi jadi merasa bersalah begini?" Umi membuka selimut yang menutupinya. Sementara aku terkekeh, meski Umi masih cemberut.
"Kalau begitu ayo kita sarapan?"
"Tapi Na, kamu jangan seperti Udamu nanti ya."
"Seperti apa, Mi?"
"Umi minta, kamu jangan berubah meski sudah menikah nanti. Jangan buat hati Umi sakit seperti yang dilakukan Udamu. Umi kecewa, Na. Bayangkan saja, Umi ibunya. Kamu tahu kan bagaimana Umi sangat menyayangi anak-anak Umi. Tapi Rizal malah membalas Umi seperti ini." seketika wajah Umi berubah mendung. Perempuan yang melahirkanku itu menundukkan kepalanya. "Umi kecewa, Na."
"Umi sabar ya. Doakan yang baik untuk Uda Rizal dan kak Tasya."
"Entah kenapa, Umi rasa sudah mustahil Na. Rizal seperti mengikuti semua kehendak Tasya. Kalau kata teman-teman Umi, ia seperti kena guna-guna."
"Astagfirullah, Umi."
"Umi juga merasa seperti itu, Na. Kamu bandingkan saja sikap Rizal sebelum dekat dengan Tasya dan sesudah mereka dekat. Duku, mana pernah Udamu membantah kata-kata Umi. Ia selalu patuh sama Umi. Uni bilang apa ia pasti nurut.
Soal keuangan juga begitu. Udamu tipe yang hemat. Sungkan juga minta-minta sama Umi dan Abi. Tapi setelah nikah, tiap pekan dia minta uang terus sama Abi dengan berbagai alasan. Bahkan berani menjual mobil dan rumah yang dihadiahkan Abimu.
Tasya sudah membawa pengaruh buruk. Umi khawatir semakin kehilangan Udamu, Na. Umi benar-benar kepikiran."
"Kita doakan saja, Mi. Allah yang Maha membolak-balik hati manusia. Jika Allah menghendaki, InsyaAllah hal serumit apapun bisa terjadi."
"Ya Na. Satu hal lagi, Umi mau kamu janji, Na. Jangan menikah dengan orang yang tidak Umi restui. Umi takut kehilangan kamu juga, Na."
"Umi tenang saja. Na akan menikah dengan lelaki yang Umi kenal dan senangi."
"Nak Sharim?"
"Iihhh Umi, kenapa larinya ke sana. Baru juga kenal. Emang Umi yakin ia orang yang baik. Umi tahu tidak, Sharim itu sekolah di Jakarta. Orang tuanya juga tinggal di sana. Bisa juga pemikirannya lebih dari kak Tasya."
"Nggak. Kalau nak Sharim, Umi sangat yakin ia orang baik. Pertama berbincang saja ia sudah menunjukkan sopan santun. Belum pernah Umi melihat ada pemuda sepertinya."
"Oh ya? Sepertinya Umi melupakan seseorang yang tak kalah sering Umi puji."
"Siapa?"
"Tetangga kita."
"Siapa?" Umi mengerutkan keningnya. "Oh Riki?"
"Hmm,"
"Iya juga sih." Umi tersenyum.
"Udah ah, kita jangan bahas anak laki-laki orang. Na kan malu, Mi. Yuk sarapan saja!" aku membimbing tangan Umi.
Melihatku bersama Umi, Abi yang menunggu di meja makan langsung tersenyum sumringah.
"Alhamdulillah, akhirnya kita bisa sarapan juga. Abi juga senang, akhirnya belahan jiwa Abi nggak ngambek lagi." seloroh Abi.
"Abi memberi Rizal uang lagi?" tanya Umi, setelah duduk di meja makan dan menyendok nasi ke piring Abi.
"Hmm," jawab Abi singkat. Tak ingin membuat suasana kembali tidak enak. Makanya Abi fokus menyendok makanan ke mulutnya.
"Sampai kapan Abi akan memenuhi semua keinginan Rizal? Umi nggak suka, Bi. Perempuan itu yang mengajari Rizal. Lagipula itu namanya membebani orang tua. Kan sudah dikatakan untuk menyelesaikan kuliah dulu, cari kerjaan yang benar-benar. Malah nekat nikah sebelum lulus hibgga akhirnya di DO." Umi mengeluarkan kekesalannya.
"Sudahlah, Mi. Tidak ada salahnya kita membantu anak sendiri. Orang lain saja kita tolong, masa dengan anak perhitungan?"
"Bi, kita kan sudah sama-sama sepakat. Nggak akan perhitungan menolong siapapun yang membutuhkan, asalkan mereka juga berusaha. Tapi Rizal? Selama ini uang yang kita beri padanya dipakai Tasya untuk foya-foya. Bagaimana Umi bisa santai? Umi hanya takut jika kita memanjakan mereka dengan terus menerus memberikan kucuran dana, yang ada mereka tambah manja. Lagipula tidak selamanya kita bisa memberikan mereka. Bagaimana jika suatu hari kita tidak bisa memberikan apa-apa?"
"Mi, Abi ngerti. Kedepannya Abi akan berusaha agar Rizal dan Tasya berubah. Tapi yang sekarang kita maklumi saja ya." Pinta Abi.
***
Aku, Abi dan Umi duduk di ruang tamu. Aku sibuk membolak-balik koran. Sementara Abi dan Umi masih membahas masalah uang yang diminta oleh Uda Rizal. Sesekali kudengar Umi mengeluhkan tentang keuangan toko bangunan milik Abi yang mengalami penurunan. Mungkin karena Abi sering mengambil kas untuk keperluan Uda Rizal.
"Makanya, besok-besok jangan dikasih lagi, Bi. Biar mereka belajar bagaimana mengolah keuangan." ungkap Umi. "Sekarang pakai tabungan Umi saja. Jangan ambil dana dari toko lagi. Bisa-bisa kas minus." tambah Umi.
"Tapi itu kan untuk biaya umroh kita akhir tahun ini." kata Abi.
"Sudah, pakai saja. Nanti untuk umrah kita nabung lagi." ucap Umi.
Tak lama, Uni Puti lewat. Ia membawa mangkok besar yang aromanya begitu wangi.
"Apa itu, Ni?" tanyaku.
"Sup untuk bibi Hana." jawabnya.
"Oh, kalau begitu biar Na saja yang mengantar Ni." aku bergegas bangkit, mengambil mangkok besar di tangan Uni Puti.
"Oh ya Bi, Riki kapan pulang?" tanya Umi pada Abi.
"Ahad depan, Mi. Abi sampai lupa, Uni Hana meminta bantuan kita menjemput anaknya. Nanti Abi minta tolong di Arifin saja ya." jawab Abi.
"Tidak terasa ya, Bi. Akhirnya Riki selesai juga kuliahnya. Padahal selama ini hidupnya pas-pasan. Umi bangga pada anak itu. Kalau ia berhasil jadi pegawai, pasti Uni Hana bangga sekali padanya. Sayangnya, Rizal nggak menyelesaikan kuliahnya." keluh Umi.
"Jangan begitu Mi. Setiap orang punya jalan suksesnya masing-masing. Kita juga punya Zalina. Sebentar lagi ia wisuda. Iya kan Na?" Abi beralih padaku. Aku tak menjawab, hanya tersenyum sembari berlalu sebab pipiku terasa memerah, mendengar nama Uda Riki.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
🌹Dina Yomaliana🌹
hmmm bahas bahas Uda Riki malah Zalina yang malu malu meong😂😂😂😂 Sebagai suami seharusnya Rizal juga bisa mengajari istrinya ngak nurut aja sama apa permintaan istri😌😌😌😌 duh pelik kalau rumah tangga udah ikut campur orang tua gini🙄🙄 apalagi istrinya yang kayak gitu😬😬
2021-04-20
0
🌹Dina Yomaliana🌹
wajar sih kalau Umi berpikir Rizal diguna guna sama Tasya karna di adat minang emng masih kental ilmu itu😌😌😌😌 hmmmmm suka banget aku sama ceritanya❤️❤️❤️❤️
2021-04-20
0