Selamat Membaca
Eric Alaric Wiguna bangkit dari kursinya, wajahnya gelap. Ekspresi Luca Wiguna dan Pengacara Wibowo sama tegangnya. Sementara itu, Mini masih berdiri linglung di tengah ruangan, memegang bahu Nenek Alessandra.
“Valerius?” Luca mendesis, menatap Mini dengan jijik. “Mereka sudah punah, Eric. Ini jebakan.”
Nenek Alessandra, meskipun pucat, kembali ke sikap Matriark-nya. Ia menarik napas dalam-dalam. “Darah itu tidak akan pernah hilang. Aku merasakan getaran kebencian Valerius saat menyentuhnya. Surat ancaman itu... otentik.” Ia menatap Eric. “Kita tidak bisa menyerahkan aset logistik Kakek Pranoto, dan kita tidak bisa membiarkan nama klan ternoda karena menolak wasiat hanya karena calon pengantinmu ini adalah keturunan musuh lama.”
Eric menatap Mini. Mini, yang kini menyadari namanya dan darahnya adalah masalah besar, malah sibuk membersihkan bekas darah dari jas Nenek Alessandra menggunakan ujung blazer ketatnya.
“Mini, hentikan,” perintah Eric tajam. “Mulai sekarang, kau bukan hanya tunangan palsu. Kau adalah target kelas satu klan pesaing.”
Mini berhenti menggosok, matanya melebar. “Musuh? Saya? Saya cuma bisa memotong kertas, Pak Eric. Bukan memotong leher.”
Eric mengabaikannya. Ia memberi perintah kepada Pengacara Wibowo dan Ayah Luca untuk mengamankan semua aset Pranoto di bawah pengawasan Wiguna secara ketat. Lalu ia menoleh ke Mini. “Kita ke rumah. Sekarang.”
Di mobil limusin hitam antipeluru milik Eric, Mini merasa seperti tikus yang terperangkap dalam kotak logam mewah. Ia duduk di seberang Eric, yang sibuk berbicara dengan pengawalnya, Marco, dalam bahasa Italia yang cepat dan penuh perintah.
“Marco, pastikan pengiriman di Calabria dialihkan. Tingkatkan keamanan di semua basis Wiguna. Dan yang paling penting: tidak ada satu pun berita tentang pertunangan ini yang bocor. Terutama di Italia,” ujar Eric, nadanya mengancam.
Mini memberanikan diri. “Pak Eric, kenapa mereka mau saya? Saya tidak punya apa-apa. Kalau mereka mau wasiat kakek, kenapa tidak langsung bunuh saya saja?”
Eric menghela napas, menatap Mini. “Klan Valerius selalu menjunjung tinggi kehormatan di atas segalanya, bahkan dalam balas dendam. Mereka tidak akan membunuhmu tanpa memberimu kesempatan ‘bertarung’—atau setidaknya menjadikanmu umpan yang sempurna.”
Eric menyandarkan punggung, raut wajahnya menunjukkan ia sedang memecahkan masalah serumit kalkulus. “Klan Conti percaya kau adalah darah Valerius yang tersisa. Mereka ingin membunuhmu di Calabria, di jantung wilayah klan kami, sebagai pesan.”
Mini mencengkeram tas tangannya. “Jadi... saya harus menjadi umpan yang cantik, begitu?”
Eric tidak menjawab. Ia hanya mengambil teleponnya dan memutar nomor. “Elara? Batalkan semua janji fitting malam ini. Aku butuh jasamu untuk ‘mengenakan’ Mini.”
Setibanya di penthouse mewah Eric, Mini langsung diserahkan kepada Elara Wiguna, adik Eric yang cerdas dan pemberontak. Elara menatap Mini dengan mata berbinar seperti baru menemukan mainan baru.
“Mini! Calon kakak iparku! Kau jauh lebih ceroboh dari yang Kak Eric deskripsikan! Itu bagus, itu artinya kau bisa mengacaukannya,” sambut Elara ceria, menyeret Mini ke ruang ganti bak butik mewah.
Saat Elara sibuk memilihkan pakaian baru untuk Mini, ponsel Mini berdering. Nomor tak dikenal. Mini ragu, tapi mengangkatnya.
“Halo?”
Suara di seberang telepon itu adalah suara wanita, lembut, seperti nyanyian. Tapi di bawah kelembutan itu, ada nada yang sangat dingin.
“Mini Chacha Pramesti. Kau pikir kau aman di balik benteng baja Wiguna? Ksatria Valerius adalah martir. Kami akan mengklaimmu.”
“Siapa ini?” Mini berbisik, panik melirik ke arah pintu.
“Kami adalah darah yang mengalir dari tempat yang sama denganmu, Mini. Tapi kami lebih setia pada kehormatan. Katakan pada Eric Alaric Wiguna. Tiga hari. Dia punya waktu tiga hari untuk membawa cincin tunangan. Cincin yang bukan hanya simbol janji konyol. Cincin itu adalah seguro.”
Tangan Mini gemetar. “Seguro? Apa maksudmu?”
*“Seguro dalam bahasa kami, manis. Penebusan. Cincin itu akan menunjukkan bahwa Eric berani menantang takdirmu. Jika tidak, ia akan kehilangan lebih dari sekadar warisan kakekmu.”
Telepon terputus.
Mini menjatuhkan ponselnya, wajahnya pucat. Ia menoleh ke arah pintu ruang ganti yang baru saja dibuka oleh Eric.
Eric menatapnya tajam.
“Kenapa kau pucat?” tuntut Eric.
“Penebusan…” Mini terengah-engah, memungut ponselnya.
"Mereka menelepon, Eric. Mereka bilang kau harus memberikan cincin tunangan dalam tiga hari. Cincin itu adalah Seguro—penebusan. Jika tidak..."
Eric melangkah maju, sorot matanya berubah gelap. Ia merebut ponsel Mini dan mengecek log panggilan. Kosong. Nomor itu sudah lenyap.
“Jika tidak, apa?” tanya Eric, suaranya pelan dan mengancam.
Mini menatap Eric, air mata hampir jatuh, tetapi ia menahannya.
Ia menelan ludah dan mengucapkan ancaman terakhir dari penelepon itu.
“Jika tidak… mereka akan menyerahkan rekaman itu ke polisi interpol. Rekaman yang menunjukkan transaksi ilegal klanmu di pelabuhan Calabria, dan yang paling parah, rekaman itu akan menampilkan wajah nenekmu, Matriark Alessandra Conti, sebagai dalang utama.”
Eric membeku.
Itu bukan ancaman pembunuhan biasa. Itu adalah ancaman yang bisa meruntuhkan seluruh klan.
“Dia yang meneleponmu?” Eric mencengkeram lengan Mini.
“Iya!”
Eric melepaskan Mini, berjalan ke jendela, dan menatap gemerlap lampu kota dengan mata penuh perhitungan. Dia tidak takut mati, tapi dia takut klan yang dia jaga hancur.
Dia melihat Mini, gadis ceroboh yang baru saja merusak kemejanya, yang ternyata adalah kunci kehancuran klannya, atau mungkin, satu-satunya jalan keluar.
"Tiga hari," desis Eric.
"Aku akan mendapatkan cincin itu. Dan kau, Mini Chacha Pramesti, kau akan menjadi pengantinku. Dan tidak ada yang boleh tahu isi surat ancaman kedua ini."
BERSAMBUNG.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments