Tepat pukul satu siang, Aryan sudah berdiri di depan cermin. Kemeja putih terbaiknya disetrika licin, celana bahan hitamnya rapi, dan rambutnya disisir klimis. Ia terlihat profesional, namun di balik penampilannya, ada gelombang kecemasan yang berputar-putar. Ia menghabiskan satu jam penuh hanya untuk merapikan berkas-berkas lamarannya, mencetak ulang CV di print terdekat, dan menyusun semua sertifikatnya ke dalam map plastik yang bersih.
Tiga puluh menit menjelang jadwal wawancara, Aryan sudah duduk di dalam angkot, pandangannya terpaku pada jendela yang bergerak cepat. Jantungnya berdebar, bukan hanya karena harapan, tapi juga karena keraguan yang ditanamkan Bima semalam: Kenapa prosesnya begitu cepat?
Ketika angkot itu berbelok memasuki area pusat kota yang prestisius, mata Aryan langsung menangkap fasad bangunan hotel yang menjulang tinggi, The Grand Elegance Residency. Hotel itu jauh lebih megah dari yang ia bayangkan. Pintu kaca otomatisnya berkilauan, dan lobi dalamnya terlihat luas, mewah, dan hening. Aryan menelan ludah. Ini adalah hotel kelas atas, tempat orang-orang sepertinya hanya bisa melihat dari luar.
Ia turun, merapikan kemejanya sekali lagi, dan berjalan melewati gerbang. Di pos keamanan, seorang petugas keamanan bertubuh besar dan tegap menatapnya tanpa ekspresi.
"Selamat sore, Pak. Saya ada panggilan wawancara untuk posisi staf layanan tamu pukul tiga ini," kata Aryan, mencoba terdengar percaya diri.
Petugas keamanan itu mengerutkan dahi. Ia mengambil buku catatan dan membolak-baliknya dengan suara gemerisik. "Wawancara? Posisi staf? Kami tidak ada jadwal penerimaan karyawan hari ini, apalagi untuk posisi front liner. Semuanya diurus oleh kantor pusat, dan kami biasanya tahu jauh-jauh hari."
Dunia seolah berhenti berputar bagi Aryan. Sesuatu yang dingin merayapi punggungnya. Keraguan yang tadi ia singkirkan kini kembali menghantamnya dengan keras. Aku sudah menduga ini. Ini jebakan. Aku ditipu.
"Tapi... saya dihubungi melalui aplikasi rekrutmen cepat. Dikatakan ini mendesak," Aryan mencoba menjelaskan, suaranya kini terdengar ragu. Ia menunjukkan notifikasi di ponselnya.
Petugas itu hanya menatap layar ponsel itu sekilas, lalu menggeleng. "Saya tidak tahu menahu soal itu. Coba Bapak tunggu di trotoar. Kalau memang ada, biasanya akan ada yang menjemput dari dalam."
Dengan perasaan campur aduk antara malu, marah, dan takut, Aryan menuruti perintah itu. Ia duduk di salah satu bangku semen di trotoar di luar gerbang hotel. Ia segera mencari kontak Bima.
"Bim, ini gawat. Aku udah di depan hotel. Satpamnya bilang nggak ada wawancara hari ini. Mereka bilang mereka nggak tahu apa-apa soal lowongan ini," lapor Aryan, suaranya berbisik penuh kecemasan.
"Tunggu, Yan, jangan panik dulu," respons Bima, suaranya terdengar dari jauh karena ia mungkin sedang dalam perjalanan. "Mungkin itu adalah proses rekrutmen rahasia. Beberapa hotel mewah memang sengaja tidak mengumumkannya secara terbuka di pos keamanan. Mereka pasti ingin melihat seberapa serius kamu. Pokoknya, jangan bergerak dari sana! Tunggu sebentar lagi. Waktu wawancara kan belum masuk."
"Tapi, Bim, ini aneh. Aku merasa kayak orang bodoh duduk di trotoar sambil bawa map. Kalau memang rekrutmen rahasia, kenapa enggak ada peserta lain? Cuma aku doang," keluh Aryan, pandangannya menyapu lalu lintas yang padat.
"Justru itu poinnya! Mungkin mereka hanya butuh satu orang, dan kamu yang terpilih. Tunjukkan kalau kamu sabar dan profesional. Jangan pergi, Yan. Tunggu saja. Palingan cuma lima belas menit lagi," Bima memaksa.
Aryan menghela napas panjang, menuruti Bima sekali lagi. Ia kembali duduk, pikiran kacau balau. Ia merasa seperti sedang menunggu untuk dipecundangi.
Lima menit kemudian, sebuah mobil hitam mewah berhenti perlahan di depan gerbang. Petugas keamanan yang tadi sempat menolaknya kini bergegas mendekati Aryan.
"Bapak Aryan?" tanya petugas itu, nadanya kini lebih hormat. "Silakan masuk, Bapak. Maaf, tadi saya tidak mendapat pemberitahuan. Ada yang menunggu Bapak di dalam. Silakan ikuti saya."
Aryan bangkit, terkejut. Ternyata Bima benar. Ia buru-buru mengikuti petugas itu ke dalam lobi. Kemewahan lobi membuatnya merasa seperti alien, tapi petugas itu membawanya bukan ke front desk, melainkan ke sebuah koridor samping yang mengarah ke bagian administrasi.
Ia diantar masuk ke sebuah ruangan kecil yang tampak seperti kantor, namun kosong. Hanya ada meja kerja besar, komputer, dan seorang wanita paruh baya berusia sekitar empat puluhan. Wanita itu mengenakan blazer hitam rapi, tampak elegan dan dingin.
"Silakan duduk, Tuan Aryan," sambut wanita itu dengan senyum kecil yang nyaris tidak terlihat. "Saya Nyonya Lia, Kepala Administrasi. Saya yang mengurus panggilan Anda."
Aryan duduk. Matanya berkeliling, mencari-cari peserta wawancara lain. Tidak ada. Hanya ada dia dan Nyonya Lia di ruangan itu. Keraguan kembali menyerang, namun ia berusaha menutupinya.
"Terima kasih atas kesempatan ini, Nyonya Lia. Saya Aryan," ujarnya, menyerahkan map berkas.
Proses wawancara berjalan cepat dan tidak terduga. Nyonya Lia tidak banyak bertanya soal pengalaman teknis. Ia lebih fokus pada kesiapan mental, apakah Aryan siap bekerja dalam lingkungan yang "menuntut keheningan" dan "tidak biasa". Aryan menjelaskan dirinya dengan jujur, tentang kebutuhannya yang mendesak dan semangatnya untuk bekerja.
Nyonya Lia mengangguk pelan. "Kami membutuhkan seseorang yang bisa mulai segera, Tuan Aryan. Dan kami tertarik pada keseriusan Anda. Anda diterima. Besok pagi, pukul sembilan, Anda mulai bekerja."
Aryan terperangah. Begitu mudah? Begitu cepat?
"Besok?" tanyanya, tidak percaya.
"Ya. Besok pagi. Ini seragam Anda. Saya harap Anda menyimpannya dengan baik. Besok pagi, Anda datang ke sini dan saya akan menjelaskan secara detail tugas-tugas Anda. Malam ini, Anda istirahat saja." Nyonya Lia menyerahkan sebuah kotak tipis berisi kemeja dan celana seragam staf.
Aryan keluar dari hotel itu dengan perasaan melayang sekaligus tertekan. Di satu sisi, ia memiliki pekerjaan. Di sisi lain, seluruh proses ini—satpam yang tidak tahu, hanya ada dirinya sendiri, wawancara yang terlalu singkat—terasa sangat tidak wajar.
Ia segera menelepon Bima saat ia sudah berada di luar area hotel.
"Aku keterima, Bim! Aku mulai besok," lapor Aryan.
"YES! Aku bilang juga apa! Selamat, Yan!" seru Bima gembira.
"Tapi, Bim, dengerin dulu. Ini aneh banget. Nggak ada peserta lain. Cuma aku doang. Satpamnya tadi pagi nggak tahu apa-apa. Prosesnya cuma sepuluh menit, dan aku langsung disuruh kerja besok," jelas Aryan, kebingungan di suaranya tak tertahankan. "Hotel semewah itu, rekrutmennya kok kayak urgent banget dan misterius gini?"
Bima tertawa di seberang sana. "Anggap saja kamu beruntung, Yan! Mungkin mereka ada staf yang mendadak berhenti karena alasan pribadi. Jangan cari-cari masalah. Kadang hidup itu memberikan kejutan. Kamu dapat pekerjaan! Itu yang penting. Besok kamu datang, jalani, dan jangan banyak tanya. Kamu sudah janji untuk bekerja, kan? Jangan mundur cuma karena feeling nggak enak yang nggak jelas dasarnya."
Kata-kata Bima, meskipun terdengar pragmatis, berhasil menenangkan sedikit pikiran Aryan. Ya. Ia memang sudah berjanji. Ia butuh pekerjaan. Mau tidak mau, aneh atau tidak, besok ia harus datang. Ia harus mulai bekerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Nur Bahagia
kenapa nunggu nya harus di trotoar.. ga manusiawi bangat 🤨
2025-11-09
0
Nur Bahagia
proses recruitment rahasia.. mencurigakan
2025-11-09
0