Selamat Membaca 👇
Pukul 02.00 dini hari. Bandara Internasional Jakarta. Eric Alaric Wiguna berjalan cepat menuju jet pribadinya. Ia mengenakan mantel panjang yang menyembunyikan pistol bahu yang ia bawa untuk perjalanan ini. Di belakangnya, Mini Chacha Pramesti kesulitan mengikuti, menyeret koper yang kebesaran—yang ternyata isinya sebagian besar adalah makanan instan dan bantal leher bebek.
"Percepat langkah Anda, Mini. Kita terbang ke Milan. Sekarang juga," perintah Eric tanpa menoleh.
"Iya, Pak Eric! Tapi koper ini berat sekali. Sepertinya Bibi Titi menyelipkan daster sepuluh tahunannya," keluh Mini, tersandung sedikit di karpet lounge VIP.
Tiba-tiba, seorang pria berjas hitam yang berdiri di sudut lounge terlihat gugup. Dia adalah salah satu mata-mata Klan Conti yang bertugas mengawasi keberangkatan Eric, memastikan tidak ada penyusup. Namun, saat Mini tersandung, koper beratnya terlepas dari genggaman dan meluncur kencang.
Mini secara refleks mencoba menangkap koper itu, tetapi ia hanya berhasil menahan gagangnya dengan gerakan aneh. Koper itu berputar kencang, dan lengan Mini yang kebetulan sedang memegang termos besar berisi bekal air jahe, terangkat liar!
BRUKK!
DUAK!
Termos itu menghantam tumpukan botol wine impor di rak display lounge VIP. Beberapa botol jatuh berderak, dan seorang pelayan berteriak kaget.
Pria berjas hitam yang mengawasi itu terkejut dan refleks menjatuhkan tablet komunikasi terenkripsi yang ia pegang. Ia buru-buru membungkuk untuk mengambilnya, secara tak sengaja menyenggol troli berisi koper dan tas jinjing milik penumpang lain yang baru datang. Troli itu bergeser, menghalangi pandangan pria itu.
"Mini, fokus!" Eric mendesis.
Mini, merasa bersalah, buru-buru membantu pelayan itu membereskan botol wine yang pecah. Pria berjas hitam tadi, yang kini sibuk mengamankan tabletnya yang jatuh, tidak bisa lagi fokus mengawasi Eric.
Eric memperhatikan keanehan itu. Mini tidak sengaja menciptakan kekacauan berskala kecil yang tersembunyi, dan seorang pria asing tampak panik karenanya. Valerius tidak akan menempatkan mata-mata yang begitu mudah panik hanya karena botol pecah, pikir Eric. Mata-mata itu jelas milik Conti, dan dia panik karena Eric sudah tahu bahwa dia sedang diawasi.
Di dalam jet pribadi, Eric duduk di kursi kulit mewah, sibuk menghubungi kontak rahasianya di Milan. Ia sedang mencari informasi tentang cincin bernama Seguro yang mungkin terkait dengan mitologi Klan Valerius.
Mini duduk di seberangnya, mengeluarkan sandwich bekal dari Bibi Titi. Mini melihat Eric yang tampak tegang.
"Pak Eric, Bapak tampak tegang sekali. Apakah Mafia musuh Bapak tahu kita ke Milan?" tanya Mini polos, menggigit sandwich besar-besarnya.
Eric menatap Mini dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Tentu saja mereka tahu. Mereka yang mengancam kita. Milan adalah wilayah netral, tapi setiap sudut bandara, kota, bahkan toko perhiasan, pasti ada mata mereka."
"Oh," Mini mengunyah perlahan. "Berarti kita harus lebih hati-hati. Jangan sampai mereka tahu kita ini siapa."
Eric mendengus. "Nona, aku Eric Alaric Wiguna, CEO Wiguna Group. Mustahil aku bisa bersembunyi."
Tiba-tiba, Mini mengeluarkan selembar kertas lusuh dari sakunya. Itu adalah doodle kasar yang ia gambar.
"Saya punya ide!" seru Mini bersemangat.
"Bapak kan CEO Mafia yang kejam dan keren. Bapak pura-pura saja jadi turis middle-age yang kaya raya, kaku, dan sedang bosan mengajak istrinya liburan. Saya akan berpura-pura jadi istri Bapak yang shopeholic dan cerewet."
Eric menatap Mini seolah Mini baru saja mengusulkan untuk menari balet di atas meja. "Itu ide paling konyol yang pernah kudengar. Itu tidak akan menipu mata-mata yang terlatih."
"Justru itu!" Mini menyeringai kecil, menyentuh satu-satunya keahlian yang ia miliki: sandiwara konyol.
"Mereka mencari Eric Alaric Wiguna, si Capo muda yang dingin. Mereka tidak mencari Pak Tua Eric yang dipaksa belanja sama istrinya. Kita ubah saja penampilan Bapak!"
Ketika mereka tiba di Milan menjelang sore hari, rencana konyol Mini mulai dilaksanakan.
Mini memakaikan Eric topi fedora tua dan kacamata hitam besar (yang dibawanya untuk drama musikal Bibi Titi). Ia juga memaksa Eric mengenakan sweater rajut maroon yang sama sekali tidak cocok dengan jas mahalnya.
"Jalan, Pak Eric! Jalan seperti Bapak kesal karena dompet Bapak mau habis!" bisik Mini, lalu dengan sengaja menggandeng Eric sangat erat.
Eric, merasa sangat terhina, berjalan dengan langkah kaku. Mini, di sisi lain, mulai beraksi.
"Oh, Sayang! Lihat tas itu! Sayang, belikan! Katanya mau menyenangkan istri!" Mini berbicara dengan nada yang dibuat-buat, persis seperti turis kaya dan manja.
Eric mendesis pelan. "Mini, aku akan mencekikmu kalau kau tidak diam."
"Hussh! Panggil aku Darling! Ingat, sandiwara!" balas Mini, lalu mencubit pinggang Eric, memaksanya menyunggingkan senyum palsu.
Di sudut jalan, seorang pria Italia tampan yang selama dua jam terakhir mengikuti Eric melalui CCTV, bingung. Pria itu adalah Capo dari tim kecil Valerius yang ditugaskan untuk mengkonfirmasi keberadaan Eric di Milan.
"Lapor, aku kehilangan Eric Alaric Wiguna," lapornya pada earpiece rahasia.
"Apa maksudmu hilang? Dia ada di Milan!" desak suara dari seberang.
"Aku melihat seorang pria yang terlihat seperti Wiguna, tapi dia mengenakan sweater maroon jelek, topi tua, dan dicubit oleh istrinya yang histeris setiap dua menit. Mustahil itu Capo Conti yang dingin. Mungkin dia turis kaya yang mirip saja," lapor mata-mata itu, lalu menggelengkan kepala.
Eric, yang mendengar samar-samar percakapan itu melalui earpiece Marco (yang Mini panggil headset telepon), tersenyum tipis—senyum yang sangat jarang terlihat. Mini si oon, secara tidak sengaja, telah menghilangkan Eric Alaric Wiguna dari radar musuh.
Mereka tiba di sebuah toko perhiasan eksklusif di jantung Milan. Eric menatap Mini.
"Selamat, Nona Mini. Sandiwara konyolmu berhasil. Sekarang, saatnya mencari cincin yang lebih berbahaya daripada bom C4. Kau masuk duluan," kata Eric, ekspresinya kembali dingin.
Mini mengangguk, lalu masuk ke dalam toko. Ia hanya melihat-lihat cincin, tampak bingung. Saat ia membalikkan badan, ia terkejut melihat Eric sudah berdiri di belakangnya.
Eric memegang sebuah kotak beludru hitam. Ia membuka kotak itu, menampilkan sebuah cincin perak tebal, tampak antik, diukir dengan simbol kuno yang samar-samar menyerupai pedang bersayap.
"Cincin ini..." bisik Eric, menatap Mini dengan intens. "Ini bukan emas. Ini cincin yang dibuat dari besi murni. Cincin yang kau pegang ini, Mini, adalah cincin yang diyakini Klan Valerius sebagai Seguro—bukti bahwa klan Conti bersedia melakukan 'penebusan' atas pertumpahan darah masa lalu."
Mini menelan ludah. "Penebusan apa?"
Eric tidak menjawab. Ia hanya meraih tangan Mini, mengambil gelang manik-manik kusam di pergelangan tangan Mini, dan menggeser cincin besi itu ke jari manis Mini.
Tepat saat cincin itu menyentuh kulit Mini, suara keras seperti kaca pecah terdengar dari balik pintu toko. Semua orang menoleh. Di pintu, berdiri tiga pria bertubuh besar dengan tatapan dingin.
Eric bergerak cepat, mendorong Mini ke belakang toko. "Marco, siagakan semua tim!"
Mini, yang ketakutan, refleks memegang dadanya. Tiba-tiba, ia merasakan sensasi aneh dari cincin besi itu—seperti denyutan panas yang merambat naik dari jarinya. Dan tiba-tiba, Mini tahu. Ia tahu persis bagaimana cara melarikan diri dari toko itu, tanpa pernah menyadari bagaimana informasi itu bisa muncul di kepalanya.
BERSAMBUNG.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
☕︎⃝❥ꇙꆰ꒤꒐꒯ꅐꋬꋪ꒯( ͠° ͟ʖ ͡°)Hmm
🤣🤣🤣 gantian sekarang, siapa yang harus nurut hayoo😅
2025-11-03
0