"Uda ... Kak Tasya?" panggilku.
Saudara laki-lakiku satu-satunya itu berdiri mematung di depan pintu bersama istrinya. Raut wajah mereka tampak masam, seolah ingin berperang dengan siapapun yang ada di hadapannya.
"Kapan Uda dan Kakak datang? Kok tiba-tiba muncul? Suara mobilnya juga tidak kedengaran?" aku mencoba melongok ke jendela, melihat ke sekeliling halaman rumah yang cukup luas dan asri. Tapi tak tampak mobil Honda jazz milik Uda Rizal terparkir di sana.
"Kamu dengar sendiri kan, Zal. Bagaimana ibu kamu membicarakan aku di belakang? Itu baru sedikit yang kita dengar. Entah kata-kata keji apalagi yang ia lontarkan saat tak ada aku di sini!" ungkap kak Tasya dengan suara cukup keras.
"Rizal, Tasya. Kalian datang?" Abi yang sejak tadi sudah masuk ke kamar keluar karena mendengar suara kak Tasya yang cukup keras, menyambut kedatangan putra dan menantunya. "Kenapa berdiri di situ. Seperti orang asing saja. Ayo masuk-masuk!" panggil Abi.
"Ya, kami ini memang orang asing!" ungkap kak Tasya dengan judesnya. Aku yang mendengar langsung meradang, sangat tidak sopan sekali, tapi aku pilih diam, agar tak menambah panas suasana.
"Bicara apa Sya. Kamu itu menantu di rumah ini." Abi berusaha mengajak masuk. "Ayolah masuk, nak."
"Menantu? Menantu seperti apa yang selalu dimusuhi ibu mertuanya? Menantu yang selalu dibicarakan tentang keburukannya dan entah hal jahat apa lagi." Kak Tasya masih meradang.
"Zal, sudah. Ayo bawa Tasya masuk ke dalam. Kita bicarakan baik-baik." ajak Abi lagi sambil mengambil lengan Uda Rizal.
"Zal, aku nggak mau masuk ke rumah ini lagi. Kalau kamu mau di sini, terserah. Aku pulang duluan!" Kak Tasya bersiap beranjak meninggalkan rumah kami.
"Sya, tunggu sebentar." Uda Rizal berusaha menahan Kak Tasya.
"Aku nggak mau, Zal. Keluarga kamu nggak pernah menerima aku. Sudah cukup. Sakit sekali rasanya." Kak Tasya menepis lengan Uda Rizal.
"Ya, kita pulang sama-sama. Aku hanya ingin bicara sebentar. Menyampaikan apa yang jadi tujuan kita." bujuk Uda Rizal.
"Kalau begitu aku tunggu di depan saja." Kak Tasya masih kekeh dengan keinginannya.
"Ya sudah. Tapi jangan kemana-mana. Aku akan menyusul!" Uda Rizal melepas pegangannya dari kak Tasya sehingga istrinya itu bisa pergi.
"Kenapa dibiarkan pergi Zal? Harusnya diminta masuk dulu. Kita bicarakan semuanya baik-baik. Bukan berlalu membawa kesalah pahaman." ujar Abi, sambil menatap kecewa. "Nanti malah memicu kesalah pahaman baru."
"Tidak perlu lagi ada penjelasan, Bi. Toh Umi memang berharapnya seperti ini. Makanya Umi terus memancing kemarahan Tasya." kata Uda Rizal, ia melirik Umi yang masih bertahan diam mematung di sampingku.
"Astagfirullah, Uda ini bicara apa sih? Umi nggak seperti itu. Tadi hanya kesalah pahaman saja." aku mencoba menengahi.
"Sudahlah Na, jangan lagi mencoba menengahi jika Umi masih keras hatinya. Selalu memandang buruk Tasya. Padahal ia mau berubah." kata Uda Rizal.
"Berubah? Berubah apa, Zal? Lihat saja, sudah enam tahun kamu menikah dengannya, tidak juga dia mengindahkan kata-kata Umi. Padahal cuma disuruh jaga pergaulan dan berpakaian sopan. Umi segan, Zal. Dengan tetangga dan saudara-saudara kita di kampung ini yang memandang risih pada istrimu.
Lagipula apa yang Umi mintakan demi kebaikan kamu juga. Ia tanggung jawab kamu, Zal. Kalau masih seperti itu, kamu juga ikut kecipratan dosanya. Paham nggak?" jelas Umi dengan kesal.
"Mi, berubah juga butuh waktu. Umi nggak tahu, tiga hari lalu Tasya sudah menangis minta maaf. Ia berjanji tak akan mengulang kesalahannya. Bahkan ia siap jika harus merubah penampilan dan memberikan cucu seperti yang Umi mau. Hanya saja kami butuh waktu." Uda Rizal tak kalah keras. "Kini, Rizal mau terus terang pada Abi dan Umi. Kami akan menjalani program untuk segera memiliki momongan. Tapi semuanya butuh biaya yang besar. Risal sudah menjual mobil yang Abi belikan karena pendapatan Rizal tidak mencukupi. Jadi, apa Abi mau membantu."
"Astagfirullah, sudah Umi duga. Kamu datang hanya karena ada maunya saja. Benar-benar sudah dicuci otakmu Zal. Kamu anak laki-laki Umi satu-satunya, tapi sekarang sudah seperti orang asing. Umi benar-benar nggak habis pikir, Zal!" Umi tampak kecewa, makanya ia memutuskan masuk ke kamar.
