Bab 3

Shanum menatap gundukan tanah merah itu tanpa berkedip. Air matanya menetes tanpa henti, membasahi ujung jilbab yang menempel di pipinya. Dua hari sudah berlalu sejak bayi mungilnya, Malik Abdul Latief, pergi meninggalkannya. Namun, luka di dadanya terasa baru saja disayat pagi ini.

Jari-jarinya yang gemetar menyentuh papan nisan kecil bertuliskan nama putranya.

“Malik Abdul Latief.”

Sebuah nama yang sarat makna, nama yang dulu begitu diimpikan oleh Alvin.

“Kalau nanti kita punya anak laki-laki, aku ingin dia punya nama yang mirip ayahku — Latief,” begitu kenangan suara Alvin berputar di kepala Shanum.

Ia menutup mata, menahan napas yang tersengal. Luka kehilangan suami dan kini kehilangan anak membuatnya serasa hidup hanya dengan separuh jiwa.

“Semoga Allah mempersatukan kita semua di akhirat nanti,” ucap Shanum dengan suara parau.

Kata-kata itu terucap lirih, seperti doa yang hanyut bersama angin sore.

Sagara berdiri beberapa langkah di belakangnya, menatap tanpa ekspresi. Dialah yang mengurus semua biaya dan administrasi pemakaman.

Shanum bahkan tidak tahu bagaimana pria itu bisa menemukan makam Alvin. Kini, Malik dimakamkan di samping ayahnya, seolah takdir mengizinkan mereka berdua beristirahat berdampingan, sementara Shanum sendiri harus melanjutkan hidup dengan hati yang tercerai-berai.

“Hari sudah mulai sore. Sebaiknya kita cepat pulang,” ujar Sagara datar, tanpa nada simpati di suaranya.

Shanum menatap sekali lagi ke dua gundukan tanah itu. “Tunggulah, Malik ... Mas Alvin, tunggulah aku di surga nanti,” bisiknya nyaris tanpa suara, sebelum akhirnya dia melangkah pergi dengan tubuh lemah.

Langkah Shanum pelan dan tertatih. Luka operasi di perutnya masih nyeri. Setiap kali kakinya melangkah, perih itu terasa menembus sampai ke dada. Rasa sakit itu tak seberapa dibanding kehilangan yang ia alami.

Di dalam mobil, suasana sunyi. Hanya suara mesin dan napas Shanum yang berat. Dia duduk di kursi depan, menundukkan kepala sambil menggenggam ujung jilbabnya yang lembap oleh air mata.

Dalam diam, pikirannya mengembara ke masa lalu, saat Alvin menemaninya mengandung. Suaminya akan memegang tangannya setiap kali dia merasa takut. Sekarang, tak ada lagi tangan itu. Yang tersisa hanyalah kesunyian dan dada yang sesak.

Tiba-tiba, suara Sagara memecah keheningan.

“Turunlah,” ucapnya pendek, tanpa menoleh.

Shanum menatap keluar jendela, bingung. Mereka berada di parkiran sebuah pusat perbelanjaan besar. Wanita itu tidak bertanya apa pun. Dia hanya menurut, seperti boneka yang kehilangan arah.

Sagara melangkah masuk ke sebuah butik. Suaranya tenang tapi tegas saat berbicara dengan pegawai.

“Tolong carikan pakaian untuk ibu menyusui. Ukuran dia,” kata Sagara tanpa menoleh sedikit pun ke arah Shanum.

Shanum menatap dengan perasaan campur aduk.

Ia bahkan lupa kalau tak punya pakaian lain selain yang menempel di tubuhnya sekarang. Saat dia diusir semalam oleh mertua dan iparnya, tidak membawa satu pun barang, apalagi uang.

“Baik, Pak,” jawab pegawai dengan sopan, lalu menumpuk banyak pakaian di meja pajangan.

Sagara memeriksa sekilas, lalu berkata dingin, “Bungkus semua.”

“Tunggu,” ucap Shanum cepat. Pandangannya tertuju pada beberapa pakaian berlengan pendek. “Saya pakai jilbab, Pak. Tidak perlu baju yang itu.”

Sagara baru menoleh, menatapnya sesaat dengan tatapan datar yang sulit dibaca. “Kamu pilih sendiri. Sesuai selera.”

