Pagi itu, mentari belum sepenuhnya menghangatkan dinding kamar kos Aryan. Jarum jam menunjukkan angka delapan tepat ketika Aryan tersentak bangun. Ritual pagi yang biasa ia lakukan adalah mencuci muka dengan air dingin untuk mengusir sisa kantuk, lalu segera meraih ponsel yang semalam ia geletakkan di samping bantal.
Semalam, sesuai janji yang ia buat di bawah tekanan Bima, ia telah mengunggah data dirinya—CV, portofolio singkat, dan surat lamaran umum—ke dalam aplikasi pencari kerja cepat yang direkomendasikan sahabatnya itu. Hatinya masih meragukan efektivitas platform tersebut, namun kebutuhan yang mendesak menenggelamkan gengsinya.
Layar ponsel menyala. Ia membuka satu per satu notifikasi: pesan dari grup futsal, promosi belanja online, dan beberapa e-mail tidak penting. Ia kembali ke laman utama aplikasi lowongan itu. Nihil. Nol pembaruan. Nol pesan masuk. Nol panggilan yang diproses.
Rasa dongkol dan sedikit rasa "sudah kuduga" menyeruak di dadanya. Aplikasi bodoh. Buang-buang waktu. Ia meletakkan ponsel dengan sedikit kasar di meja kecil. Tidak ada gunanya menatap layar. Perutnya berteriak minta diisi. Ia harus segera mencari sarapan.
Aryan beranjak keluar. Udara pagi kota terasa dingin dan berdebu. Ia berjalan ke warung Nasi Uduk langganannya di ujung gang. Setelah mengantre sebentar, ia kembali dengan sebungkus nasi uduk hangat, tiga buah gorengan renyah, dan segelas air mineral. Itu adalah kemewahan kecil yang kini harus ia hitung pengeluarannya.
Setibanya di kamar kos, ia meletakkan semua belanjaannya di meja. Langkah pertamanya adalah mengambil piring bersih dari tumpukan cucian piring, karena makan langsung dari bungkus kertas terasa kurang pantas.
Saat ia baru saja meraih piring, ponselnya yang tergeletak di kasur berkedip. Bukan sekadar kedipan pesan WhatsApp, melainkan notifikasi push dari aplikasi yang sama sekali tidak ia harapkan. Awalnya, ia mengira itu hanya pesan masuk dari Bima yang menanyakan apakah ia benar-benar sudah mengunggah CV.
Namun, sesuatu yang ganjil menarik perhatiannya. Lambang notifikasi itu berbeda, bukan logo WhatsApp. Ia segera kembali ke kasur, menjatuhkan piring dengan hati-hati.
Layar ponselnya menampilkan pemberitahuan singkat dan formal: "Panggilan Wawancara – Posisi Staf Layanan Tamu."
Jantung Aryan berdebar kencang, perpaduan antara terkejut dan rasa tidak percaya. Ia membuka aplikasi tersebut. Pesan itu merinci segalanya: sebuah hotel mewah yang namanya disamarkan, kita sebut saja "The Grand Elegance Residency", mengundang dia untuk wawancara kerja pada sore hari itu juga. Tepatnya pukul tiga sore.
"Astaga! Secepat ini?" gumam Aryan, matanya memindai alamat yang dicantumkan. Itu adalah hotel yang sangat terkenal karena kemewahan dan reputasinya, terletak di kawasan elite pusat kota. Hotel yang, sejujurnya, tidak pernah ia bayangkan akan melamarnya.
Kebingungan melanda. Apakah ini benar? Apakah ini penipuan? Begitu cepat responsnya, padahal ia baru mengirimkan CV tidak sampai dua belas jam yang lalu. Ia segera menelepon Bima.
Panggilan tersambung setelah dering kedua. "Halo, Yan! Gimana? Udah lihat notif WhatsApp dari aku? Aku kirim link wawancara online yang lain juga," sapa Bima riang.
"Bim, bukan itu. Aku... aku dapat notifikasi. Dari aplikasi yang kamu suruh aku pakai semalam," kata Aryan, nadanya antara tegang dan girang.
"Oh, ya? Bagus dong! Notif apa? Sudah ada yang tertarik?" tanya Bima antusias.
"Bukan cuma tertarik. Mereka panggil aku wawancara! Hari ini, pukul tiga sore. Di The Grand Elegance Residency, Bim. Kamu tahu kan, hotel yang itu? Yang megah banget. Mereka butuh Staf Layanan Tamu."
Hening sesaat di seberang sana.
"Serius, Yan? Hotel itu?" Bima terdengar terkejut, namun kemudian suaranya berubah menjadi sangat mendukung. "Gila! Aku bilang juga apa. Aplikasi itu kencang banget kalau urusan hotel dan perhotelan. Mereka selalu butuh orang cepat."
"Tapi, Bim, ini aneh. Baru semalam. Apa aku harus datang? Aku takut ini scam atau semacamnya," tanya Aryan, nada keraguannya terdengar jelas.
"Dengar, Yan," Bima berbicara dengan tegas. "The Grand Elegance Residency itu hotel besar. Mereka tidak akan main-main. Kemungkinan mereka sedang kekurangan staf mendadak atau ada proyek besar. Ini kesempatan emas, Yan. Kesempatan yang tidak datang dua kali. Kalau memang mereka butuh orang cepat, kamu harus tunjukkan bahwa kamu adalah orang itu."
"Jadi... aku harus pergi?"
"Seratus persen! Datang. Berikan kesan terbaikmu. Bawa CV cetak yang rapi, pakai baju terbaikmu. Anggap ini rezeki dari Tuhan setelah kamu dipecat. Jangan buang kesempatan ini, Yan! Aku dukung seribu persen!" semangat Bima meledak-ledak.
Dorongan kuat dari Bima berhasil memadamkan sisa keraguan di benak Aryan. Benar. Ia tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Ini adalah jalan keluar yang sangat cepat.
"Oke, Bim. Aku akan datang. Terima kasih banyak, serius. Aku enggak tahu harus gimana kalau kamu enggak maksa aku semalam," ucap Aryan, kini rasa syukur menggantikan kebingungannya.
"Sama-sama. Sekarang, matikan telepon ini. Kamu sarapan dulu, tenangkan pikiran. Jangan panik. Pukul satu kamu mulai siap-siap. Nanti malam kita video call, aku tunggu kabar baik darimu!" tutup Bima.
Aryan menutup panggilan itu. Ia memandang sebungkus nasi uduk yang mulai mendingin di atas meja. Rasa lapar yang tadi tertunda kini kembali menyeruak, namun kali ini bercampur dengan rasa optimisme yang membara. Ia mengambil piring, membuka bungkusan, dan duduk bersila. Pagi itu, sarapan nasi uduk terasa paling nikmat karena disajikan bersama harapan baru yang besar. Ia harus makan dengan tenang, mengisi tenaga, dan mempersiapkan diri untuk pintu rezeki baru yang baru saja terbuka lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Nur Bahagia
padahal malah lebih nikmat lho kalo makan langsung dari bungkus nya 🤭
2025-11-09
0