Aku masih tak bicara sepatah katapun. Hanya diam. Mengingat tentangnya. Murid berprestasi, kebanggaan guru-guru. Kata temab-temanku, ia anak yang menyenangkan. Tapi tidak bagiku. Aku ingat betul, ia adalah anak yang melarang ku memukul anak laki-laki nakal yang mengejek Uni Puti. Gara-gara dia, anak laki-laki yang sudah berhasil aku cengkram itu akhirnya lepas dan melarikan diri.
Katanya, tak pantas anak perempuan itu berkelahi. Harusnya anak perempuan menjaga sikap. Tidak bertingkah pecicilan. Bukankah begitu seharusnya gadis Minang itu?
Ahhh, tahu apa ia tentang gadis Minang? Ia sendiri kan bukan orang Minang asli. Hanya ayahnya yang berdarah Minang, sementara ibunya bukan. Setahuku, dari gosip yang beredar di kalangan teman-teman perempuan, ia juga tinggal di sini bersama neneknya. Sementara ayah dan ibunya di Jakarta.
Kini aku tahu, rupanya ia kuliah di universitas yang ada di Jakarta, mengambil jurusan kedokteran seperti kedua orang tuanya. Pantas saja tidak pernah kudengar lagi cerita tentangnya dari mulut teman-teman saat kami reunian.
"Halah, sudah mau wisuda, berarti sebentar lagi jadi sarjana kedokteran. Koas dua tahun, maka resmi jadi dokter." kata Abi lagi.
"Oalah, jadi ini dokter? MasyaAllah, sudahlah tampan, calon dokter pula. Senang sekali kami dibantu oleh nak siapa?" Umi seperti terkesima padanya.
"Sharim Bu." jawabnya.
"Ya, nak Sharim. Terimakasih banyak ya sudah membantu suami saya." kata Umi.
"Nak Sharim ini teman satu sekolahnya Zalina, Mi." kata Abi lagi.
"Oh ya? Kok Umi nggak tahu. Iya kah Na?" Umi melirik ke arahku. Aku hanya menjawab dengan anggukan. "Tunggu-tunggu. Jangan-jangan nak Sharim ini anaknya dokter Adam, ya? Cucunya Nek Maryam?"
"Benar sekali, Bu." jawab Sharim. Ia tersenyum.
"MasyaAllah ... dunia ini sempit ternyata. Dari dulu saya sangat mengagumi keluarga Nek Maryam, ternyata sekarang suami saya dibantu oleh cucu beliau. Tidak menyangka juga ternyata kalian satu sekolahan." Umi tampak menyesal baru mengetahui informasi ini sekarang. "Na, kenapa sih nggak pernah cerita sama Umi tentang nak Sharim?". Umi kembali mengeluh. "Oh ya, sekarang ayo mampir ke rumah dulu nak Sharim, kita cerita-cerita di rumah saja. Ya kan, Bi?" Umi melirik Abi.
"Ya ya ya benar. Ayo nah Sharim, singgah dululah ke rumah kami." Abi bangkit dibantu olehnya. Lalu beriringan menuju rumah kami, sementara aku hanya bengong mengikuti dari belakang.
***
Muhammad Sharim, menjadi tamu pertama di rumah kami pagi ini. Abi dan Umi menemaninya berbincang-bincang. Umi menyambut dengan begitu antusias, belum pernah aku melihatnya melakukan hal yang sama sebelum ini.
Cerita masih terdengar dari ruang tengah. Sementara aku memilih masuk ke kamar, ingin melanjutkan tidur sebab mata masih mengantuk. Tapi, baru saja meletakkan badan di atas tempat tidur, tiba-tiba Umi muncul.
"Na, sedang apa kamu? Kenapa malah mengurung diri di kamar?" tanya Umi, dengan suara berbisik.
"Na ngantuk mi, semalam nggak tidur karena ...." belum sempat aku menyelesaikan kata-kata, Umi sudah memotong.
"Ya ampun Zalina. Di kuar sana ada tamu kamu malah mau tidur? Temui dululah. Nak Sharim itu sudah menolong Abi. Lagian dia kan teman satu sekolah kamu!" suara Umi sempat meninggi. "Jangan bikin malu Umi dan Abi, Na. Ayolah!" Umi langsung mengambil pakaian di lemari, memaksaku segera berganti pakaian dan keluar.
"Umi, baju apa ini? Kenapa harus pakai baju sebagus ini?"
"Sudah, jangan banyak protes. Cepat pakai baju, lalu keluarlah! Ingat, jangan lama-lama Zalina, nggak enak sama nak Sharim."
"Ya Umi."
