Kota London pagi itu tampak sibuk seperti biasa. Mobil-mobil melintas cepat, udara beraroma asap dan kopi dari kedai tepi jalan. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, seorang pemuda berambut hitam berjalan di belakang wanita berjubah hijau tua — langkah mereka tak serasi, tapi anehnya, orang-orang yang lewat seolah tak benar-benar memperhatikan mereka.
Ethan menatap sekeliling, matanya mencoba menangkap keanehan yang mungkin tersembunyi di balik rutinitas dunia Muggle.
Ia masih belum percaya sepenuhnya bahwa sebentar lagi ia akan melihat dunia lain — dunia sihir.
“Profesor,” katanya, menahan langkah agar tidak terlalu tertinggal, “apa uang pound bisa dipakai di dunia sihir?”
“Tidak,” jawab Profesor McGonagall singkat tanpa menoleh. Suaranya tetap tenang, tapi tegas seperti biasanya. “Kau bisa menukarnya di Gringotts, bank milik para goblin. Lima pound sterling untuk satu Galleon, tapi batasnya hanya seratus Galleon per transaksi. Dunia sihir juga punya birokrasi — dan terkadang, lebih rumit dari dunia Muggle.”
“Begitu, ya.” Ethan mengangguk pelan. Ia menyelipkan tangannya ke saku, mengeluarkan segepok uang kertas yang dilipat rapi.
“Aku menabung sejak dua tahun lalu,” katanya pelan. “Kupikir suatu saat bakal butuh buat biaya sekolah… kalau ada yang mau menerimaku.”
Profesor McGonagall menatap sekilas tumpukan uang itu, sedikit terkejut dengan ketertiban dan jumlahnya.
“Kau anak yang bijak,” komentarnya pendek. “Dan praktis.”
Ethan hanya tersenyum tipis. “Kebiasaan hidup di panti, Profesor. Kalau tidak hemat, ya kelaparan.”
McGonagall tidak menjawab, tapi ada sesuatu yang lembut di balik tatapan tajamnya. Ia melanjutkan langkah, berbelok ke sebuah gang sempit di sisi jalan besar.
Udara di sana berubah — lembap, dingin, dan berbau batu tua yang basah.
“Biasanya,” katanya sambil menatap kanan-kiri, “aku akan mengajak murid Muggle naik Bus Ksatria. Tapi dunia sihir sedang… tidak stabil akhir-akhir ini.” Ia menatap Ethan. “Kita akan Apparate.”
“Apparate?” Ethan mengulang, bingung. “Itu apa—”
“Pegang tanganku, Ethan. Dan jangan lepaskan.”
Belum sempat ia bertanya lagi, dunia di sekelilingnya pecah.
Tekanan dahsyat menghimpit tubuhnya dari segala arah — seperti ditarik melalui pipa sempit, tanpa udara, tanpa cahaya.
Suara mendengung di telinganya, pandangan berputar cepat, lalu… bum.
Ethan tersentak berdiri di tempat asing. Batu-batu di bawah kakinya terasa dingin, dan dunia kembali berputar pelan di matanya. Ia berpegangan pada dinding, menahan mual.
“Ugh… apa barusan itu?” napasnya terengah.
McGonagall hanya mengangkat tongkat, mengarahkannya pada Ethan. Sinar lembut berwarna perak meluncur, menyelimuti tubuhnya.
Dalam hitungan detik, rasa mualnya berkurang.
“Maafkan aku,” ujar McGonagall lembut. “Bahkan penyihir dewasa pun kadang kehilangan keseimbangan setelah Apparate pertama kali.”
Ethan menarik napas panjang. “Jadi itu… teleportasi?”
McGonagall tersenyum samar. “Namanya Apparition. Kau baru akan belajar itu di tahun ketujuh nanti — kalau sudah punya lisensi resmi.”
“Rasanya brutal,” gumam Ethan sambil menepuk dadanya. “Tapi keren juga.”
Profesor McGonagall menggeleng kecil, lalu melangkah maju. “Ayo, jalan kaki saja sekarang. Lebih aman.”
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di antara dua toko yang tampak biasa saja — satu toko kaset dengan papan nama kusam, dan satu lagi toko buku bekas. Di tengah-tengahnya berdiri sebuah bar kecil, cat hitamnya pudar, jendelanya buram oleh debu. Orang-orang berlalu-lalang di depan, tapi tak seorang pun menoleh.
“Profesor,” bisik Ethan, “mereka… tidak bisa melihat tempat ini?”
McGonagall menoleh, matanya berkilat kecil di balik kacamata. “Pengamatan yang tajam. Tempat ini dilindungi oleh jimat penyembunyi. Namanya Leaky Cauldron. Hanya penyihir yang bisa melihatnya.”
Begitu mereka melangkah masuk, dunia luar seolah lenyap.
Udara di dalam terasa hangat, bercampur aroma bir mentega, asap pipa, dan kayu tua. Ruangan itu remang, namun suasananya hidup.
Beberapa penyihir duduk di sudut, berbicara pelan sambil menatap sekeliling dengan waspada. Di balik meja bar, seorang pria berkepala botak sedang menggosok gelas, senyumnya tipis tapi ramah.
“Tom,” sapa McGonagall dengan nada akrab, “bagaimana bisnismu?”
Tom mengangkat bahu, lelah. “Masih berdiri, Profesor. Tapi semalam ada baku tembak lagi antara Auror dan simpatisan di Knockturn Alley. Ledakannya sampai bikin kaca di sini retak.” Ia menunjuk ke jendela belakang yang masih berbekas garis putih. “Kalau begini terus, pelanggan kabur semua.”
McGonagall menggeleng pelan. “Hati-hati, Tom. Dunia sedang… rapuh.”
Lalu, ia menepuk bahu Ethan. “Ini Ethan Cross, calon siswa Hogwarts.”
Tom memandang Ethan, lalu senyumnya mengembang. “Mahasiswa baru, ya? Selamat datang, Nak. Dunia luar sedang tak tenang — kalau malam, jangan berkeliaran sendirian.”
Ethan menunduk sopan. “Terima kasih, Tuan.”
“Ah, sopan juga anak ini,” gumam Tom sambil tertawa kecil.
Mereka melangkah melewati bar, menuju pintu belakang yang mengarah ke teras kecil. Hanya ada satu dinding bata besar dan tong sampah di sebelahnya. Udara di sana sedikit berbau besi dan lembap.
“Di balik dinding ini ada jalan utama dunia sihir,” ujar McGonagall. “Perhatikan baik-baik, karena nanti kau akan datang sendiri ke sini.”
Ia mengeluarkan tongkat sihir dari balik jubah, mengangkatnya sedikit.
Dengan gerakan anggun, ia mengetuk tiga bata di atas tong sampah, lalu dua ke kanan.
Bata-bata itu mulai bergetar. Suara retakan lembut terdengar ketika batu-batu bergerak mundur, bergeser, dan berputar membentuk lengkungan besar. Dari celah yang terbuka, cahaya hangat memancar — disertai suara ramai pasar, derap langkah, dan aroma kertas, rempah, serta logam.
“Selamat datang di Diagon Alley, Ethan,” kata McGonagall dengan senyum tipis.
Ethan melangkah maju, matanya membesar.
Di depannya terbentang jalan berbatu panjang, berliku ke kejauhan, dikelilingi toko-toko ajaib yang berjejer rapat. Etalase menampilkan buku-buku tebal dengan sampul yang berbisik, jubah yang berkilau seperti air, dan tongkat sihir yang tampak berdenyut lembut dalam wadah kaca.
Di kejauhan, suara burung hantu bercampur tawa anak-anak dan panggilan pedagang.
Sebuah poster besar terpajang di dinding: wajah seorang penyihir berambut gelap dengan tulisan “Wanted: Dark Allegiance Suspect”.
Namun, di balik keindahan itu, Ethan merasakan sesuatu yang lain — ketegangan halus di udara.
Beberapa toko tertutup rapat, dan di antara kerumunan, tampak sosok-sosok berjubah panjang dengan emblem emas di dada: para Auror, berjalan cepat dengan pandangan tajam.
“Profesor,” bisiknya pelan, “orang-orang berjas panjang itu… bukan pembeli, kan?”
McGonagall melirik sekilas. “Auror,” jawabnya tenang. “Penegak hukum sihir. Dunia sedang gelisah, Ethan. Tapi Diagon Alley masih tempat paling aman di Inggris. Dan Hogwarts…” Ia menatap pemuda itu lembut. “Lebih aman lagi.”
Ethan menatap jalan ramai itu — antara kagum dan waspada.
Dunia ini hidup, berwarna, dan… berbahaya.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar menyadari:
Ia bukan lagi sekadar pengamat. Ia sudah melangkah ke dalam dunia yang selama ini hanya dianggap dongeng.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments