“Pergilah. Kebetulan aku capek, anakmu juga tidak rewel. Semoga semua laku, ya,” kata si ibu sambil tersenyum, memberi semangat tanpa banyak basa-basi.
Liora memantapkan hati, melangkah ke trotoar sambil memeluk bungkusan dan ayam di sampingnya. Penjual kanan-kiri berteriak menawarkan dagangannya. Aroma sayur segar bercampur debu jalan membentuk simfoni pasar yang riuh.
“Murah, murah! Dua puluh ribu, beli dua dapat tiga! Mari merapat, Bu, yo-yo!” teriak seorang pria jangkung, mempromosikan dagangan sendalnya.
Liora berhenti sejenak, menunduk menatap sandal jepitnya yang berbeda warna—satunya bertali merah, satunya bertali ungu.
“Syukurlah kulit wajahku tebal. Rasa malu tak menembus ke tulang pipi,” pikirnya. Dengan langkah congkak tapi setengah malu, ia melewati pedagang sendal dan terus menelusuri jalan hingga menemukan pengepul sayur di persimpangan deretan penjual pisang.
Di sana berdiri sebuah toko pengepul sayur sederhana. Atapnya dari seng berkarat yang menampung panas, sementara di bawahnya bertumpuk karung goni berisi sayur, daun, dan buah yang masih meneteskan sisa embun. Meja kayu panjang di tengah toko dipenuhi timbangan tua dan beberapa baskom plastik berwarna pudar. Aroma bawang dan tanah menguar lembut—tanda tempat itu sudah bekerja sebelum matahari benar-benar naik.
“Duh, timbangannya rusak? Masa alpukat tiga biji sudah sekilo?” tanya seorang ibu bongsor dengan nada sedikit protes.
Seorang pemuda brewok tipis yang sedang mengupas bawang menanggapi, “Itu alpukat segede tangan Ibu, loh. Gemuk dan berisi, jadi wajar buahnya berat,” ujarnya santai dengan nada menggoda.
Ibu lain yang mengenakan baju kantoran menutup mulut, berusaha menahan tawa sambil memilah tomat dan wortel. Dia tak berani menawar, takut kena sindiran halus seperti ibu gembul di sebelahnya.
Liora semakin pesimis, khawatir dagangannya tidak laku. Ia menelan air liurnya, jantung berdebar. Sayurnya hanya beberapa liter terong, cabai kurang dari satu kilo, dua jantung pisang, dan dua puluh tiga mangga muda hasil curian. Daun labu? Sudah pasti layu, tak ada peluang terjual.
Seorang pemuda bertato di punggung, tanpa baju, bernama Riko—sekitar sembilan belas tahun—menoleh. Matanya menatap Liora dengan ekspresi aneh sekaligus geli; mungkin karena pemandangan gadis lusuh yang memeluk ayam dan menyeret bungkusan kain di samping kaki.
“Ada yang bisa kubantu, Dek?” tanya pemuda itu, mencoba menebak usia Liora dari tubuhnya yang kecil, kurus, dan pendek. Riko yakin gadis ini lebih muda darinya.
“Ehem... anu... aku mau jual ini,” jawab Liora lalu berjongkok. Tangannya gemetar, basah karena keringat—antara gugup dan lapar. Ia membuka simpul sarung sedikit demi sedikit karena ikatannya cukup kuat. Setelah berhasil, ia memperlihatkan hasil panen beserta mangga muda yang masih terjaga statusnya.
Pemuda itu diam. Beberapa ibu yang sedang belanja pun menghentikan aktivitasnya, mengamati Liora.
“Oh, kemarin daun labunya masih segar, sekarang sepertinya layu... hehe, tapi yang lain masih segar. Bagaimana?” tanya Liora penuh harap, menengok ke atas dengan wajah lelah. Di hatinya, ia hanya berharap Tuhan berbelas kasih melalui orang di depannya—Salwa butuh makan, bukan batu.
Pemuda bertato itu menggaruk kepalanya. Jujur saja, dagangan Liora terlalu sedikit untuk benar-benar dibutuhkan. Namun melihat gadis itu yang kurus kering, memeluk ayam, ia merasa dilema. Ia menggaruk kepala lagi, mencoba merogoh kantong, berniat bersedekah, tetapi rencana untuk membeli dagangan agar gadis itu tidak tersinggung tetap ada. Uangnya, sayangnya, tak juga ditemukan di kantong.
Liora sedikit berharap. Diamnya pemuda biasanya tanda “iya”—begitu ia memahami dari pengalaman membaca novel jadul kehidupan sebelumnya.
“Seratus ribu cukup?” tanya tiba-tiba pemuda yang bernama Adit, yang tadi mengupas bawang. Ia tidak menanyakan harga satuan, malah menyodorkan uang seratus ribu di depan Liora, yang masih tersenyum paksa. Sepertinya gadis ini menahan tangis; matanya sedikit berembun. Ia tampak seperti anak kucing kampung yang tercebur di comberan.
Liora menatap uang itu dengan ekspresi lega. Akhirnya, dia bisa makan—dan anaknya juga. Saking bahagianya, seluruh deretan giginya kelihatan. Tangannya terangkat pelan, sampai ujung jarinya menyentuh uang tersebut, barulah ia menjawab,
“Ah, kakak tampan ini... cukup,” ucapnya ceria.
Adit tersenyum geli; pipinya memanas. Disebut tampan di depan umum ternyata punya efek samping aneh—hatinya berdesir.
Riko di sampingnya cuma mendengus.
“Halah, tampan dari mana? Cuma menang rajin cuci muka.”
Ternyata gadis ini benar-benar beda. Mulutnya seperti rem blong, tapi anehnya bukan tipe yang menyebalkan. Lebih mirip angin yang entah kenapa terasa segar saat keringatan.
“Senang bekerja sama dengan Kakak!”
Liora tanpa ragu meraih tangan Adit dan menjabatnya penuh semangat. Goyangan tangannya begitu antusias sampai Adit nyaris kehilangan kendali atas otot wajahnya sendiri. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya, bersentuhan dengan gadis membuat tubuhnya langsung kaku.
“Eh—iya, aku juga... senang. Kalau ada sayur lagi, bawa saja ke sini,” ujarnya terbata, mencoba terlihat tenang padahal jantungnya dangdutan.
“Iya, iya. Punyaku juga halal, kok,” jawab Liora cepat, suaranya naik setengah oktaf—setengah yakin, mengingat kalau mangga yang dijualnya tadi hasil nyolong dari kebun tetangga.
Ia buru-buru melepaskan tangan Adit. Tanpa jeda, ia berjongkok mengambil ayam yang tergeletak di lantai—hewan malang itu tampak seperti mewakili seluruh isi hidupnya: lelah, haus, dan pasrah akan takdirnya.
Liora menepuk bulu ayam itu pelan, lalu bergumam, “Saatnya kau dieksekusi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Moh Rifti
double upnya thor
2025-10-31
0
💞 NYAK ZEE 💞
masih baca .....
2025-10-21
0