Bab Tiga

Dua jam perjalanan udara, akhirnya Azka dan istrinya Amanda. Ketika berjalan, tangan pria itu selalu menggenggam tangan wanitanya.

"Sayang, kita langsung ke hotel. Sehabis makan siang aku baru rapat," ucap Azka.

"Saat kamu rapat, aku mau bertemu temanku. Boleh, Mas?" tanya Amanda dengan manjanya.

"Apa nggak tunggu aku selesai rapat dulu. Biar bisa aku temani?" tanya Azka.

"Nggak usah, Mas. Aku sudah tak sabar ingin bertemu. Sudah hampir sepuluh tahun kami tak bertemu."

"Apa kamu tak pernah berkomunikasi lagi dengannya?" tanya Azka.

Mereka mengobrol sambil berjalan menuju mobil. Tas bawaan mereka telah di angkut seseorang yang menjemputnya.

"Sejak orang tuanya pindah tugas dan dia harus ikut dengan mereka, komunikasi kami terputus. Baru beberapa hari lalu aku dapat nomor ponselnya dari teman. Dan yang menyenangkan, kebetulan suami tercintaku mengajak ke kota tempat tinggalnya," ujar Amanda. Azka ikut tersenyum melihat istrinya begitu bahagia.

Mobil yang menjemput mereka melaju perlahan meninggalkan bandara. Di luar, langit kota itu tampak biru terang, awan putih berarak lembut. Amanda duduk di samping Azka, sesekali menoleh ke jendela dengan mata berbinar. Terlihat jelas, hatinya sedang senang.

Azka menatap istrinya sebentar, lalu tersenyum kecil. “Jarang-jarang kamu seantusias ini. Siapa sih teman yang mau kamu temui? Jangan bilang itu mantan kamu,” ucap Azka sambil mengistirahatkan punggung di sandaran kursi.

Amanda menoleh. “Ih, Mas. Mana mungkin aku berhubungan dengan seorang pria tanpa Mas tau. Aku ini seorang istri. Harus bisa menjaga nama baik suamiku," balas Amanda.

Azka mengangguk pelan. “Senang ya, akhirnya bisa ketemu lagi setelah sekian lama.”

“Banget, Mas,” jawab Amanda cepat, senyumnya merekah. “Aku bahkan masih simpan gelang persahabatan yang dia kasih dulu. Nggak nyangka, setelah sepuluh tahun, kita bakal dipertemukan di kota ini.”

"Jika ada kesempatan aku ingin berkenalan. Aku juga ingin tau, sahabat seperti apa yang membuat istriku sebahagia ini."

"Pasti, Mas. Aku akan mengenalkan kamu dengannya," balas Amanda.

Mobil berhenti di depan hotel bintang lima di pusat kota. Seorang bellboy langsung membuka pintu, sementara petugas lain membawa koper mereka. Lobi hotel tampak megah, dengan wangi bunga segar yang samar.

Setelah check-in dan masuk ke kamar, Amanda berdiri di balkon, menikmati pemandangan kota dari lantai dua puluh.

“Cantik banget ya, Mas,” ucapnya lembut. “Kota ini terasa hangat, entah kenapa.”

Azka berjalan menghampiri dan melingkarkan lengannya di pinggang istrinya. “Mungkin karena kamu bahagia,” ujarnya.

Amanda tersenyum, menoleh ke arah suaminya. “Mungkin.”

Siang hari, setelah makan siang bersama, Azka bersiap untuk rapat. Amanda membantu merapikan dasinya.

“Jangan lama-lama ya, Mas,” ujar Manda dengan manja. “Aku juga mau siap-siap ketemu temanku Uni.”

Azka tersenyum. “Hati-hati di jalan. Kirim pesan kalau sudah sampai.”

“Iya, Mas. Aku janji." Amanda mengecup pipinya sebelum pria itu berangkat.

Begitu pintu tertutup, Amanda menarik napas panjang. Ia membuka ponselnya, melihat pesan terakhir dari seorang sahabatnya bernama Yuni dan biasa dia panggil Uni.

“Aku sudah tak sabar bertemu, Uni. Banyak yang harus kita bicarakan setelah sepuluh tahun.”

Pesan itu dikirim, dan Amanda menatap layar beberapa detik sebelum berbalik menuju lemari, memilih gaun sederhana tapi elegan.

**

Setelah selesai berpakaian, Amanda pergi ke kafe tempat mereka janji bertemu menggunakan taksi.

"Kenapa dadaku rasanya berdebar, seperti mau ketemu pacar aja," gumam Amanda pada dirinya sendiri.

Setengah jam kemudian, sampailah Amanda di tempat tujuan. Dia keluar dari taksi dan membayarnya. Dengan langkah yang pasti dia masuk ke dalam kafe.

Amanda memandangi ke sekeliling ruangan mencari keberadaan sang sahabat. Dia juga tak yakin kalau masih mengenalinya. Pasti sudah banyak perubahan baik segi wajah maupun penampilan.

Amanda berdiri di tengah kafe yang tak terlalu ramai itu, matanya menyapu setiap meja dengan hati berdebar. Musik lembut mengalun di latar, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara.

Lalu, pandangannya berhenti pada sosok wanita berambut sebahu yang sedang melambaikan tangan dari pojok ruangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya.

“Amanda!”

Amanda spontan tersenyum lebar dan melangkah cepat menghampiri. Begitu mereka bertemu, tanpa pikir panjang keduanya langsung berpelukan erat.

“Uni ... ya ampun, kamu nggak banyak berubah!” ujar Amanda dengan suara bergetar.

Yuni terkekeh pelan. “Kamu juga, Manda. Tapi sekarang kelihatan makin elegan. Lihat deh, gaya istri mapan banget.”

Amanda menertawakan ucapan itu sambil menepuk bahu sahabatnya. “Dasar, kamu masih aja suka bercanda. Tapi serius, aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi. Rasanya kayak mimpi.”

Mereka duduk di meja pojok, dekat jendela besar. Pelayan datang, dan mereka memesan makan siang sambil terus mengobrol panjang lebar. Obrolan mengalir begitu saja, tentang masa SMP, tentang teman-teman, melanjutkan kemana setelah tamat kemarin. Dan juga tentang kehidupan rumah tangga.

“Jadi kamu udah menikah juga?” tanya Amanda sambil menyeruput minumannya.

Yuni mengangguk. “Udah, hampir lima tahun. Suamiku kerja di perusahaan ekspor, tapi sering banget dinas ke luar kota. Jadi kadang rumah sepi.”

Amanda mengangguk, matanya memancarkan simpati. “Aku juga sering ditinggal keluar kota sama suamiku. Tapi ya ... begitulah hidup berumah tangga, kan?”

Mereka tertawa kecil bersama. Waktu berjalan tanpa terasa. Dari tawa berubah jadi nostalgia, dari nostalgia berubah jadi cerita yang lebih dalam, tentang kehilangan, kesepian, dan hal-hal yang dulu tak sempat diungkapkan.

Saat matahari mulai condong ke barat, Yuni menatap Amanda dengan tatapan hangat tapi sulit diartikan. “Manda ... kamu ada waktu sebentar lagi, kan?”

“Masih kok. Kenapa?”

“Aku pengen kamu ikut aku ke rumah. Nggak jauh dari sini, cuma lima belas menit. Siapa tahu kamu dan suami mau menginap nantinya," ucap Yuni.

Amanda mengernyit pelan tapi tersenyum. “Boleh. Sekalian aku mau lihat seperti apa rumah sahabat lamaku sekarang.”

Mereka membayar makanan, lalu keluar dari kafe. Udara sore terasa lembut, matahari menyorot di antara dedaunan. Yuni membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Amanda masuk.

Sepanjang perjalanan, Amanda merasa aneh, bukan karena Yuni, tapi karena perasaannya sendiri. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.

Terpopuler

Comments

Ratih Tupperware Denpasar

Ratih Tupperware Denpasar

astaga mereka berdua yuni dan amanda sama2 tertipu laki2 yg berwajah tanpa dosa... apa mereka dinikahi azka pada wkt tahun yang sama?.temenku dulu ada begitu di jawa dia nikaj sama pacarnnya yg orang jawa krn hamidun trus 3hr kemudian dia pulang ke bali nikahi pacarnya yg dibali. sayangnuaug di baki tersisihkan krn si suami kerja dijawa, si istri yg dibali meningfal krn stres berkepanjangan. anaknya skr dirawat istrinya yg satu.. kayaknya skr anak itu sdh SMA

2025-10-21

2

juriah mahakam

juriah mahakam

manda lapangkan htmu krn kenyataanx yuni lah istri pertama n udh pnya anak nth bagaimana dl kalian menikah tp mank bnr dikala suami udh pnya anak dgn istrin pertm mk dia g akan nuntut anak pd yg ke dua n smoga disaat ketahuan azka bs memberikan alasan yg bnr nth Siapakah diantara kalian yg lbh bsr cintax smngat up mama

2025-10-21

1

Teh Euis Tea

Teh Euis Tea

aku ko jd ikut bgerasain jd yuni jd manda ya ketipu sm suami yg romantis ga taunya penghianat cm untungnya suami mereka kaya, jd curiga jg sm si azka bisa jd selain mereka ada istri ke 3🥲

2025-10-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!