Dinda merasa hilang arah. Berkali-kali ia menangis karena merasa tidak memiliki jalan keluar. Menelepon Tania -sahabatnya- untuk minta pendapat atau sekedar bercerita. Malam demi malam, tangisan dan percakapan panjang itu menjadi ritualnya. Ia frustasi, bingung, takut, bahkan marah. Kenapa nasib seperti ini datang padanya? Tapi akhirnya Dinda mencoba berkompromi dan memahami situasi yang sedang ia hadapi.
Pria itu memikat, cerdas, dan jelas tahu cara menguasai keadaan. Tapi bukan itu intinya. Dia juga manipulatif, terlatih, dan dingin. Semua kalimatnya terdengar sopan, tapi isinya perjanjian terstruktur. Pernikahan, aturan hidup bersama, pembagian peran, sampai rencana kontrasepsi. Semua disusun seperti proposal kerja sama bisnis.
Dari awal Dinda tahu ini bukan kisah cinta. Ini kontrak. Aliansi. Tapi justru karena semua disampaikan tanpa kamuflase, Dinda pikir, ia bisa melihat satu hal penting. Mungkin Rendra tidak sedang berpura-pura.
Dia tidak menjual mimpi. Tidak memberi harapan manis yang mudah dibatalkan. Dia bilang terang-terangan. 'Ini aku, ini syaratnya, ini yang akan kita jalani. Mau atau tidak, kamu yang tentukan.'
Dinda ingin percaya bahwa hubungan ini adil. Setidaknya lebih jujur dari semua pria yang pernah merayunya. Ia pikir ia tahu apa yang ia hadapi.
Dan itu adalah kesalahan terbesarnya.
Karena dari kacamata netral, kejujuran Rendra jelas terlihat seperti jebakan yang sempurna. Itu semua bukan kejujuran, melainkan kontrol. Transparansi Rendra tidak dimaksudkan untuk memberi kebebasan pada Dinda. Pria itu hanya ingin mengunci Dinda dalam sistem aturan yang ia rancang. Semua terpapar jelas, hanya saja Dinda tidak melihatnya. Dan di situlah letak keberhasilan Rendra memainkan perannya.
Brata bicara soal reputasi. Seno bicara soal hutang budi dan peluang. Rendra bicara soal aturan. Dan Dinda akhirnya bicara realita -yang ia kira benar- pada dirinya sendiri.
'Aku mungkin bisa tolak, tapi kelihatannya ini penting untuk Ayah. Dan kalau aku setuju, setidaknya ini pilihan yang aku buat. Bukan dipaksa buta-buta. Itu cukup kan?'
...***...
Rendra kehabisan energi. Sepuluh jam ia terkurung di ruang konferensi, terjebak dalam diskusi alot soal proyek joint venture di Dubai. Berebut pembagian saham, regulasi berbelit, desain yang membuat modal melonjak. Setiap argumennya diuji, setiap angka diperiksa ulang. Otaknya penuh sesak dengan perdebatan yang tak ada habisnya.
Dan saat ini, ia butuh pengalihan. Namun pengalaman dengan Namira, membuatnya enggan main-main dalam waktu lama dengan satu orang. Jadi ia putuskan untuk menyewa seorang "escort" profesional yang direkomendasikan Darren, salah satu rekan bisnisnya.
Dia bernama Cassandra Duval. Perempuan blasteran Indo-Prancis yang sangat cantik. Tulang pipi tajam, hidung mancung, bibir penuh menggoda. Tubuhnya tinggi ramping dengan payudara sintal. Permainannya juga hebat, di level yang sama dengan Namira. Tidak ada yang salah dengannya, tapi tadi malam rasanya hampa. Seks jadi seperti rutinitas kosong. Apa stres tinggi menurunkan gairahnya?
Di tengah dingin fajar, entah karena kebosanan atau sesuatu yang lain, pikirannya justru melayang pada Dinda. Siang tadi Brata mengabari bahwa gadis itu setuju melanjutkan perjodohan. Rendra jadi teringat pertemuan pertama mereka dua minggu yang lalu. Dia begitu canggung... dan terlihat berbeda.
Cardigan sederhana berwarna nude dan celana jeans membalut tubuh mungilnya saat itu. Posturnya biasa saja. Tidak tinggi, bentuk wajah dan hidung kecil. Matanya bulat dan berbinar seperti anak kecil yang belum tau dunia.
Kemudian ia teringat setiap kali Dinda menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, begitu polos namun menggoda. Ia penasaran, seperti apa rasanya menciumnya? Bagaimana suaranya jika mendesahkan namanya? Tubuh Rendra mulai bereaksi seperti remaja puber tolol.
'What the hell?!' Ia mengumpat dalam hati. Sadar bahwa pikirannya lepas kendali. Dan sejak kapan gadis belia menjadi seleranya? Ia mungkin sudah gila.
Tapi satu hal yang melegakan adalah, ia masih sangat berhasrat.
Di tengah lamunan panjang itu ia juga berpikir, bagaimana cara membuat Dinda tampak serasi dengannya? Penampilan gadis itu terlalu polos untuk jadi istrinya. Ia ingin mereka tampak sepadan.
"Kamu merasa nggak puas? Apa yang kurang?" Tanya Cassandra. Suaranya datar, namun nadanya penuh perhatian layaknya terapis yang menanyai kliennya.
"I don't know. I just wasn't in the mood." Jawab Rendra enggan.
"Terus biasanya apa yang bisa bikin kamu mood?" Tanyanya lagi, tubuhnya bergeser mendekat sedikit, tangannya yang halus berusaha menyentuh lengan Rendra, namun pria itu langsung menghindar.
"Untuk sekarang, nothing honestly. Just not feeling it." Rendra memalingkan wajah, suaranya terdengar kesal.
Cassandra menarik napas halus. Sebelah alisnya terangkat sedikit. Ini situasi yang tak biasa untuknya, tapi bukan hal yang aneh.
"Then what should I do?" Dia duduk lebih tegak, menyelimuti tubuhnya dengan selimut, sikapnya berubah dari menggoda menjadi praktis. Ini murni pekerjaan sekarang.
"Just do your part, that's enough." Rendra bangun dari tempat tidur, mengambil ponselnya di nakas dan menelepon seseorang.
"Heru, ambil satu set setelan kantor di Velmore, bawa ke ruangan saya sebelum jam delapan."
Rendra yang masih telanjang memungut pakaiannya di lantai lalu membawanya ke kamar mandi.
...***...
ISTANA NEGARA - RUANG RAPAT
Para ketua partai koalisi dan menteri strategis masih sibuk menutup berkas setelah bahasan defisit pertahanan dan ketegangan di Laut Timur.
Di ujung meja panjang berlapis kayu coklat mengilap, Brata bersandar, matanya menyapu ruangan.
"Rendra sudah menyetujui pernikahan." Ujarnya. Semua orang di sana langsung fokus padanya. "Background gadis itu bersih, keluarga militer, loyal. Ini yang kita butuhkan. Citra baik. Atur supaya publik melihat ini sebagai simbol moral, bukan transaksi kekuasaan." Kata Brata dengan suara berat.
"Publik masih ramai dengan kasus Namira, Pak. Kalau kita salah langkah, oposisi bisa bilang ini hanya tameng." Jawab Desmond Prambudi, salah satu ketua partai koalisi.
Brata mengetuk meja pelan, sekali. Semua langsung diam. "Makanya kita bereskan dua front. Internal dulu, eksternal belakangan."
Semua diam. Menunggu.
Ia mengangkat dua jarinya, seperti seorang jenderal. "Untuk internal, semua kader bicara satu suara. Tidak ada narasi lain selain : 'Ini pernikahan karena hati, bukti bahwa keluarga Presiden tidak tamak kekuasaan.' Saya tidak mau ada kader yang salah omong di media."
Kepala Brata menoleh, menatap satu per satu dengan tajam. "Dan untuk eksternal, framing. Rendra akan kita jual sebagai pria yang menolak 'perempuan strategis' karena jatuh cinta pada gadis biasa. Simbol kesederhanaan. Simbol netralitas. Itu yang akan jadi headline."
"Kami akan arahkan media, Pak. Publik akan suka narasi seperti itu." Jawab Kemas Tandri, Menteri Komunikasi.
Brata tersenyum tipis dan dingin.
"Kita kawal sampai pemilu selesai. Setelah itu..." Ia berhenti sebentar, menekankan kata-katanya, "...semua kembali ke tangan Rendra."
Ruangan hening. Para ketua partai koalisi dan menteri strategis hanya mengangguk. Keputusan sudah final, sebab Brata sudah membuatnya. Tak satupun membantah, karena sosok yang berdiri di hadapan mereka itu bukan hanya pimpinan negara. Ia juga ketua partai dan mogul perekonomian. Dan kita tau, ketika kekuasaan terkonsentrasi pada satu tangan, kebenaran seringkali hanya sebatas apa yang ia ucapkan.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Tsubasa Oozora
Sudah nggak sabar untuk membaca kelanjutan kisah ini!
2025-10-18
1