***
"Na, bicaralah." bisik Umi padaku, setelah kami berempat duduk di ruang tamu. Umi tampak geram sebab aku masih menutup mulut, tak ada sepatah katapun yang keluar, hanya diam, acuh tak acuh sebab aku memang tak terlalu suka berbincang dengannya. Aku tak mengenal Sharim sama sekali. Hanya tahu dan punya sedikit kenangan buruk. "Dulu, apa kalian berteman dekat?" tanya Umi, memancing pembicaraan.
"Nggak. Kayaknya Sharim lebih kenal Uni Puti. Iya, kan?" aku meliriknya sekilas, berharap ia memberikan jawaban agar aku bisa bebas dari sini.
Ya, dengan Uni Puti, Sharim pernah satu tim untuk ikut olimpiade matematika. Dekat atau tidak, yang jelas pasti mereka pernah berinteraksi.
"Oh ya, Puti? Bagaimana kabarnya sekarang?" tanya Sharim, antusias.
"Ada di belakang. Sebentar aku panggilkan." kataku dengan riang. Tanpa peduli tatapan kesal Umi.
Entah ini benar atau hanya perasaanku saja. Aku melihat gelagat Umi yang ingin mendekatkan aku dengan Sharim. Tapi aku tidak berkenan sebab sudah ada satu nama di hatiku. Lelaki yang sudah mengisi relung hati saat usiaku masih belia.
Tak berapa lama, aku kembali bersama Uni Puti. Seperti dugaanku, mereka cukup akrab. Berbincang tentang kenangan saat mereka mengikuti olimpiade. Abi menimpali sesekali, sementara Umi masih berharap ada sedikit saja cerita tentang kami, tapi sayangnya itu tak ada dan aku tidak mau mengada-ada agar akrab dengannya, seperti teman-teman putri di sekolahku dulu.
***
Akhirnya Sharim pulang juga. Tapi aku belum bisa bernafas lega sebab begitu ia menghilang dari halaman rumah kami, tiba-tiba Umi langsung mencecarku. Sepertinya aku berada dalam satu masalah.
"Kamu itu kenapa sih, Na? Susah payah Umi memancing agar kalian bisa akrab, tapi sikapmu begitu dingin. Malah mengajak Puti ke sini." cerocos Umi, sembari mengimbangi langkahku.
"Tapi Na sama Sharim itu memang nggak dekat, Mi. Bahkan bisa dikatakan tidak saling kenal, mungkin dia juga nggak tahu kalau Na pernah satu sekolahan dengannya, mengingat dulu itu circle pertemanan Na sama Sharim tidak sama.
Tapi kalau dengan Uni Puti, Sharim itu pernah sama-sama ikut olimpiade. Iya, kan Ni?" aku mencoba mencari pembenaran dari Uni Puti.
"Ya, Na." jawab Uni Puti, sembari berjalan menuju dapur membawa nampan berisi gelas dan sisa makanan kecil yang tadi disajikan.
"Tuh, kan?" aku tersenyum lega.
"Tapi kan tetap saja harus sopan, Na. Setidaknya ajak bicara apa, kek. Masa kamu nggak punya bahan bicara apapun."
"Ya Allah, Mi. Kan tahu, Na paling nggak suka berbasa basi."
"Itulah makanya Umi khawatir dengan kamu. Siapapun lelaki yang datang ke rumah kita selalu kamu tolak mentah-mentah. Umi khawatir, Na. Siapa gerangan jodoh kamu kalau tidak pernah memberikan kesempatan pada orang lain.
Lagian Na, nak Sharim itu adalah tipe calon suami idaman. Sayang sekali Na jika kamu menolaknya. Kalian akan jadi pasangan yang serasi. Kamu cantik, Sharim tampan. MasyaAllah. Kalau itu terjadi, Umi akan sangat bahagia sekali Na."
Tuh kan, benar dugaanku. Umi hendak menjodohkan aku dengan Sharim. Aku hanya geleng-geleng kepala. Rasanya tidak mungkin sekali, aku hanya gadis biasa, tak secerdas gadis-gadis di sekelilingnya.
"Na, kamu coba dekat dengan nak Sharim ya. Umi minta. Umi benar-benar ingin punya menantu sepertinya. Umi sudah tidak sanggup punya menantu orang asing yang bertentangan dengan Umi. Kamu mau ya, Na?" Umi mengikuti langkahku dari belakang, tapi Umi terhenti sebab aku sudah berhenti lebih dahulu karena dua sosok yang tak asing bagiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
🌹Dina Yomaliana🌹
haduh si Umi kayaknya perlu dikasih teh panas dulu deh Na😂😂😂 maksudnya teh hangat🤭 maaf Mi😘😘😘
2021-04-20
0
🌹Dina Yomaliana🌹
oalah Umi udah ke sem sem duluan sama Sharim🤭🤭🤭 bakal beneran jadi rivalnya Uda Riki nih😂😂😂
2021-04-20
0
🌹Dina Yomaliana🌹
hahahaha gadis minang banyak juga yang bar-bar kok🤭🤭🤭🤭
2021-04-20
0