Sore itu, langit London tampak kelabu. Cahaya matahari yang lemah menembus jendela kamar kecil Ethan, membentuk garis tipis di lantai kayu.
Di atas meja, surat bersegel merah dengan lambang “H” masih tergeletak — lambang yang seolah mengubah arah hidupnya dalam semalam.
Ethan menatapnya lama-lama, jari telunjuknya menyusuri tepi amplop yang mulai kusut.
Sudah dua kali ia membaca isi surat itu, tapi pikirannya tetap berputar di tempat yang sama: Sihir. Sekolah sihir. Hogwarts.
Ia mendesah pelan. “Sihir… siapa yang sangka aku bakal percaya hal seperti ini?”
Di ambang jendela, burung hantu cokelat yang kemarin datang masih bertengger tenang, bulu-bulunya berkilau halus di bawah cahaya senja. Hewan itu menatapnya datar, tanpa suara, seperti patung hidup.
Ethan memiringkan kepala. “Kau menunggu balasan, ya?”
Tak ada jawaban. Hanya tatapan kuning keemasan yang nyaris tanpa ekspresi.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi aku nggak tahu harus kasih apa padamu. Aku bahkan nggak punya makanan burung.”
Burung hantu itu tetap diam — pandangan tajamnya tidak bergeming.
Ethan tersenyum kecil. “Sombong juga, ya.”
Ia menarik selembar kertas lusuh dan pena dari laci meja. Tangannya bergerak cepat, menulis dengan huruf rapi dan kalimat singkat — ucapan terima kasih, sedikit kebingungan, dan pertanyaan sopan apakah sekolah benar-benar bisa menerima anak yatim piatu sepertinya.
Setelah menandatangani surat itu, ia melipatnya rapi dan menyerahkannya pada burung hantu.
Dengan gerakan mulus, hewan itu menggigit amplopnya, mengepakkan sayap, dan melesat keluar jendela menembus langit senja tanpa menoleh.
Ethan menatap kepergiannya, angin sore meniup rambutnya pelan. “Burung hantu sombong,” gumamnya. Tapi senyum tipis tetap menghiasi wajahnya.
Lalu, dengan nada setengah heran, ia menambahkan, “Aku benar-benar penasaran seperti apa dunia sihir itu. Voldemort sudah mati waktu ini, kan? Dan Potter… dia pahlawan, kalau aku nggak salah.”
Nama-nama itu terasa asing namun akrab, seperti gema dari masa lain. Ia tahu potongan-potongan kisah mereka — samar, buram, seolah berasal dari mimpi jauh. Tapi satu hal yang pasti: tahun sekarang masih 1980.
Artinya, kisah itu belum dimulai.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang sudah ia hafal: latihan, makan, tidur, ulang.
Ethan memperketat rutinitasnya sejak menerima surat Hogwarts. Setiap pagi ia berlari mengelilingi halaman panti, siangnya berlatih tinju, malamnya bermeditasi sambil melatih “telekinesis” — atau, seperti yang kini ia sadari, sihir tanpa tongkat.
Ia mulai mempelajari cara menyalurkan sihir dengan napas, mengontrol emosi agar kekuatan itu tak lepas kendali.
Terkadang ia berhasil mengangkat lima benda sekaligus, terkadang malah membuat lampu berkedip tak karuan. Tapi semua itu memberinya kepuasan aneh.
“Dunia mana pun sama,” katanya pada dirinya sendiri suatu malam. “Kekuatan adalah fondasi segalanya.”
Suatu pagi yang tenang, ketika kabut masih menggantung rendah di luar jendela, suara ketukan terdengar di pintu kamarnya.
Tok. Tok. Tok.
“Permisi. Kau Ethan Cross?”
Suara perempuan, tenang, dingin, dan penuh wibawa.
Ethan menoleh cepat, lalu membuka pintu.
Di hadapannya berdiri seorang wanita berumur sekitar lima puluhan dengan postur tegap dan sorot mata tajam. Rambut hitamnya disanggul rapi ke belakang; kacamata persegi menghiasi hidung mancungnya. Ia mengenakan jubah panjang berwarna hijau tua yang tampak berkilau lembut di cahaya pagi.
“Selamat pagi,” katanya dengan nada datar tapi sopan. “Saya Profesor Minerva McGonagall. Wakil Kepala Sekolah Hogwarts. Saya datang menindaklanjuti suratmu.”
“Oh—Profesor?” Ethan hampir terpaku, lalu cepat menyingkir memberi jalan. “Silakan masuk. Maaf, tempatnya agak sempit.”
McGonagall melangkah masuk dengan gerakan anggun. Matanya menelusuri ruangan kecil itu — satu ranjang besi, meja belajar dengan kertas bertumpuk, beberapa barbel di sudut, dan rak buku yang tampak usang.
Namun semuanya tertata rapi.
“Ruangan yang teratur,” katanya akhirnya. “Menyenangkan melihat siswa muda se-disiplin ini.”
Ethan menggaruk tengkuknya, canggung. “Maaf, cuma ada satu kursi, Profesor.”
“Tidak masalah,” jawabnya tenang. “Aku sudah membawa kursiku sendiri.”
Sebelum Ethan sempat bertanya, Profesor McGonagall mengibaskan tongkat sihir dari dalam jubahnya.
Barbel di pojok ruangan bergetar, lalu berubah bentuk dalam sekejap menjadi kursi kayu elegan dengan sandaran tinggi. Ia duduk dengan tenang, seolah itu hal paling wajar di dunia.
Ethan hanya bisa terpaku.
Melihat sihir langsung jauh berbeda dari sekadar membaca tentangnya.
“Saya kira saya baru akan dihubungi bulan depan,” katanya akhirnya.
“Biasanya memang begitu,” jawab McGonagall sambil menautkan jari. “Tapi kami mendatangi anak-anak Muggle yang belum mengenal dunia sihir lebih awal. Kasusmu agak istimewa, Tuan Cross. Kau hidup mandiri di panti asuhan, bukan hal mudah bagi anak seusiamu.”
Nada suaranya tegas, tapi ada kelembutan tersembunyi di baliknya — semacam penghargaan diam-diam.
Ethan mendengarkan dengan saksama. Profesor itu menjelaskan bahwa anak-anak penyihir biasanya mulai menunjukkan tanda-tanda kekuatan sejak usia muda, dan Hogwarts bertugas mendidik mereka agar tak kehilangan kendali.
Ethan mengangguk, lalu dengan tenang mengangkat tangannya.
Sebuah cangkir di meja bergetar, kemudian perlahan melayang ke arahnya.
Profesor McGonagall sontak menatapnya tajam, kacamata di hidungnya bergeser sedikit.
“Tanpa tongkat… tanpa mantra?” suaranya nyaris tak percaya. “Kau sudah bisa melakukannya?”
“Sejak kecil, saya sering membuat benda bergerak tanpa sengaja,” jawab Ethan jujur. “Lalu saya mulai melatihnya lewat meditasi dan kontrol napas. Saya kira itu cuma kemampuan aneh, bukan sihir.”
McGonagall menatapnya lama, penuh perhitungan, lalu tersenyum tipis — senyum kecil tapi tulus.
“Menarik,” gumamnya. “Sangat menarik. Jarang ada anak yang bisa mencapai kendali sebesar ini sebelum belajar resmi.”
Ia berdiri, jubah hijaunya berdesir lembut. “Baiklah, Ethan. Kita tak punya banyak waktu. Aku akan berbicara dengan pengurus panti, lalu mengantarmu membeli perlengkapan sekolah.”
Profesor McGonagall bekerja cepat dan efisien.
Entah bagaimana, hanya dalam waktu setengah jam, segala urusan administrasi Ethan sudah beres. Pengurus panti yang biasanya cerewet tampak seperti kehilangan arah dan hanya mengangguk-angguk patuh.
Ethan memiringkan kepala, curiga. “Profesor… Anda barusan pakai sihir, ya?”
“Sedikit Confundus Charm untuk mempercepat urusan,” jawab McGonagall ringan, dengan nada nyaris geli. “Tenang saja, mereka tidak akan dirugikan. Kau tetap bisa pulang liburan nanti.”
Ethan mengangkat alis. “Sihir yang bisa bikin birokrasi cepat? Harusnya dunia Muggle belajar itu.”
Untuk pertama kalinya, Profesor McGonagall tertawa kecil — singkat, tapi tulus.
Ia kemudian menepuk bahu Ethan. “Oh, hampir lupa. Dewan sekolah telah menyetujui beasiswa untukmu: dua belas Galleon per tahun. Dan untuk pengetahuanmu, satu Galleon setara tujuh belas Sabit Perak, dan satu Sabit Perak sama dengan dua puluh sembilan Knut.”
Ethan mendesah pelan. “Bahkan sistem uangnya pun rumit. Benar-benar Inggris.”
McGonagall tersenyum samar, lalu melangkah menuju pintu. “Ayo, Tuan Cross. Dunia sihir menunggumu.”
Angin lembut menyusup dari jendela, membawa aroma musim panas yang mulai memudar.
Ethan menatap kursi kayu yang dulunya barbel, lalu ke tangan Profesor McGonagall yang menggenggam tongkat.
Untuk pertama kalinya dalam hidup barunya, ia merasa… siap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments