Tepat pukul sembilan pagi, Aryan sudah berdiri tegak di depan meja resepsionis The Grand Elegance Residency, mengenakan seragam barunya yang terasa sedikit kaku. Ia berusaha keras memancarkan aura percaya diri yang ia harapkan bisa menutupi kecemasan yang masih tersisa sejak kemarin.
Nyonya Lia, Kepala Administrasi, telah menunggunya di salah satu sofa lounge yang mewah. Ia menyambut Aryan dengan senyum hangat yang jauh lebih ramah dibandingkan kesan dinginnya saat wawancara.
"Selamat datang, Aryan. Saya senang melihat ketepatan waktu Anda. Itu sangat penting di hotel ini," sambut Nyonya Lia, mengisyaratkan Aryan untuk duduk di hadapannya.
"Terima kasih, Nyonya Lia," jawab Aryan, berusaha menjaga intonasinya tetap formal.
Nyonya Lia kemudian mulai menjelaskan tugas-tugas Aryan dengan detail yang terstruktur. "Anda adalah Staf Layanan Tamu. Tugas Anda adalah memastikan semua kebutuhan tamu terpenuhi dengan cepat dan profesional. Ini mencakup menyambut tamu di lobi, mengantar mereka ke kamar, mengirimkan makanan dari layanan kamar, hingga sesekali membantu tim housekeeping dalam memastikan kamar tamu rapi sebelum check-in."
Aryan mendengarkan dengan serius, sesekali mengangguk untuk menunjukkan bahwa ia mengerti. Pekerjaan ini memang melelahkan, tapi ia siap.
"Semua mudah, Aryan," lanjut Nyonya Lia, suaranya terdengar lembut namun tegas. Ia kemudian meraih sebuah kartu akses elektronik yang tersemat pita merah. "Ini kartu akses Anda. Ia akan membuka semua area yang Anda butuhkan. Namun, ada satu hal yang harus Anda perhatikan baik-baik, dan ini sangat penting."
Nyonya Lia mendekat sedikit, tatapannya menjadi fokus. "Jangan pernah, dalam keadaan apa pun, mendekati atau mencoba mengakses Lantai Tujuh."
Aryan mengerutkan kening. Ia baru menyadari saat ia melihat panel tombol lift di lobi, memang tidak ada angka "7". Tombol itu melompati angka enam langsung ke delapan.
"Maaf, Nyonya Lia. Kenapa Lantai Tujuh tidak boleh diakses? Di tombol lift juga tidak ada angkanya," tanya Aryan, rasa penasaran sekaligus kecurigaan kemarin kembali muncul.
Nyonya Lia tersenyum meyakinkan. "Jangan khawatir. Lantai itu sudah lama tidak terpakai, Aryan. Itu adalah sayap lama hotel yang sedang dalam proses perbaikan besar-besaran. Ada banyak kerusakan kabel di sana, sering terjadi korsleting listrik yang berbahaya. Kami khawatir itu bisa membahayakan keselamatan Anda jika Anda mencoba naik ke sana tanpa peralatan keselamatan. Lantai itu hanya untuk teknisi dan kontraktor. Jadi, demi keamanan Anda sendiri, lupakan saja lantai itu."
Penjelasan Nyonya Lia terdengar sangat logis dan dipaparkan dengan nada yang ramah. Aryan mengangguk, sedikit lega karena misteri itu terpecahkan, meskipun ada sisa keraguan kecil yang tetap menggelayuti pikirannya.
"Saya mengerti. Terima kasih atas peringatannya," kata Aryan.
Nyonya Lia tersenyum, lalu berdiri. "Bagus. Selamat bekerja, Aryan. Jika ada pertanyaan, Anda bisa menghubungi saya. Sekarang, silakan mulai beradaptasi dengan rekan kerja Anda." Setelah itu, Nyonya Lia pamit dan menghilang di balik pintu kantor administrasi.
Aryan berdiri di front desk, menarik napas dalam-dalam, bersiap memulai pekerjaan barunya.
Tak lama kemudian, empat orang staf menghampirinya dari arah belakang. Mereka terdiri dari dua wanita dan dua pria, semuanya mengenakan seragam yang sama dengan Aryan. Mereka menyambutnya dengan senyum lebar, menghilangkan rasa canggung Aryan.
"Selamat pagi! Selamat datang di tim front liner," sapa seorang wanita bernama Rima, dengan ramah. "Aku Rima, ini Dina, dan dua pria tampan ini adalah Danu dan Rio. Kami yang akan membimbingmu hari ini."
Mereka memperkenalkan diri masing-masing dengan santai. Aryan balas memperkenalkan diri, merasa sedikit lega karena akhirnya ia punya teman kerja. Setelah basa-basi singkat, Aryan memberanikan diri melemparkan pertanyaan yang masih mengganggu benaknya.
"Maaf, teman-teman. Aku mau tanya. Tadi Nyonya Lia sudah menjelaskan soal tugas. Tapi dia juga sangat menekankan soal Lantai Tujuh yang tidak boleh diakses. Kalian semua tahu, kan? Kenapa lantai itu dilarang?"
Empat pasang mata itu serentak menatap Aryan, lalu saling berpandangan sekilas. Reaksi mereka membuat Aryan makin penasaran.
"Oh, Lantai Tujuh," ujar Danu, sambil menghela napas ringan. "Iya, itu benar-benar dilarang keras, Yan. Kami semua sudah diwanti-wanti sejak hari pertama. Persis seperti yang dibilang Nyonya Lia, Lantai Tujuh itu sayap tua. Banyak masalah listrik dan kabel yang rentan korsleting. Pembangunannya juga sudah rapuh. Mereka sedang menunggu anggaran besar untuk renovasi total."
"Benar. Kalau kamu iseng naik, bisa-bisa kamu malah dapat teguran berat dari atasan," tambah Rio, sedikit bercanda. "Lagipula, memang tidak ada tombolnya di lift umum. Kalau mau naik, harus pakai lift servis yang khusus, dan kuncinya cuma dipegang tim teknisi. Jadi, lupakan saja. Anggap saja hotel ini hanya punya enam lantai kamar, ditambah lantai delapan ke atas."
Dina dan Rima mengangguk setuju dengan penjelasan para pria.
"Ya, fokus saja pada tamu yang menginap dari lantai satu sampai lantai enam. Itu sudah cukup membuat kita sibuk," tutup Rima, sambil menunjuk ke arah pintu lobi. "Sudah, jangan pusingkan Lantai Tujuh. Sekarang, waktunya bekerja! Ada tamu penting yang sebentar lagi check-in. Kita mulai dengan menyambut mereka."
Semua staf baru itu pun bergegas menuju posisi masing-masing. Aryan, meskipun masih ada sedikit rasa ganjil dalam hatinya, berusaha untuk mengabaikannya. Penjelasan dari rekan-rekan kerjanya sama persis dengan yang dikatakan Nyonya Lia. Ia memutuskan untuk menerima peringatan itu dan fokus pada pekerjaan. Ia mulai menyambut tamu, mengantar troli makanan, dan membantu housekeeping merapikan kamar. Hari pertamanya pun dimulai, penuh dengan kesibukan dan tantangan, menjauhkan sejenak pikirannya dari misteri lantai yang terlarang.
Waktu menunjukkan pukul satu siang, penanda jam istirahat tiba. Hiruk pikuk di area lobi dan front desk mereda sejenak. Aryan dan keempat rekan barunya beriringan menuju dapur canteen staf yang terletak di bagian belakang hotel. Suasana di dapur itu jauh lebih santai dibandingkan kemewahan lobi, dan aroma masakan rumahan langsung menyambut mereka.
Mereka duduk mengelilingi meja, membuka bekal makan siang masing-masing sambil berbagi cerita dan tawa kecil. Aryan, meskipun perutnya terasa lapar, tidak bisa mengusir satu pikiran yang terus mengganggunya. Ia harus mendapatkan jawaban yang lebih meyakinkan.
"Kalian tahu, aku masih agak aneh soal Lantai Tujuh itu," ujar Aryan di sela kunyahan nasinya. "Maksudku, kalau cuma rusak, kenapa harus dilarang keras begitu? Kenapa harus dihilangkan tombolnya di lift umum? Bukannya kalau hotel besar begini, perbaikan harusnya cepat selesai?"
Rima, yang duduk di sebelahnya, menghela napas. "Sudah, Yan. Kenapa kamu penasaran sekali, sih? Danu dan Rio sudah bilang, itu masalah kabel. Hotel ini memang besar dan tua di beberapa sayapnya."
"Iya, tapi..." Aryan menyela, tatapannya menyiratkan kecurigaan. "Ini enggak beres, feeling aku bilang begitu. Kenapa harus semua orang menjawab dengan jawaban yang sama persis, seolah sudah dihafal? Nyonya Lia bilang rusak, kalian juga bilang rusak. Ini kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan."
Ekspresi Dina berubah tegang. Ia segera meletakkan sendoknya, menatap Aryan dengan tatapan peringatan yang tajam.
"Udah, Aryan! Cukup!" seru Dina, suaranya sedikit lebih tinggi dari seharusnya di ruangan yang cukup sepi itu. Ia melirik ke arah pintu dapur, memastikan tidak ada staf senior yang mendengar. "Jangan bahas Lantai Tujuh lagi! Aku serius. Nyonya Lia itu punya telinga di mana-mana. Kalau sampai dia dengar kita mengorek-ngorek soal larangan itu, kita semua bisa kena tegur berat. Lebih baik kita patuh dan fokus saja. Nanti kita malah jadi sorotan dan dicari-cari kesalahannya. Kita semua butuh pekerjaan ini."
Kata-kata Dina sangat menohok. Aryan terdiam, menyadari bahwa rasa penasarannya telah melewati batas dan mungkin membuat rekan-rekannya tidak nyaman. Ia melihat raut wajah Danu dan Rio yang mengangguk setuju dengan Dina. Mereka jelas ingin mengakhiri topik itu segera.
"Maaf, teman-teman," ujar Aryan akhirnya, sedikit merasa bersalah. "Aku janji, tidak akan bahas lagi. Aku cuma terlalu penasaran. Kalian benar, aku harus fokus kerja."
Suasana kembali mencair perlahan. Mereka melanjutkan makan siang, diselingi obrolan ringan tentang kemacetan kota dan rencana liburan. Namun, bagi Aryan, kecurigaan itu tidak hilang. Ia hanya menyimpannya, menyadari bahwa untuk saat ini, ia harus menjaga sikap dan mengikuti arus.
Setelah menyelesaikan makan siang dan membereskan piring, mereka kembali ke lobi untuk melanjutkan pekerjaan shift sore.
Saat mereka sedang menyambut tamu yang baru datang, langkah kaki tegas terdengar dari arah lift pribadi yang biasanya dikhususkan untuk tamu VVIP. Dari lift itu, keluar seorang wanita paruh baya yang usianya mungkin akhir empat puluhan, mengenakan setelan jas eksklusif, dengan aura wibawa yang sangat kuat. Di sebelahnya, berjalan Nyonya Lia.
Semua staf, termasuk Aryan, langsung menegakkan tubuh, memberikan salam hormat yang serentak dan formal.
"Selamat sore, Bu Indah," sapa Nyonya Lia, nadanya penuh respek.
Wanita berjas itu, yang ternyata adalah Indah, Pemilik Hotel ini, membalas sapaan itu dengan senyum elegan.
"Lia, bisakah kamu ikut saya sebentar ke kantor. Ada beberapa hal yang harus saya diskusikan. Dan siapa staf baru yang tampan itu?" tanya Bu Indah, matanya tertuju pada Aryan.
Nyonya Lia tersenyum bangga. "Tentu, Bu Indah. Dia Aryan. Baru mulai hari ini."
"Bagus. Kerja yang baik, anak muda. Saya dengar kamu datang dengan proses yang cepat," kata Bu Indah sambil mengangguk pada Aryan, sebelum kemudian melangkah menuju kantor administrasi diiringi Nyonya Lia.
Kelima staf itu kembali bekerja, namun tak lama kemudian, sebuah interkom berdering di meja front desk.
"Aryan, silakan masuk ke kantor administrasi sekarang juga. Bu Indah ingin bertemu," ujar suara Nyonya Lia dari interkom.
Jantung Aryan berdetak semakin cepat. Ia segera merapikan diri dan berjalan menuju ruangan kantor. Ketika ia masuk, Bu Indah duduk di kursi eksekutifnya, sementara Nyonya Lia berdiri di sampingnya.
"Silakan duduk, Aryan," perintah Bu Indah, menunjuk ke kursi di hadapannya.
Aryan duduk dengan punggung tegak. Ia merasa gugup berada di hadapan pemilik hotel yang begitu megah.
Bu Indah melipat tangannya di atas meja, senyumnya kini terlihat lebih tulus. "Lia sudah banyak bercerita tentang Anda, Aryan. Tentang kecepatan respons Anda dan keseriusan Anda. Di hotel ini, kami menghargai profesionalisme dan kecepatan, terutama saat kami membutuhkan staf mendadak. Anda berhasil melewati standar itu."
Bu Indah kemudian menggeser dua lembar kertas tebal. "Ini adalah Kontrak Kerja Resmi Anda. Mohon dibaca detailnya. Ini kontrak jangka panjang, bukan sekadar kontrak harian. Kami ingin Anda menjadi bagian permanen dari tim kami."
Aryan mengambil kertas itu, matanya memindai dengan cepat. Ia melihat rincian gaji yang tertera.
"Gaji pokok Anda, Aryan, adalah empat juta rupiah per bulan," jelas Bu Indah. "Ditambah dengan tunjangan kesehatan, dan khusus untuk staf malam, Anda akan mendapatkan fasilitas transportasi penjemputan pribadi agar Anda tidak perlu cemas pulang larut malam. Kami menjaga kesejahteraan staf kami."
Angka empat juta itu, ditambah jaminan transportasi, terasa seperti hadiah besar bagi Aryan yang baru kemarin masih bingung mencari biaya sewa kamar kos. Ia tidak menyangka prosesnya akan semulus ini. Semua keraguan yang ia rasakan menguap, digantikan oleh rasa lega dan haru.
"Terima kasih, Bu Indah. Saya berjanji akan bekerja keras," ujar Aryan.
"Saya tahu itu," jawab Bu Indah. "Silakan bubuhkan tanda tangan di tempat yang saya lingkari."
Dengan perasaan campur aduk antara kegembiraan dan sedikit ketidakpercayaan, Aryan mengambil pulpen dan menandatangani kontrak itu. Tindakan itu secara resmi mengikatnya pada hotel mewah yang misterius ini.
Setelah kontrak ditandatangani, Bu Indah menyerahkan sebuah kartu identitas baru. ID Card plastik tebal dengan foto Aryan terpampang jelas, lengkap dengan nama dan jabatannya.
"Ini kartu identitas Anda. Sekarang Anda resmi menjadi bagian dari keluarga The Grand Elegance Residency. Selamat datang," ujar Bu Indah. "Sekarang, kembali bekerja, Aryan. Tunjukkan pada saya bahwa saya tidak salah memilih Anda."
Aryan berdiri, menyalami Bu Indah, dan melangkah keluar dari kantor itu, memegang kontrak dan kartu identitas barunya. Di luar, rekan-rekan kerjanya menyambutnya dengan senyum dan ucapan selamat. Ia sudah resmi, tidak ada lagi jalan untuk mundur. Bahkan jika ada keanehan, ia harus menghadapinya demi gaji yang menjanjikan itu. Ia kembali ke lobi, siap melanjutkan shift kerjanya, kini dengan status sebagai karyawan tetap hotel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Nur Bahagia
jangan kepoo.. Nanti celaka kamu
2025-11-09
0