Corvina merebahkan tubuh di atas ranjangnya. Baru pertama kalinya ia merasa lega karena bisa meluapkan kekesalannya, di kehidupannya yang dulu ia hanya bisa memendam apapun yang ia rasakan tanpa bisa mengutarakannya. Mulai saat itu, Corvina bertekad akan memperbaiki hidupnya da menjalaninya dengan damai.
"Yang mulia, apa anda mau di buatkan teh?" tanya cesie, "anda sepertinya terlihat sangat kelelahan."
"Kamu salah, Cesie," jawabnya sambil tersenyum tipis, "justru aku tidak pernah merasa selega ini selama hidupku,"
Pelayan muda itu mengernyit, menatapku dengan ragu. Ia merasa ada yang aneh dengan sang ratu yang tak nampak seperti biasanya.
"Apa anda tidak merasa sedih, Yang Mulia? melihat Yang Mulia kaisar menjadikan Lady Meriel sebagai selir?"
Corvina bangun dan duduk menghadap jendela, menatap ke luar jendela. Langit sore Ardelia ternyata sangat indah.
"Tidak lagi, Cesie. Aku sudah tidak peduli dengan mereka berdua..."
"Benarkah?" Suara berat itu memecah udara.
Kaisar Cassian berdiri di ambang pintu, menatap ratu dengan sorot mata yang sulit dibaca. Cesie segera menunduk dan berjalan mundur meninggalkan mereka berdua.
"Benarkah Ratu sudah tidak peduli lagi dengan Kaisarnya?" tanya Cassian lagi, perkataan Corvina membuatnya heran. Ratu yang selalu mengejarnya, yang selalu haus akan perhatiannya kali ini terlihat berbeda dan itulah yang membuat Cassian berdiri di kamar Corvina saat itu.
"Yang Mulia selalu nampak tidak senang denganku," jawab Corvina pelan, seraya berdiri dan menunduk memberi hormat. "jadi mulai saat ini, saya sudah memutuskan merubah sikapku."
Cassian duduk di sofa yang ada di kamar Corvina, lalu memberi isyarat dengan tangannya agar Corvina duduk di dekatnya. Corvina menurut, dan duduk di samping Cassian.
"Merubah sikap atau merubah strategi?" tanya Cassian, "atau Jangan-jangan Ratu sedang mempersiapkan sesuatu yang mengejutkan?"
"Kalau Yang Mulia menganggap demikian, saya tidak bisa membantah. Merubah strategi maupun merubah sikapku tidak akan membuatmu berpaling dari selirmu."
"Jadi kamu cemburu? makanya kamu bertingkah sebagai bentuk protesmu?" tanya Cassian.
"Yang Mulia terlalu percaya diri, sampai bisa menyimpulkan sikapku ini sebagai bentuk protes karena rasa cemburu."
Cassian terdiam sejenak. Tatapan matanya menelusuri wajah Corvina yang kini jauh berbeda dari wanita lembut yang dulu selalu menunduk di hadapannya.
Ada sesuatu dalam cara ratu itu berbicara, terlihat tenang, penuh perhitungan, tapi tidak lagi memohon.
“Sepertinya Ratu benar-benar berubah,” katanya akhirnya. Suaranya rendah, nyaris seperti gumaman.
“Dulu kasih sayang ratu yang terlalu menggebu-gebu dan sikap ratu yang tak mudah di tebak, sekarang justru aku yang tak bisa membaca pikiranku sendiri saat melihatmu begini.”
Corvina menatapnya datar, meski dalam dadanya terselip getir yang nyaris lucu. Kaisar ini bahkan tidak sadar betapa mudahnya ia terguncang hanya karena kehilangan kendali.
“Saya hanya lelah, Yang Mulia,” ujarnya perlahan. “Lelah berusaha menjadi seseorang yang bahkan tak pernah kamu lihat."
Cassian menyipitkan mata. “Jadi kamu ingin aku memperhatikanmu sekarang?”
“Tidak.” Corvina tersenyum kecil. “Justru sekarang saya ingin merelakan kasih sayang Yang Mulia untuk Lady Meriel.”
"Kalau benar seperti itu, betapa mulianya hati Ratu, "
"Tentu saja, dengan saya tidak menghukum nya saja sudah bisa di bilang tindakan mulia. Coba Yang Mulia memposisikan menjadi diriku, melihat pelayan dari kediaman keluarga yang di bawa ke istana karena belas kasih ternyata berkhianat dengan diam-diam naik ke ranjang suamiku."
"Jangan menyalahkannya, aku lah yang tertarik kepadanya lebih dulu," ujar Cassian, "melihat kepolosan nya dan wajahnya yang selalu nampak sedih membuatku ingin melindunginya."
"Yang Mulia memang penuh belas kasih," balas Corvina, "Kenapa tidak semua pelayan dari istana ratu yang wajahnya nampak polos dan nampak bersedih di jadikan selir Yang Mulia saja." sarkasnya.
"Mulut Ratuku sekarang mulai lancang,"
"Saya hanya memberikan usulan kepada Yang Mulia. Dan satu hal yang perlu yang mulia ingat, saya tidak akan lagi mencampuri urusan asmara Yang Mulia karena saya sudah lelah."
Keheningan melingkupi kamar. Angin sore dari jendela mengibaskan tirai sutra, membawa aroma bunga lily yang dulu Cassian sendiri pilihkan untuknya. Kini, aroma itu justru terasa seperti pengingat betapa sia-sianya semua yang pernah ia janjikan.
Cassian menegakkan tubuhnya. "Kamu berbicara seperti wanita yang sudah menyerah.”
“Tidak,” jawab Corvina, suaranya tenang tapi menusuk. “Saya berbicara seperti seseorang yang baru saja terlahir kembali.”
Kata-kata itu menggantung di udara, menembus kesadaran Cassian dengan lambat tapi pasti. Ada sesuatu yang dingin di tengkuknya, entah karena firasat atau sekadar bayangan dari mata Corvina yang berkilat seperti baja.
Ia berdiri, menatapnya lama sebelum berbalik menuju pintu.
"Kalau begitu," ucap Cassian pelan, "semoga kelahiranmu kali ini tidak membuatmu menyesal."
Pintu tertutup lembut di belakangnya.
Corvina memejamkan mata, menarik napas panjang. Dalam diam, senyum tipis muncul di bibirnya, bukan senyum seorang wanita yang patah, melainkan seseorang yang baru saja menyusun langkah pertama dari rencana panjang.
"Menyesal?" gumamnya pelan, nyaris seperti amarah yang tertahan. "Yang akan menyesal… bukan saya Yang Mulia."
Di luar, lonceng istana berdentang mengumumkan malam penobatan selir Meriel.
Dan di dalam kamar yang kini sunyi, Corvina mulai menenun benang dendamnya yang pertama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments