Udara pagi London terasa dingin dan lembap. Kabut tipis masih menggantung di atas atap Panti Asuhan Gereja Elrens, sementara sinar matahari yang malu-malu baru mulai menembus jendela kaca patri yang retak di tepinya. Di kamar sempit di lantai dua, seorang anak laki-laki duduk bersila di lantai, tubuhnya tegak, napasnya teratur.
Ethan Cross membuka matanya perlahan.
Di depan matanya, sebatang barbel melayang anggun di udara, berputar dalam lintasan berbentuk angka delapan. Otot-otot di rahangnya menegang; peluh menetes dari pelipisnya ke lantai kayu yang sudah kusam.
Konsentrasinya penuh.
Ia menahan barbel itu tetap di udara—tidak hanya sekadar mengangkat, tapi mempertahankan kestabilan, mengontrol setiap gerak kecil seperti mengatur detak jantungnya sendiri.
Lima belas menit. Dua puluh. Tiga puluh.
Waktu berjalan lambat.
Akhirnya, denyutan di kepalanya mulai terasa. Dunia sedikit berputar. Ia menarik napas dalam-dalam dan perlahan menurunkan barbel itu ke lantai dengan lembut, seolah benda itu memiliki berat sehelai bulu.
“Empat puluh menit penuh,” bisiknya sambil tersenyum kecil. “Semakin mudah dikendalikan.”
Ia memijat pelipisnya sebentar, lalu terkekeh pelan.
“Kapan ya aku bisa terbang dengan pedang seperti di novel wuxia?”
Ucapan itu melayang ringan di udara, tapi tidak ada yang menjawab. Di luar, hanya suara angin yang menyusup lewat celah jendela.
Ethan berdiri, meregangkan tubuhnya. Tubuh itu ramping namun padat—hasil latihan keras bertahun-tahun, meski ia masih berusia sebelas. Namun di balik kekuatan fisiknya, ada sesuatu yang lebih misterius: kekuatan pikirannya.
Sesuatu yang ia sebut “telekinesis”… tapi mungkin dunia punya nama lain untuk itu.
Dan tanpa ia sadari, jauh di langit utara Inggris, puluhan bayangan bersayap tengah menembus kabut. Burung-burung hantu, membawa surat bersegel merah, terbang cepat melewati lembah dan kota—menuju anak-anak terpilih.
Salah satu di antaranya, seekor burung hantu cokelat besar, membentangkan sayapnya melewati atap-atap tua London.
Tujuannya: Panti Asuhan Gereja Elrens.
Keesokan paginya, panti masih sunyi. Hanya suara burung gereja yang bersahut-sahutan di genteng, menandai awal hari baru. Ethan, seperti biasa, sudah bangun lebih dulu dari siapa pun. Ia membuka jendela, menghirup udara pagi yang masih beraroma embun, lalu turun ke halaman dengan pakaian olahraga sederhana.
Di sana, ia mulai berlatih satu set Tinju Tongbei—gerakan cepat dan lentur yang menuntut keseimbangan sempurna antara kekuatan dan keanggunan.
Tubuhnya meluncur, berputar, memukul udara dengan presisi nyaris sempurna.
Tak ada penonton, tak ada pelatih, tapi setiap langkahnya seolah diatur oleh irama tak terlihat—sebuah simfoni antara disiplin dan ketenangan.
“Huff…” Ia menghembuskan napas panjang setelah gerakan terakhir. Embun menempel di kulitnya yang hangat oleh keringat. Ia menatap matahari yang mulai muncul dari balik gereja tua, lalu tersenyum kecil. “Dunia ini masih terlalu lambat untukku,” katanya pelan, separuh bercanda.
Setelah menggulung lengan bajunya, ia berjalan ke kafetaria. Aroma bubur labu hangat langsung menyambut dari arah dapur.
“Selamat pagi, Ibu Triss. Aku mencium bubur labu dari luar,” sapa Ethan ceria.
“Selamat pagi, Ethan,” jawab Suster Triss—wanita tua dengan wajah teduh dan mata lembut di balik kerudung abu-abunya. Ia menuangkan bubur ke mangkuk. “Kamu selalu bangun paling awal. Andai semua anak di sini bijaksana seperti kamu, hidupku pasti lebih tenang.”
Ethan tertawa kecil, menerima mangkuk itu. “Kalau mereka sebijak aku, Ibu bakal bosan.”
Mereka tertawa sebentar sebelum Ethan duduk di sudut meja kayu besar dan mulai makan. Bubur itu sederhana tapi hangat, dan di dunia yang dingin serta penuh rahasia seperti ini, kehangatan kecil semacam itu terasa berharga.
Setelah sarapan, ia berpamitan dan kembali ke kamarnya.
Namun begitu pintu terbuka, langkahnya terhenti.
Seekor burung hantu cokelat bertengger di atas meja, menatapnya dengan mata bundar berwarna kuning keemasan. Sayapnya rapi, posturnya tegak seperti prajurit dalam penjagaan.
Burung itu mengeluarkan suara rendah, lalu menurunkan satu kaki—ada sebuah amplop tebal di sana, diikat dengan pita merah tua.
Ethan membeku.
Ia menutup pintu perlahan, berjalan mendekat dengan hati-hati. Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dalam mimpi yang aneh.
Burung itu meletakkan amplop di atas meja, kemudian diam di ambang jendela, menunggu… seperti tahu tugasnya belum selesai.
Ethan menatap amplop itu. Tidak ada prangko. Hanya tulisan tangan indah berwarna hijau zamrud:
Kepada Tn. Ethan Cross,
Panti Asuhan Gereja Elrens, Shaftesbury Avenue, London.
Ia membaliknya. Di bagian belakang, ada segel lilin merah bertanda perisai besar berhuruf “H”, dikelilingi empat simbol hewan: singa, elang, luak, dan ular.
Dunia seolah berhenti.
Ethan menatap lambang itu lama, jantungnya berdetak pelan tapi berat. Ia mengenal simbol itu.
Pernah melihatnya—tidak di dunia ini, tapi dalam ingatan samar, dari masa yang terasa seperti mimpi.
Ia menelan ludah.
“Tidak mungkin…” suaranya hampir berbisik. “Ini… Hogwarts?”
Angin pagi meniup tirai, seolah ikut membenarkan ucapannya.
Ethan duduk perlahan di kursi, menatap surat itu seolah takut akan menghilang bila ia berkedip. Ia membuka amplopnya hati-hati, dan sebuah gulungan kertas tebal meluncur keluar.
Tulisan tinta hitam elegan memenuhi halamannya.
Sekolah Sihir Hogwarts
Kepala Sekolah: Albus Dumbledore
(Presiden Konfederasi Penyihir Internasional, Ketua Wizengamot, Ordo Merlin Kelas Satu)
Kepada Tuan Cross yang terhormat,
Dengan senang hati kami informasikan bahwa Anda telah diterima di Sekolah Sihir Hogwarts.
Terlampir daftar buku dan perlengkapan yang diperlukan untuk tahun pertama.
Perkuliahan dimulai pada tanggal 1 September, dan kami menunggu balasan Anda paling lambat 31 Juli.
Hormat kami,
Minerva McGonagall
Wakil Kepala Sekolah
Ethan membaca daftar perlengkapan yang menyertainya:
jubah hitam, sarung tangan kulit naga, teleskop, buku-buku mantra, dan—tentu saja—tongkat sihir.
Ia mendesah pelan, antara tak percaya dan kagum.
“Jadi... ini bukan sekadar kekuatan mental biasa. Aku benar-benar… penyihir.”
Burung hantu itu masih di jendela, menatapnya dengan sabar, seperti menunggu jawaban.
Ethan mengangkat kepalanya, menatap keluar jendela—ke langit London yang mulai terang.
Pikirannya berputar cepat: Dumbledore. Potter. Voldemort. Nama-nama yang samar dalam ingatannya kembali bermunculan.
Namun satu hal membuatnya tercekat:
Film yang ia ingat berlatar tahun 1990-an.
Sedangkan sekarang… tahun 1980.
“Jadi aku berada sebelum semuanya dimulai,” gumamnya perlahan. “Sebelum Potter lahir… sebelum perang besar… sebelum segalanya.”
Ia menatap surat di tangannya lagi—simbol “H” itu kini terasa berat, seolah memanggil takdir yang belum ia pahami.
Senyum tipis muncul di wajahnya. “Baiklah, Hogwarts. Mari kita lihat… rahasia macam apa yang kau sembunyikan.”
Burung hantu itu mengeluarkan suara pelan, seolah mengerti.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya di dunia ini, Ethan Cross merasa sesuatu yang selama ini ia cari—jawaban tentang kekuatannya, asal-usulnya, dan mungkin, takdirnya—akhirnya mulai terungkap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments