Bab Empat

Tak terasa mereka telah sampai di halaman rumah Yuni. Baru saja mobil itu masuk pekarangan rumah, seorang bocah sekitar usia empat tahun menyambut kedatangannya.

"Bunda ...." Teriak bocah itu. Seorang anak laki-laki berlari ke arah Yuni dan memeluknya.

Yuni tersenyum menyambutnya. Amanda memandangi anak itu. Wajahnya begitu familiar. Dia menatapnya tanpa kedip. Hal itu tak luput dari pandangan sahabatnya.

"Sayang, kenalkan ini Tante Amanda. Dia sahabat Bunda," ucap Yuni.

Bocah itu mengulurkan tangannya. Amanda menyambutnya dengan tersenyum.

"Pintar banget anakmu, Ni!" seru Amanda.

Bocah itu berlari masuk ke rumah. Yuni lalu mengajak Amanda masuk.

Yuni berjalan masuk ke rumah, diikuti Amanda yang masih sempat menoleh ke arah bocah kecil tadi. Nathan, begitu Yuni memanggilnya, tampak ceria bermain di dalam rumah, suaranya menggema lembut di ruang tamu yang luas dan terang.

Rumah Yuni tampak sederhana namun hangat. Dindingnya berwarna krem muda, beberapa pot bunga hias di pojok ruangan.

“Masuk, Manda. Anggap aja rumah sendiri,” ucap Yuni dengan senyum lebar.

Amanda melangkah pelan. Tatapannya berkeliling, mencoba menikmati setiap sudut rumah. Ada ketenangan yang aneh di tempat itu, sejenis suasana yang membuat dada terasa ringan sekaligus sesak di waktu bersamaan.

Langkah mereka berhenti di ruang keluarga. Ada sofa berwarna abu muda di tengah ruangan, dengan karpet lembut di bawahnya. Di dinding bagian kanan, tergantung beberapa pigura foto. Tapi satu hal yang langsung mencuri perhatian Amanda, sebuah foto besar terpajang di dinding utama.

Foto itu tampak baru, warnanya masih cerah. Di dalamnya, Yuni berdiri tersenyum mengenakan gaun biru muda. Di sampingnya, seorang pria dengan kemeja putih memegang pundaknya, sementara di depannya berdiri Nathan.

Amanda terpaku. Dunia seakan berhenti berputar. Matanya menatap foto itu tanpa bisa berpaling. Tenggorokannya terasa kering, jantungnya berdetak lebih cepat, dan kakinya seperti kehilangan tenaga.

"Ini tak mungkin? Pasti ini salah!" seru Amanda dalam hatinya.

Tapi mata tidak bisa berbohong. Pria dalam foto itu, wajahnya, senyumnya, garis rahangnya, bahkan caranya berdiri adalah Azka. Suaminya.

Suami yang pagi tadi menggenggam tangannya erat di bandara. Suami yang semalam masih memeluknya sebelum tidur, mengatakan betapa ia beruntung punya istri sepertinya.

Amanda menatap lebih lama, mencoba mencari alasan lain.

Mungkin mirip. Mungkin saudara kembar.

Tapi semakin lama ia menatap, semakin yakin, tidak ada keraguan.

Yuni yang sejak tadi sibuk menaruh tas kecil di meja, memperhatikan perubahan ekspresi sahabatnya. Keningnya sedikit berkerut.

“Manda?” panggilnya lembut. “Kenapa? Mukamu kok pucat banget?”

Amanda menelan ludah. Tangannya bergetar halus, tapi ia berusaha menahannya.

Dia menunjuk ke arah foto besar itu dengan suara bergetar.

“Uni … itu … foto siapa?”

Yuni menatap arah yang ditunjuk Amanda, lalu tersenyum. “Oh itu? Foto keluarga kami. Aku, suamiku, dan Nathan.”

Senyum di bibir Yuni tampak tulus. Bangga. Bahagia. Tak ada sedikit pun kecurigaan dalam nada suaranya.

Amanda menarik napas cepat. Dunia terasa berputar di sekelilingnya. Suaranya nyaris tak keluar saat ia bertanya pelan, hampir berbisik, “Suamimu?”

“Iya,” jawab Yuni santai, menoleh sebentar ke foto itu. “Kenapa?”

Amanda menggigit bibirnya. Ia mencoba menata napas. “Namanya siapa?” tanyanya lagi, walau dalam hati ia sudah tahu jawabannya.

“Azka,” jawab Yuni tanpa pikir panjang. “Kenapa, Manda? Kamu kenal?”

Amanda diam. Dadanya sesak. Ia ingin tertawa, menertawai kebodohannya karena selama ini telah dibohongi, tapi tak ada suara yang keluar.

"Kenal? Bagaimana tidak. Ia menikah dengan pria itu." Kalimat itu hanya terucap dalam hatinya.

Seketika pandangannya kabur. Kakinya melemah. Ia melangkah mundur satu langkah lalu duduk pelan di sofa. Tangannya meremas rok yang dipakainya, menahan gemetar yang makin parah.

Yuni langsung menghampiri. “Manda, kamu kenapa? Kamu pucat banget. Mau minum dulu?”

Amanda menggeleng pelan. Ia berusaha tersenyum, tapi bibirnya kaku. “Uni … kamu udah berapa lama menikah?”

Pertanyaan itu membuat Yuni sedikit heran. Tapi karena Amanda bertanya dengan nada serius, ia pun menjawab jujur. “Lima tahun. Nathan lahir setahun setelah kami nikah. Kenapa, sih? Kamu kelihatan aneh banget.”

Lima tahun. Amanda menunduk. Air mata yang sejak tadi ia tahan mulai memenuhi mata.

Lima tahun. Sementara pernikahannya dengan Azka baru tiga tahun.

Artinya, ia datang ke rumah istri pertama suaminya sendiri. Sahabat yang dulu sering bersamanya, yang dulu menemaninya saat ia patah hati, ternyata orang yang paling disakiti tanpa mereka sadari.

"Aku adalah madu untuk sahabatku sendiri. Apa yang akan Yuni katakan jika tau semua ini?" tanya Amanda dalam hatinya.

Kepalanya berputar. Napasnya terasa sesak. Semua momen dengan Azka terputar di kepalanya, senyum pria itu, panggilan “Sayang”, tatapan lembutnya. Tapi kini, semua terasa kotor.

“Ya Tuhan …,” bisiknya lirih.

Yuni menatap Amanda makin bingung. “Manda, kamu kenapa sih? Jangan bikin aku khawatir, dong. Mukamu pucat banget.”

Amanda mencoba menegakkan badan. Ia menarik napas dalam, tapi suaranya bergetar. “Jadi kalian udah lima tahun menikah?”

“Iya,” jawab Yuni sambil menatapnya lekat. “Kamu kenapa nanyain itu terus?”

Amanda tak bisa menjawab. Ia hanya memandangi foto itu lagi, foto keluarga yang utuh, hangat, dan bahagia. Dalam satu pandangan, ia melihat segala kebohongan yang selama ini tersembunyi di balik sikap manis Azka.

Tubuhnya terasa lemas. Ia ingin marah, tapi tak tahu pada siapa. Ingin berteriak, tapi suaranya lenyap.

Sementara Yuni, yang tak tahu apa-apa, masih berdiri di depannya dengan wajah khawatir. “Manda, kamu sakit? Mau aku ambilin air? Atau kamu butuh istirahat dulu?”

Amanda menggeleng. Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan tangan. Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan lagi.

“Manda?” panggil Yuni lagi, suaranya makin pelan.

Amanda mencoba tersenyum. Ia tak ingin terlihat terlalu kacau. Tapi suara gemetar itu tak bisa disembunyikan. “Uni, aku ikut bahagia melihat kamu bahagia."

Yuni ikut tersenyum kecil, tidak menyadari makna di balik kata-kata Amanda. “Ya, kami memang bahagia, Manda. Azka orangnya baik banget. Dia perhatian, sabar, walau sibuk kerja. Tapi kalau di rumah, dia selalu sempatin waktu buat aku dan Nathan. Aku mengerti, semua yang dia lakukan demi anak kami."

"Maaf, Manda. Aku berbohong. Sebenarnya rumah tanggaku tak seperti itu. Suamiku hanya tersenyum pada Nathan saja. Dia hanya perhatian pada anak kami saja," ucap Yuni dalam hatinya.

Kalimat itu menusuk dada Amanda seperti belati. Azka yang perhatian. Azka yang sabar.

Azka yang selalu punya waktu untuk mereka, rupanya bukan hanya untuk satu keluarga.

Amanda menunduk makin dalam. Ia menggigit bibir bawahnya keras-keras, menahan isak yang hampir pecah.

Yuni duduk di sampingnya, menepuk pelan punggung sahabatnya. “Manda, kamu kenapa? Kamu kayak orang yang baru kehilangan sesuatu. Ada masalah sama suamimu, ya?”

Pertanyaan itu terdengar seperti ironi. Amanda nyaris tertawa di tengah tangisnya. Masalah dengan suaminya? Ya, masalahnya sekarang berdiri di depannya, sahabat yang tanpa sadar menjadi bagian dari kebohongan besar yang menghancurkan hidupnya.

Tapi Amanda tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya diam. Suara Nathan yang tertawa di ruang belakang membuat suasana makin perih. Anak kecil itu, yang tak tahu apa-apa, memanggil ibunya dengan ceria.

“Bunda, Nathan lapar!”

Yuni menoleh ke arah suara itu. “Tunggu ya, Nak. Bunda bikinin makanan dulu.”

Ia lalu menatap Amanda. “Manda, kamu mau ikut makan bareng? Aku udah siapin makanan, nggak banyak sih, tapi enak kok. Ayam kecap buatan aku sendiri.”

Amanda mencoba tersenyum lemah. “Nggak usah, Ni. Aku masih kenyang.” Suaranya nyaris tak terdengar.

"Kalau gitu aku buatkan teh hangat aja."

Yuni berdiri dan menuju dapur. Langkahnya ringan, tidak menyadari badai yang sedang menghantam sahabatnya.

Amanda masih di sofa. Ia memandangi foto besar itu lagi, kali ini lama sekali.

Setiap detik, kepalanya dipenuhi pertanyaan:

Bagaimana bisa Azka melakukan ini Bagaimana bisa dia menikah lagi tanpa menceraikan Yuni? Dan kenapa ... kenapa harus dengan sahabatnya sendiri?

Air mata menetes di pipinya. Ia teringat semua janji Azka, janji untuk membangun keluarga bersama, janji untuk tak pernah menyakiti. Semua terasa seperti lelucon kejam.

Terpopuler

Comments

Keysha Aurellie

Keysha Aurellie

Azka bisa ya se tega itu pada dua wanita, jadi Azka dingin dengan Yuli dan masih mempertahan kan rumah tangganya karena ada anak begitu
lalu tertarik dengan Amanda dan menikahi nya ,hanya bersama Amanda kamu bahagia Azka ?
jangan jangan kamu menikah dengan Yuli karena terpaksa
disini kamu jahat Azka , kamu merusak hubungan sahabat ini

2025-10-21

1

Ratna Ningsih

Ratna Ningsih

Azka mungkin menikah dg Yuni karena perjodohan yg awalnya blum mencintai Yuni tpi karena kehadiran Nathan, Azka berusaha mencintai Yuni. kebersamaan dg Manda, rasa cintanya Azka ke Manda udah merontokkan rasa cinta Azka ke Yuni karena kehadiran Nathan. kesalahan Azka terbesar ga berterus-terang klo dia udah punya istri lainnya 🤔🤔🤔😘😘

2025-10-22

0

Ilfa Yarni

Ilfa Yarni

disini amanda lah jadi orang ketiganya walaupun azka sepertinya tidak mencintai yuni tp tetap aja km udah mengahcurkan pernikahan temanmu secara ga sengaja yg paling benci aku itu azka kalo emang km ga cinta yuni knp ga dilepaskan malah kau cari istri baru diblkg istrimu

2025-10-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!