Shanum menarik napas pelan. Ia memilih tiga gamis sederhana berwarna lembut dan dua baju daster untuk tidur, dengan kancing depan agar mudah menyusui, meski kini tak ada bayi lagi untuk disusui.

Tangan Shanum bergetar saat menyentuh kain. Rasanya seperti menyiapkan diri untuk kehidupan yang sudah tak sama.

Dalam perjalanan pulang, tak ada satu pun dari mereka yang bicara. Hanya hujan rintik kecil yang kembali turun, mengetuk kaca mobil seperti irama kesedihan.

“Terima kasih, Pak, sudah membelikan pakaian untuk saya,” ucap Shanum pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.

Sagara menatap ke depan, kedua tangannya tetap di setir.

“Aku tidak membelikan baju kamu secara gratis,” ujarnya datar. “Semuanya akan dipotong dari gaji kamu.”

Shanum mengangguk perlahan. Tidak tersinggung, tidak juga marah. Ia sudah terlalu lelah untuk merasa apa pun.

Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menunduk, menggenggam ujung jilbabnya, dan menahan air mata yang nyaris jatuh lagi.

Mobil hitam milik keluarga Sagara berhenti di depan rumah besar bercat putih gading. Pagar besi tinggi berdiri kokoh, seperti menandakan jarak antara orang-orang kaya di dalamnya dan dunia kecil yang dulu dihuni Shanum bersama almarhum suaminya.

Mami Kartika menyambut kedatangan mereka. Dia langsung menggandeng tangan Shanum lembut. Membawanya ke dalam rumah.

“Anggap rumah ini rumahmu juga, Nak. Jangan sungkan.”

Dindingnya dipenuhi lukisan keluarga, foto Sagara muda bersama istrinya. Wajah wanita itu sangat cantik, pantas Sagara mencintainya.

Shanum menatap foto itu lama-lama. Ada rasa nyeri di dada, karena tidak menyangka ada ibu yang tega meninggalkan anaknya yang baru saja lahir.

“Dia ... Sonia, istri Sagara,” ucap Mami Kartika pelan, seolah membaca pikirannya. “Dia pergi meninggalkan setelah melahirkan bayi kembar itu. Mereka belum sempat mengenal ibunya.”

Shanum mengangguk pelan. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak dalam hati. Antara sedih, haru, dan rasa bersalah yang tak jelas sumbernya. Seolah dua bayi itu bukan hanya membutuhkan dirinya, tetapi juga menjadi titipan untuk menebus kehilangan yang sama-sama dialami.

Hari pertama Shanum di rumah itu berjalan dengan campuran gugup dan haru. Dua bayi mungil itu, yang belakangan ia tahu bernama Abyasa dan Arsyla, terus menangis mencari dekapan hangat. Shanum memeluk mereka dengan lembut, mengusap kepala keduanya sambil membisikkan shalawat dan doa di telinganya.

“Tenang, Sayang … Mama di sini,” bisik Shanum refleks, lalu tersentak sendiri. Kata mama terucap begitu saja. Ia menatap bayi di gendongannya, lalu menunduk sambil menahan isak.

“Maaf, aku bukan mama kalian. Tapi izinkan aku mencintai kalian seperti anakku sendiri.”

Abyasa menggenggam jari telunjuknya kecil-kecil, sementara Arsyla membuka matanya pelan, menatapnya dengan pandangan polos yang seolah mengerti. Hati Shanum luluh seketika.

Terpopuler

Comments

Nar Sih

Nar Sih

semagat dan sabar ya shanum 💪semoga suatu hri nanti kmu temui kebahagiaan mu

2025-10-22

4

Kar Genjreng

Kar Genjreng

kenapa belummm update ohhh iya janji tiga bab ya Ok di tunggu ga sabar,,, masalah ini ada author yang tidak meneruskan padahal bagus ceritanya baru tiga bab,,,sedih lah pada pindah semua,,,😭😭

2025-10-24

1

Sukhana Ana lestari

Sukhana Ana lestari

Semoga dgn kesabaranmu Allaah limpahkan keberkahan bersama baby twins sehat semangat terus ya Num.. krn Allaah tdk akan menguji hambanya melebihi batas kemampuan ny.. 💪💪😘😘

2025-10-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!