"Berapa uang yang kamu butuhkan, Zal?" tanya Abi, dengan suara pelan.
"Tiga ratus juta, Bi." kata Uda Rizal.
"Hmm, baiklah. Beri Abi waktu sepekan ya. Akan Abi transfer ke rekening kamu, sekalian dengan dana untuk membeli kendaraan baru ganti mobil yang kamu jual."
"Alhamdulillah, terimakasih Bi." Uda Rizal memeluk Abi.
Pemandangan itu sebenarnya begitu indah. Tapi jadi terasa menyesakkan di hatiku.
Usai mendapatkan apa yang ia inginkan, Uda Rizal cepat berlalu. Bahkan tak pamit pada Umi yang masih meradang akibat perkataannya.
Entahlah. Semua jadi kacau balau setelah Uda Rizal memaksakan menikah dengan kak Tasya. Bahkan ia menikah sebelum menyelesaikan kuliahnya. Sekarang Uda Rizal hanya bekerja serabutan, tentu dengan penghasilan yang tak besar, makanya sering bolak-balik ke rumah meminta tambahan dana dari Abi.
Memang benar Umi tidak menyukai Kak Tasya. Tapi menurutku penyebabnya masuk akal. Semua orang di kampung ini tahu siapa kak Tasya karena perangainya yang cukup bebas. Ia pernah jadi biduan yang suka menerima saweran karena tariannya yang menggoda. Pernah juga kami mendengar gosip jika ia sudah pernah hamil di luar nikah saat masih SMA. Tapi kami mengabaikan gosip tersebut sebab tak ingin berprasangka.
Awalnya Umi sempat luluh. Berusaha menerima karena Uda Rizal tak bisa dibujuk lagi. Tapi Umi mengajukan persyaratan agar setelah menikah, mereka tinggal di rumah gadang agar Kak Tasya bisa belajar bersama Umi. Selain itu ia juga harus berhenti jadi biduan, memakai busana muslimah.
Tapi kak Tasya menolak semuanya. Bahkan ia terlihat jumawa, menantang semua yang Umi katakan hingga emosi Umi kembali terpancing.
"Uda!" aku mengejar langkah Uda Rizal yang masih berada di halaman rumah kami.
"Kenapa Na?" tanyanya.
"Minta maaflah pada Umi."
"Kenapa?"
"Tidak sopan seperti itu pada perempuan yang sudah melahirkan kita."
"Na, adillah. Umi yang cari perkara."
"Astagfirullah. Umi bicara kenyataan."
"Kenyataan apa, Na? Lagipula meski kenyataan, tak pantas Umi bicara seperti itu tentang menantunya."
"Tapi apa menantunya juga mau meluruskan kesalahpahaman itu? Enggak kan? Cinta sih cinta, tapi berpikir rasional juga dong. Jangan sampai nanti Uda menyesal. Ingat Da, anak laki-laki, meski sudah menikah harus tetap mendahulukan ibunya, beda dengan perempuan!" kataku, sambil berlalu meninggalkannya.
"Na ... Zalina!" Uda Rizal memanggil, tapi kuabaikan. Terus masuk ke dalam rumah. Biarkan ia berpikir, bahwa ia sudah sangat keterlaluan pada Umi. Aku ingin Uda Rizal jadi santun kembali seperti Udaku yang dahulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
🌹Dina Yomaliana🌹
Zalina bener banget, anak laki-laki walaupun udah nikah tanggung jawab sama ibunya tetap ada dan seharusnya Tasya kalau memang mau berubah juga harus hadir dan ada saat Rizal dan dirinya sendiri butuh dana buat program hamil🥺🥺🥺🥺 kalau kayak gitu terus kesannya Tasya malah memanfaatkan Rizal karna ortunya orang kaya😌😌😌😌😌
2021-04-20
0
🌹Dina Yomaliana🌹
duh 🙄🙄🙄 gimana ya? mau komen part ini tapi takut salah ngomong😌😌😌 seharusnya Rizal bisa mengajari istrinya kalau memang ingin berubah, tapi kalau ngak keliatan progress nya, ya wajar sih Umi malah makin kesel dan segan😁😁😁 ya namanya tinggal di desa, omongan orang itu lebih dijadikan pedoman kurang lebih😌😌😌
Dan untuk Umi, seharusnya Umi tidak terlalu ikut campur dengan rumah tangga putranya🙄🙄🙄 duh kalau rumah tangga kalau udah ikut campur mertua, udah deh😁😁😁😁 bakal selesai wkwkwkwk😂😂😂
maaf ya thor aku malah meracau😂😂😂😂 soalnya aku minang asli dan tau gimana rasa nya jadi Umi, Tasya maupun Rizal karna banyak pelajaran dari lingkungan sekitar😁😂 tapi ceritanya bagus banget, banyak pelajaran disini yg ngak banyak orang tau tentang budaya minang😚😚😚😚😚😚😚
2021-04-20
0
🌷 ‘only_@g’🌷
Salken thorrrr 👋 Simple That Perfects hadir dengan like 👍 Feedback ya thorrr 🙏😊
2021-04-19
0