Permainan Kuasa

Dua bulan kemudian mereka menikah. Sesuai persyaratan Rendra pada Brata, resepsi dengan konsep intimate di hotel bintang lima digelar tertutup. Tidak ada media, tidak ada ribuan undangan, hanya ada orang-orang terdekat. Ia tidak ingin membuang waktu dan tenaga untuk beramah-tamah.

Namun keesokan harinya, foto-foto pernikahan mereka tetap beredar luas di media. Tim Public Relation sudah menyiapkan strategi. Pernikahan mereka adalah momentum publikasi.

Beberapa media gosip mendapat foto-foto dan video eksklusif, lengkap dengan narasi manis tentang betapa hangat dan sederhananya pernikahan mereka. Beberapa media bahkan menarik perbandingan berani.

"Worked for The British Royal Family, why not for us?"

Tulis salah satu portal nasional, menyinggung bagaimana pernikahan Pangeran Charles dan Lady Diana dulu menyihir dunia, meski mereka pun terpaut usia belasan tahun. Narasi lain menyebut kisah ini sebagai :

"Indonesian Fairy Tale"

Dongeng modern di mana seorang pria konglomerat sukses menikahi gadis muda sederhana dari keluarga biasa.

Dari sana berita meluas ke media mainstream. Publik mengira itu spontan, padahal setiap sudut cerita sudah dipoles. Hasilnya? Pemberitaan meledak. Nama Dinda mendadak masuk jajaran trending. Gaun, wajah lembut, dan aura anggunnya jadi sorotan.

Rasa penasaran publik dibiarkan tumbuh. Siapa perempuan muda yang berhasil menaklukkan salah satu nama paling diperbincangkan di negeri ini? Berbagai komentar memenuhi sosial media, dari cibiran hingga nyinyiran.

'Cantik sih, tapi rendra bisa dapet lebih dari ini harusnya.'

Adapula yang usil.

'Worked for the British Royal Family? Hasilnya Diana sengsara coyy🫵🫵🫵Hati-hati Dinda.'

Bahkan mencibir.

'Indonesian Fairy Tale? Lebih kayak Indonesian Business Deal. Btw, sederhana kok di St. Regis?😒'

Yang jelas berita pernikahan itu langsung menenggelamkan sisa-sisa skandal Namira yang masih bergulir. Timeline publik dipenuhi senyum pengantin, gaun putih, dan narasi "fairy tale" versi Indonesia. Seolah tak ada ruang lagi untuk isu lama.

Namun riuh itu tak mengubah apa pun. Pernikahan mereka sejak awal memang bukan kisah manis dua orang yang saling mencintai, melainkan kesepakatan keluarga yang harus dijalankan sesuai rencana. Begitu pesta usai, agenda berikutnya sudah menanti. Bulan madu sebagai bagian dari paket "pernikahan sempurna" siap dilakoni.

Tiga puluh menit yang lalu, mereka mendarat di Bandara Marco Polo, Venice, Italia. Dari sana, keduanya langsung menuju Ca' Sagredo Hotel, sesuai jadwal yang sudah diatur.

Begitu kaki mereka menjejak dermaga kayu, langkah Dinda refleks melambat. Venice seperti lukisan hidup. Matahari sore memantulkan warna emas di permukaan kanal. Udara menyebarkan bau laut juga kayu tua. Dan deru lembut gondola yang melintas, terasa seperti membisiki telinga.

Rendra berjalan di belakangnya, diikuti oleh seorang pria bertubuh tegap bernama Heru yang datang bersama mereka dari Jakarta. Dia seperti bayangan tubuh Rendra. Mungkin pengawal atau asisten. Dinda tidak tau pasti apa tugasnya di sini. Tapi ia tampak sangat profesional. Pria itu mengurus semua barang dengan efisien, bicara seperlunya, dan nyaris tidak pernah menunjukkan ekspresi.

Sedangkan Rendra, ia juga tidak banyak bicara, tapi kehadirannya cukup untuk membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. Pelan-pelan tangan kanannya menyentuh pinggang Dinda, ringan dan terasa alami. Napas Dinda langsung terhenti sepersekian detik.

"Capek?" Bisiknya di telinga Dinda. Udara dari mulutnya berhembus pelan di leher gadis itu.

"Enggak." Dinda menggeleng. Sensasi aneh mulai menjalari tulang punggungnya. Tapi ia menahan diri agar tidak terlihat gugup.

Mereka berjalan berdampingan menuju bangunan hotel bergaya klasik, dengan balkon-balkon yang dihiasi bunga menjuntai. Suara air memantul di dinding batu menciptakan gema lembut. Membuat segalanya seperti mimpi asing. Indah dan terasa tidak nyata. Namun Dinda menyadari, keindahan itu kontras dengan kecanggungan dan ketidakpastian yang ia rasakan bersama Rendra.

Saat mereka berhenti di depan kamar, Rendra membuka pintu dan menoleh padanya, "Kalau kamu mau istirahat dulu nggak apa-apa. Aku nggak akan ganggu. Kita jalan-jalan di kota besok." Ucapnya, seolah memberi ruang tanpa tekanan.

Tapi Dinda tau, di balik tenangnya suara itu, jarak di antara mereka mulai digeser pelan-pelan.

...***...

Rendra benar-benar tidak mengganggunya saat ia tidur. Mata Dinda baru terbuka ketika cahaya matahari pagi yang menghangatkan udara, menembus tirai tipis kamar mereka.

Di sudut ruangan, pria itu duduk di meja kerja, dengan MacBook dan segelas wine. Kemeja birunya terbuka di bagian dada, lengannya digulung sampai ke siku. Dia tampak menabjubkan, bahkan dengan rambut yang acak-acakan seperti itu.

Begitu menyadari Dinda menatap, sudut bibirnya terangkat samar, "Tidurmu nyenyak?" Tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari MacBook. Suaranya rendah dan tenang.

Diam-diam Dinda meremas selimutnya, berusaha menyembunyikan rasa gugup.

"Jam berapa sekarang?" Tanyanya, suara nyaris berbisik.

"Jam delapan." Jawab Rendra singkat, masih menatap layar.

Jemarinya berhenti sesaat, lalu ia melirik Dinda sekilas sambil tersenyum. Tatapannya terlalu singkat untuk terbaca, tapi cukup untuk membuat darah Dinda bergerak lebih cepat.

"Kamu lagi kerja?"

Rendra mendesah pelan, "Ya, ada beberapa email yang harus kubaca."

Kemudian ia menutup laptop perlahan, bangkit, lalu berjalan ke arah Dinda. Tatapannya begitu intens, seperti menyimpan keinginan yang tak terucap. Sesuatu yang gelap dan dalam.

Dinda meneguk pelan. Kenapa pria ini jadi tampak berbahaya? Langkah Rendra terlihat tenang, tapi setiap gerakannya seperti kalkulasi. Dinda mulai bisa mencium aroma tubuhnya. Aroma sabun maskulin, samar-samar tercium aroma tembakau yang selalu menempel entah dari mana.

"Kamu tidur dua belas jam kayak bayi." ucapnya pelan, berdiri di sisi ranjang. Kedua tangannya diletakkan di saku celana. Jarak mereka sangat dekat sekarang.

"Kalau mau sarapan, nanti kita ke balkon. Pemandangannya bagus." lanjutnya.

Dinda hanya bisa menatap saat sebelah tangan Rendra mengusap lembut pipinya, perlahan ia membungkuk lalu mengecup singkat bibir Dinda.

"Kamu bisa mandi dulu sementara aku pesan makanan. Jam sepuluh kita baru jalan-jalan ke luar." Suaranya datar, seolah apa yang terjadi barusan bukan apa-apa.

Dinda masih terpaku di tempat, matanya mengerjap cepat. Apa yang terjadi barusan?

"Kamu harus terbiasa." Ucap Rendra sambil tersenyum, "Aku akan buat kamu terbiasa." Ia tertawa pelan sementara berlalu untuk meraih telepon kamar.

Wajah Dinda merah padam, dia hampir tersedak napasnya sendiri. Tanpa sadar tangannya semakin erat menggenggam selimut, seolah itu satu-satunya pegangan agar ia tidak goyah. Dinda tahu, ia seharusnya menolak atau setidaknya bersuara, tetapi tubuhnya malah membeku, membiarkan jejak hangat itu tertinggal di bibirnya. Ia terguncang... tapi juga terbius.

...***...

Dinda membawa ratusan juta di tubuhnya saat keluar dari hotel tempat mereka menginap. Summer dress berwarna ivory dari Toteme, tas kecil Bottega, sandal kulit Loro Piana, dan jangan lupakan cincin pernikahan dengan berlian besar di jari manisnya. Rendra pasti berbohong saat bilang akan memberinya ruang untuk keputusan pribadi. Dia bahkan menentukan pakaian apa yang harus Dinda kenakan.

Orang lain yang melihatnya mungkin mengira Rendra penuh perhatian. Tapi apakah boneka bisa menolak baju apa yang dipakaikan padanya? Dinda sedang dijadikan etalase berjalan olehnya.

Mereka melangkah pelan menyusuri jalan berbatu sempit yang diapit bangunan tua penuh sejarah. Tangannya terus berada di dalam genggaman Rendra selama perjalanan. Langkah pria itu tenang tapi pasti, seolah ia tahu persis ke mana mereka akan pergi. Meskipun nyatanya, mereka hanya mengikuti alur kota yang seperti labirin.

Sesekali Rendra menyelipkan gurauan dan melempar senyum jahil untuk membuat suasana di sekitar mereka menjadi lebih ringan. Perlahan, rasa canggung itu mencair, digantikan kenyamanan yang muncul begitu saja.

"Venice selalu sepi begini ya?" gumam Dinda, suaranya pelan karena takut mengganggu keheningan yang nyaris sakral.

Rendra menoleh sebentar, sudut bibirnya terangkat, "Kota ini nggak pernah benar-benar sepi. Kita lagi beruntung."

Hari mereka berlalu dengan cepat. Banyak hal menarik di sini. Mereka menyusuri beberapa toko kecil yang menjual barang-barang antik, kemudian membelinya. Arloji klasik, cermin dengan design tua, lukisan-lukisan kecil, dan banyak lagi. Siang harinya mereka naik gondola yang meluncur tenang di kanal-kanal Venice, mengunjungi Murano dan Burano.

Setelah menyerahkan barang belanjaan kepada Heru yang setia mengikuti sejak tadi, Rendra memintanya pergi. Ia ingin mereka makan malam berdua di sebuah cafe kecil di sudut jalan.

Tempat itu melantunkan pertunjukan live music jazz akustik yang lembut. "The Look of Love" dari Diana Krall mengalun indah. Rendra terlihat menikmatinya, tapi Dinda hanya memandang kagum pada wajah Rendra yang diterpa cahaya biru lampu panggung. Wajahnya terlihat rileks dan tenang. Tiba-tiba ia terlihat begitu muda.

"Bosen?" tanya Rendra sambil menoleh padanya.

Dinda menggeleng, "Tempatnya bagus."

Sesaat kemudian pelayan datang membawa pesanan mereka.

Saltimbocca Mozarella, Seafood Risotto, sebotol Shiraz, serta segelas orange juice karena Dinda tidak minum alkohol.

"Kenapa kamu ngeliatin aku terus?" Rendra bertanya sambil mengiris Saltimbocca-nya.

"Kamu tau nggak beda umur kita jauh banget?"

"Ya. Sepuluh tahun? Sebelas?" Jawab Rendra tidak yakin.

"Empat belas tahun." Gumam Dinda.

"Itu buruk?" Matanya naik melirik Dinda sekilas.

"Bukan itu maksudku. Aku pikir sifat kamu yang mendominasi itu dipengaruhi perbedaan umur kita."

Rendra mengangkat sebelah alisnya, "Aku mendominasi?"

"Jelas banget kan?" Dinda tertawa pelan, "Kamu ambil semua keputusan untuk acara pernikahan, tentuin destinasi liburan berikut waktu dan itinerary-nya. Kamu juga tentuin baju apa yang harus aku pakai, bahkan kamu pilih menu apa yang cocok aku makan. 'Lakuin ini Dinda, lakuin itu, duduk di sini, jalan ke sana.'" Dinda menirukan gaya bicara Rendra.

Rendra menyeringai, tidak mampu menahan senyum lebarnya. Ini pertama kalinya ia mendengar celotehan Dinda. Gadis ini pintar bicara rupanya.

"Kamu nggak suka?" Rendra mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Dinda, kali ini menatapnya hati-hati.

"Ya, kamu sering mengintimidasi dan mau nggak mau aku harus ngikutin mau kamu. Tapi kadang aku merasa terbantu, karena aku mudah bingung sama pilihan." Dinda tersenyum sambil mengangkat bahunya.

"Kalo kamu nggak suka kamu boleh bantah." Rendra menatap Dinda, sudut bibirnya terangkat sedikit.

"Emang kamu mau dengerin aku?" Dinda menggumam pelan sambil memainkan makanan di piringnya.

"Ya. Kamu salah satu orang yang mau aku dengar."

Kata-kata manis yang di luar dugaaan. Tiba-tiba tubuh Dinda terasa ringan, ia seakan melayang dari bumi. Sepertinya sesuatu mulai tumbuh liar di dadanya. Bisakah ia menyebut ini pernikahan sungguhan?

Ia sadar bahwa perlahan-lahan batas antara kepentingan dan kedekatan itu mulai kabur. Tapi sialnya, ia tidak tau bahwa persepsi Rendra jauh berbeda. Bagi pria itu, ini hanya permainan kuasa yang tersamar romantisme.

...***...

Halo readers, gak henti-hentinya aku meminta saran dan pesan kalian untuk setiap bab cerita ini. Feedback kalian adalah semangat author untuk update. Makasihhh 🥰🙏🫰

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!