Perang Pertama Liora

Liora mengambil karung bekas dan parang, Untungnya, ingatan ibu malang itu masih tertinggal di kepalanya; setidaknya ia tahu jalan ke gunung di belakang kampung.

Perjalanan pun dimulai. Mereka menapaki jalan setapak licin yang tampak lebih cocok untuk kambing daripada manusia. Liora menuruni sungai kecil, lalu mendaki kebun tetangga yang penuh pohon cokelat dan jambu mete—pemandangan indah, kalau saja napasnya tak terdengar seperti napas terakhir seorang veteran kehidupan. Tubuhnya basah oleh keringat, sementara Salwa di punggungnya bergumam pelan tanpa arti; entah nyanyian, entah doa pendek agar ibunya tidak pingsan di tengah jalan.

Ketika mereka sampai di pagar kebun, Liora berhenti. Matanya langsung terpaku pada beberapa pohon mangga yang berbuah lebat dan tanaman cabai yang tumbuh liar di sekitarnya. Senyum miring muncul di wajahnya, jenis senyum yang biasa muncul sebelum dosa kecil dilakukan.

Setelah memastikan tak ada manusia, ayam, atau roh penasaran yang mengintai, ia menurunkan Salwa ke tanah. Liora menyingkirkan daun-daun kering agar anak itu tidak digigit semut. Lalu ia mulai memanjat pohon mangga dengan semangat yang lebih besar dari logikanya. Pohonnya memang tinggi, tapi dibandingkan hidupnya yang lebih sering menampar kenyataan, ini hanya latihan ringan. Dulu ia pernah berperang dengan ladang batu dan tanah longsor, jadi sebatang pohon berbuah manis? Tidak ada apa-apanya.

Beberapa menit kemudian, ia turun dengan karung berisi hasil jarahan alam: mangga ranum.

“Lihat, Salwa,” katanya dengan nada bangga. “Aku ini ninja. Tapi versi miskin.”

Perjalanan dilanjutkan. Begitu tiba di atas bukit kecil, udara gunung langsung menyambutnya—dingin, segar, dan seolah mengejek paru-parunya yang payah. Liora menghirup dalam-dalam, menengadahkan wajah, lalu berteriak kencang,

“Aaaaaa... hidup, dasar sialan!”

Suara itu menggema, lalu lenyap ditelan lembah. Dari atas sana, rumah-rumah kecil di kota terlihat seperti miniatur kesedihan yang cantik. Gunung milik Liora ternyata bukan gunung besar, tapi cukup hijau untuk memelihara harapan yang hampir mati. Ada pohon cengkeh, sayur labu, beberapa terong liar, dan…

satu ekor ular hijau yang nongkrong manis di dahan.

“Anjing!” teriak Liora spontan, hampir saja Salwa ia jadikan tameng darurat.

Binatang melata itu langsung sukses memicu insting lari olimpiadenya. Ia kabur seolah baru sadar hidup masih punya harga, Salwa di punggungnya bergoyang-goyang. Begitu sudah cukup jauh dari “monster hijau”, Liora berhenti di samping pohon pisang, ngos-ngosan. Ia mendongak dengan kewaspadaan ala orang trauma—takut ketemu makhluk tak berkaki versi dua. Setelah memastikan situasi aman, ia menurunkan Salwa dengan lembut.

“Wa... wa... plok plok, Ma...”

Salwa bertepuk tangan dengan gembira. Liora cuma tersenyum lelah. Ia meletakkan anak itu di atas kedua kakinya, membaringkan di atas betis seperti orang yang punya energi keibuan. Lalu ia menggoyang kaki dan betisnya, menimang seadanya—lebih mirip latihan paha daripada gestur kasih sayang.

Salwa menguap lebar. Beberapa detik kemudian, anak itu tertidur damai. Dengan hati-hati—dan ketakutan akan membangunkan si bocah—Liora memindahkan Salwa ke atas hamparan daun pisang, menepuk pantatnya pelan.

“Tidurlah, Nak. Dunia ini lebih mudah kalau kau tidak sadar.”

Salwa tertidur dalam waktu singkat. Angin gunung yang lembut membuai mereka berdua. Liora berbaring di sebelahnya, menatap langit yang seakan terlalu biru untuk orang semalang dirinya.

Setelah beberapa saat, ia bangkit, mengambil parang, dan mulai memanen sayur. Liora melirik jarinya.

“Jadi petani lagi, huh.”

“Mungkin ini memang jalan ninjaku.”

Ia tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena kalau tidak tertawa, mungkin ia akan menangis.

Liora jongkok di ladang. Tangannya lincah memetik terong satu per satu, sementara bibirnya bersenandung kecil penuh semangat hidup:

> “🎶 Panen, panen, panen yang banyak~ ambil buahnya lalu bawa pulang~ 🎶”

Sampai di bait berikutnya, alam semesta memutuskan liriknya. Di bawah daun, seekor kaki seribu melingkar manja—hitam, berkilat, dan berbentuk spiral sempurna seperti obat nyamuk.

Liora refleks mengernyit. “Iuh… makhluk apa lagi ini?” gumamnya dengan ekspresi jijik yang tulus dari hati. Ia meraih ranting, menatapnya sejenak seperti algojo mempertimbangkan moralitas, lalu tak! menusuk tengahnya.

Kaki seribu dan rantingnya terbang bersamaan, meluncur bagai dua sahabat yang salah alamat.

> “Selamat tinggal, kenangan,” katanya sambil melambai ringan.

Lalu ia kembali memetik buah-buah terong dengan santai dan damai. Namun ketenangan itu seketika buyar begitu telinganya menangkap suara desis.

Refleks, bulu kuduknya menegak. Ia menoleh cepat, matanya menyapu rerumputan yang lumayan panjang di belakangnya. Otaknya langsung bekerja berlebihan—ya, karena manusia jarang berpikir normal dalam situasi genting.

Anaconda? Ular sanca? Piton? Kobra? Atau jangan-jangan naga yang tersesat dari dunia fantasi?

Liora menelan ludah. Langkahnya mundur perlahan, seperti aktor film laga yang sadar hidupnya sedang dipertaruhkan. Dalam pikirannya cuma ada dua pilihan: kabur atau melawan. Kalau kabur, Salwa—anak kecilnya yang polos—bisa jadi santapan duluan. Kalau melawan, ya mungkin dia yang jadi lauk.

Matanya menatap parang di tangan. Panjang. Tajam. Sedikit berkarat. Cukup untuk mengubah nasib, atau mempercepat ajal.

Baiklah, batinnya. Aku sudah mati sekali. Kalau kali ini mati lagi, mungkin aku akan reinkarnasi jadi putri bangsawan manja. Hidup di istana, tidur di ranjang empuk, disuapi buah anggur oleh pelayan tampan.

Senyum kecil yang nyaris gila melintas di bibir Liora—senyum orang yang sudah pasrah pada nasib. Ia menarik napas panjang, otot-otot tangannya menegang. Parang di genggamannya berkilat samar di bawah cahaya matahari yang remang di sela dedaunan.

Lalu, dengan tekad campur panik, ia mengambil ancang-ancang lalu berteriak lantang:

> “Hiyaaa! Mati kau, makhluk jelek!”

Parangnya menebas udara, mendesing tajam. Angin ikut berdesir, dedaunan ikut bergoyang seolah memberikan penghormatan terakhir. Suara tranggg! menggema, logam beradu dengan keras.

Percikan kecil beterbangan, dan jantung Liora hampir copot.

Ia membeku di tempat, napas tertahan. Keringat dingin menetes dari pelipis, menelusuri pipinya yang kusam. Dadanya naik turun cepat, siap menghadapi kepala ular, atau mungkin naga versi hemat. Tapi ketika matanya fokus… yang menatap balik bukan sisik, bukan taring, bukan ancaman hidup—

Melainkan sebatang linggis tua.

Benda malang itu tergolek santai di bawah batang pohon kering, setengah tertutup sulur tanaman liar, tampak tenang seperti sedang menertawakan manusia yang baru saja duel mati-matian dengannya.

Liora menatapnya lama.

Lalu, dengan wajah datar penuh penghinaan terhadap dirinya sendiri, ia mendesis pelan,

> “Serius? Aku hampir mati melawan alat kebun pensiunan?”

Angin lewat pelan, seolah ikut menepuk pundaknya, berkata: ya, hidup memang kadang seabsurd itu.

Dan di bawah pohon, seekor ayam petelur berdiri terpaku—matanya melotot, bulunya setengah berdiri karena syok. Entah ia lebih takut pada suara parang, atau pada wanita separuh sinting yang berdiri di depannya.

Tiba-tiba terdengar suara plok! kecil. Sebutir telur jatuh dari pantat ayam yang terlalu kaget untuk mempertahankan martabatnya.

> (“…”)

Liora menatap ayam itu beberapa detik, lalu menghela napas panjang. Dengan wajah bringas tapi tanpa rasa bersalah, ia meraih leher ayam itu cepat, dan brutal.

Ayam itu meronta, bulu-bulunya beterbangan ke udara, tapi Liora justru menekan lehernya makin kuat.

> “Bagus. Kau berakhir di penggorengan nanti,” gumamnya ringan, seolah baru menjatuhkan vonis paling wajar di dunia.

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Sempurna.”

Liora menarik daun yang lumayan lebar sebagai wadah dan menaruh telur dan di bungkusnya.

Ia berjalan mendekati Salwa yang ternyata sudah terbangun.

“Takut?” tanya Liora memastikan.

Salwa tidak membalas, hanya menatap wajah Liora sebagai balasannya.

“Saat nya pulang.” Liora mengikat kaki ayam dengan lilitan daun panjang, lalu memasukkannya ke dalam karung yang isinya beberapa jenis sayuran. Ia memperbaiki posisi gendongan Salwa, tangan kanan karung, tangan kiri parang, dan mulutnya digunakan untuk menggigit bungkusan telur. Ia mencoba berjalan—awalnya pelan, sedikit cepat, setelah menguasai medan, ia melangkah dengan cepat. Liora berharap tak ada orang yang melihatnya dengan penampilan konyolnya.

Terpopuler

Comments

Moh Rifti

Moh Rifti

up

2025-10-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!