Bab 4

Bu Elia berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada. Tatapan matanya tajam, setajam pisau yang siap menebas siapa pun yang berani mengusik harga dirinya.

Di depannya, berdiri seorang pria berwajah lelah dengan rambut yang sebagian sudah memutih, Pak Samil, ayahnya Shanum. Baju pria itu kusam, sepatunya kotor sisa perjalanan jauh. Namun, dalam sorot matanya, tersimpan harapan besar yang begitu rapuh.

"Mau apa kamu ke sini?" tanya Bu Elia sinis. Nada suaranya dingin, seolah tiap kata keluar untuk melukai.

“Mau jenguk Shanum, Bu. Bukannya minggu ini waktunya dia lahiran?” jawab Pak Samil, menunduk sopan, menahan gugup. Ujung jarinya meremas-remas topi lusuh di tangan, seakan berusaha menahan getar di dadanya.

Namun, jawaban yang datang bukan kabar gembira, melainkan badai yang menghancurkan segala harapan.

“Dia sudah pergi dari sini setelah membunuh Alvin,” ujar Bu Elia lantang, suaranya memecah udara pagi seperti petir.

“Astaghfirullahaladzim!” seru Pak Samil kaget. Tubuhnya serasa kehilangan tulang, napasnya memburu, langkahnya goyah. Dunia di sekelilingnya mendadak kabur.

“Tidak mungkin. Shanum tidak mungkin melakukan hal sekejam itu, Bu. Dia mencintai Alvin! Dia menghormati suaminya. Shanum itu anak yang penurut,” lanjut Pak Samil dengan suaranya bergetar, antara marah dan hancur.

Bu Elia mendengus keras.

“Heh, dia itu kabur sama laki-laki lain! Anak dalam perutnya juga bukan anak Alvin! Selamanya aku tidak akan pernah mengakui anak itu sebagai cucuku. Camkan itu!” teriaknya, penuh kebencian yang memancar dari wajahnya. Suaranya menggema, menembus pagar, bahkan menarik perhatian para tetangga yang diam-diam mengintip dari balik tirai.

Pak Samil terpaku. Seolah seluruh darah dalam tubuhnya berhenti mengalir. Kedua matanya berkaca-kaca, menatap sosok perempuan yang kini menjadi dinding kokoh antara dirinya dan anaknya. Ia datang dari jauh, menempuh perjalanan seharian penuh dengan harapan kecil bisa menatap wajah Shanum dan cucunya. Akan tetapi yang ia dapat hanyalah tuduhan dan hinaan.

Tanpa ampun, Bu Elia membanting pintu. Suara kerasnya membuat kaca jendela bergetar, seolah ikut menangis bersama langit yang kembali meneteskan gerimis.

Di depan pintu yang kini tertutup rapat, Pak Samil berdiri terpaku. Tangannya menggenggam topi lusuh di dada. Air matanya jatuh tanpa suara, menyatu dengan tetes hujan yang membasahi pipinya yang keriput.

"Shanum ... kamu di mana, Nak? Ayah datang untuk mencari kamu," gumam Pak Samil lirih, nyaris tak terdengar. Suaranya serak, penuh luka yang tidak bisa disembuhkan dengan kata-kata.

Ia menengadah ke langit. “Ya Allah, di mana pun putriku berada, lindungilah dia. Jangan biarkan anakku tersesat di dunia yang kejam ini.”

Dengan langkah gontai dan tubuh lunglai, Pak Samil meninggalkan rumah besannya itu. Dalam perjalanan pulang ke desa, doa dan air mata menjadi teman setianya. Setiap kali angin malam berhembus, hatinya terasa semakin kosong, seolah ada bagian dari dirinya yang tercerabut dan tak akan pernah kembali.

***

Shanum sedang duduk di tepi ranjang dengan wajah lelah namun teduh. Di pelukannya, Abyasa menyusu dengan lahap. Bayi mungil itu seolah tidak ingin lepas dari kehangatan wanita yang menyusuinya. Tangan yang kecil menggenggam kuat ujung baju Shanum, seolah berkata: "Aku butuh Ibu."

Bibir Shanum mengukir senyum lembut, tapi matanya berkaca-kaca.

“Kalau menyusu seperti ini, lama sekali kamu, Nak,” bisik Shanum pelan. “Berbeda dengan Arsyla, dia cepat kenyang. Kamu benar-benar kuat, ya?”

Pintu kamar terbuka tiba-tiba.

“Shanum, aku sudah—” suara bariton Sagara terhenti.

Matanya membulat ketika melihat Shanum sedang menyusui. Seketika, wajahnya menegang, lalu memalingkan pandangannya cepat-cepat. Begitu pula Shanum yang spontan memunggungi arah pria itu. Pipinya panas, jantungnya berdegup tak karuan.

Sagara berdeham gugup. “Nanti … kamu datang ke ruang kerjaku!” katanya singkat sebelum menutup pintu dan pergi dengan langkah cepat. Ia menuju kamarnya, mencoba menenangkan pikirannya di balik uap air hangat dari bathtub. Berjuang melawan pikiran-pikiran yang tak sepantasnya muncul.

Beberapa jam kemudian, Shanum berdiri ragu di depan pintu ruang kerja. Tangannya menggenggam ujung jilbab, menunduk dalam.

Sagara duduk di sofa, bertumpang kaki, wajahnya datar seperti biasa. Ia menyerahkan sebuah amplop cokelat.

"Apa ini ayahmu?" tanyanya tanpa basa-basi. "Orangku sudah pergi ke rumahmu di kampung. Dia sakit dan langsung dibawa ke rumah sakit."

Shanum membeku. Jantungnya berdebar tak karuan. Tangannya gemetar saat membuka amplop itu dan begitu melihat foto di dalamnya, tubuhnya melemas.

Foto itu memperlihatkan ayahnya terbaring di atas brankar, tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat seperti kehilangan cahaya hidup.

“Ya Allah, Ayah ....” Suara Shanum pecah. Air mata menetes satu per satu, jatuh di atas foto yang kini ia dekap di dada. “Kenapa jadi begini, Ayah? Sakit apa beliau, Pak?”

Sagara menatap wanita muda itu lama, lalu berkata pelan, “Tenang saja. Ayahmu sudah mendapatkan perawatan dari dokter terbaik. Dia sakit karena terlalu memikirkan kamu. Tapi sekarang, dia sudah lebih baik. Setelah tahu kamu baik-baik saja.”

Shanum menunduk, bahunya bergetar menahan tangis. “Terima kasih, Pak. Bapak sudah mau mencari keberadaan Ayah saya,” ucapnya lirih sambil menyeka air matanya.

Sagara menggeser paper bag ke arahnya. “Ini ponsel untukmu. Sudah ada nomor kontak ayahmu di dalamnya.”

Shanum menatap benda itu seolah tak percaya. “Terima kasih, Pak. Bapak, sangat baik sekali,” ucapnya dengan suara bergetar, senyum tipis mengembang di bibirnya yang masih basah oleh air mata. Dalam hatinya, ia tahu kebaikan itu mungkin dibayar mahal, tetapi ia tetap bersyukur.

Sagara hanya berdehem kecil. “Dua ponsel itu dipotong dari gaji kamu bulan depan,” ujarnya datar.

Shanum mengangguk cepat, meski dadanya perih. “Iya, Pak. Terima kasih banyak.”

Shanum beranjak keluar perlahan, menunduk dalam. Begitu pintu tertutup di belakangnya, air matanya kembali jatuh. Ia memeluk foto ayahnya erat-erat sambil berbisik lirih.

“Ayah, aku rindu sama Ayah. Aku mohon bertahanlah. Tunggu aku pulang."

Di balik pintu, Sagara hanya menatap punggungnya yang menjauh, lalu menarik napas panjang. Entah mengapa, di balik sikap dinginnya, ada sesuatu di dadanya yang ikut sesak, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

***

Hari ini crazy up, ya. Dari kemarin sinyal jelek.

Terpopuler

Comments

Kar Genjreng

Kar Genjreng

iya sudah mulai tak baca terimakasih Lo ya Thor semoga banyak Raeder nya yang mau membaca 👍,,,,😭😭sedih tapi senang ternya Sagara sangat baik mau menyuruh orang ke kampung nya Arum,,,,dan sekarang tau kebaikan Sagara. selalu di Potong gaji tetapi buktinya masih di urus ayah Arum ,,,agar bisa berkomunikasi di kasih hp ayah dan Arum,,

2025-10-24

1

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

Shanum semoga apa yang terjadi sama kamu kelak hanya Allah yang balas perbuatan keluarga mendiang suami kamu yah, karena mereka dengan keji mengusir dan bahkan kamu tidak bawa apa" ketika diusir yah,,,

2025-10-24

1

Nanik Arifin

Nanik Arifin

klo crazy up, kasih banyak hadiah Thor 🙂

2025-10-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!