Di sebuah makan malam keluarga yang hangat seperti biasa, Seno -ayah Dinda- tiba-tiba menyampaikan informasi yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Hanya ada mereka bertiga di meja. Seno, Rani -ibu Dinda- , dan Dinda.
"Kamu tau berita soal Mas Rendra kan, Din?" Tanya Seno.
"Tau. Temen-temen Dinda bahas itu setiap hari. Rame banget di sosmed." Jawabnya sambil terus menyuap nasi. Kepalanya penuh dengan rencana bab-bab skripsi. Ia bahkan tidak memperhatikan raut ibunya yang gelisah.
"Hasil tes DNA sudah keluar. Hasilnya negatif." Seno memberi tau.
"Negatif? Syukur deh." Jawab Dinda seadanya. Ia hanya ingin makan cepat dan kembali ke kamar.
"Kemarin Pak Brata panggil ayah, katanya mau ketemu kamu."
"Dinda? Kenapa?" Dinda mengernyit.
Untuk apa presiden ingin bertemu dengannya? Satu-satunya interaksi mereka cuma salam singkat saat Family Gathering Kabinet di Istana Bogor.
"Beliau mau kamu ketemu Mas Rendra. Tapi sebelumnya, beliau sendiri mau ketemu kamu."
Tidak biasanya ucapan ayahnya berputar-putar seperti ini. Seno adalah Kolonel TNI Angkatan Darat, ia biasa tegas dan lugas saat bicara.
"Untuk?" Dinda mulai tidak sabar.
"Pak Brata... punya niat baik pada keluarga kita. Beliau mau lamar kamu untuk Mas Rendra."
Dinda terdiam. Ia mungkin salah mengerti, jadi ia pastikan lagi.
"Lamar? Sebagai apa?"
"Calon istri." Jawab Seno.
Sendok di tangannya langsung terlepas. Seno memperbaiki posisi duduk mencari kenyamanan, sedangkan Rani pura-pura sibuk dengan nasi di piring.
"Kenapa Dinda?" Tanyanya masih tidak percaya.
"Ya... Pak Brata pikir Mas Rendra sudah saatnya menikah, tapi belum ada yang cocok."
Tidak. Dinda tau alasannya tidak sesederhana itu.
"Oke, tapi pertanyaannya kenapa Dinda? Kami nggak saling kenal."
"Karena kita orang dekat, beliau percaya sama keluarga kita."
Nah itu alasannya. Karena mereka orang dekat. Ia pasti dijadikan alat untuk bersih-bersih nama putranya. Dinda menggeleng, dia tidak bersedia, tentu saja.
Rendra mungkin salah satu bujangan kaya paling di incar di negeri ini, tapi Dinda baru berusia dua puluh satu tahun, kuliahnya bahkan belum selesai. Dia juga tidak pernah bertemu dengan Rendra sekalipun. Dan jangan lupakan citra buruk pria itu dengan wanita. Namira bukan satu-satunya figur publik yang pernah dikaitkan dengannya. Masih ada sederet nama wanita lain. Dinda bergidik, ia tidak mau ambil resiko.
"Kalau Dinda nolak?" Dinda jarang membantah ayahnya dan menjadi agak gugup.
"Coba kamu pikirkan lagi. Pak Brata sudah banyak sekali bantu kita. Waktu karir ayah hampir hancur, beliau yang bantu. Waktu Ayah difitnah, nama Ayah nyaris dicoret dari institusi, Pak Brata yang bersihkan semuanya. Bukan cuma karier Ayah yang diselamatkan, tapi harga diri juga. Sekarang beliau cuma minta satu hal, dan Ayah nggak bisa pura-pura lupa." Seno menarik napas berat, "Lagipula apa kurangnya Mas Rendra? Pintar, sukses, ganteng. Banyak perempuan yang mau, tapi Pak Brata pilih kamu."
Dinda membuang pandang ke arah lain, kemudian memberanikan diri menatap lekat pada ayahnya, "Yah, Dinda nggak mau. Pilih aja perempuan yang mau. Kuliah Dinda belum selesai. Dan Dinda nggak kenal dia." Kemudian ia berdiri dari kursinya.
"Din, dengerin ayah dulu." Rani mengingatkan. Suaranya lirih, ia sepertinya paham apa yang dirasakan putrinya.
"Maaf Yah, Bu, Dinda mau ke kamar. Ada yang mau Dinda kerjain." Tanpa menunggu jawaban, Dinda melangkah pergi.
Keheningan menelan ruangan. Seno mengembuskan napas keras, menahan emosi yang bercampur. Marah, lelah, putus asa.
Rani mengulurkan tangan, menyentuh lengan suaminya dengan hati-hati.
"Yah, mungkin lebih baik dipikir ulang. Dinda masih terlalu muda. Dia belum cukup dewasa untuk menikah."
Seno menatap meja beberapa saat, lalu mendengus kasar. "Ayah juga nggak punya pilihan, Bu. Tekanannya bukan main. Lagipula... kesempatan seperti ini nggak akan datang dua kali ke keluarga kita. Mereka keluarga kuat, akan bagus untuk masa depan Dinda."
Rani menunduk, bibirnya bergetar ingin membantah, tapi kata-kata kandas di tenggorokan. Di rumah ini, kepala keluarga yang selalu membuat keputusan.
...***...
Hari-hari berlalu, Seno terus membujuk. Mulai dari iming-iming bahwa Brata akan memberinya beasiswa S2 ke luar negeri hingga ancaman mutasi ayahnya ke daerah konflik. Tapi ia terus menolak, tetap pada pendiriannya.
"Ayah minta tolong, sekali ini saja. Paling enggak, temui mereka." ucap Seno suatu malam, suaranya berat, penuh tekanan.
"Dinda udah bilang, Yah. Dinda nggak mau. Kenapa Dinda yang harus tanggung jawab untuk hutang budi Ayah? Perjodohan ini nggak masuk akal." Sesungguhnya ia sangat ingin berteriak, tapi yang keluar hanya penolakan setengah mati.
Sampai suatu pagi, penyakit lama Seno kambuh. Ia terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi lehernya. Tekanan darahnya kembali melonjak. Sebuah kondisi hipertensi yang sudah lama menghantui dirinya, nyaris menyeretnya pada serangan stroke ringan. Dokter menyebut pemicunya bukan hal baru, melainkan stres berkepanjangan yang terus menekan. Dan sumber tekanan terbesar itu jelas, berasal dari masalah perjodohan putrinya.
Dalam kondisi lemah di ranjang, tangan kirinya masih tertusuk infus, Seno tetap mengulang-ulang permohonannya, "Temui mereka, Din... Pak Brata dan Mas Rendra..." Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan terakhir.
Wajahnya pucat, tapi suaranya memohon lirih, seolah menggenggam harapan terakhirnya lewat satu-satunya anak perempuan yang ia punya.
Sebenarnya apa yang membuat ayahnya begitu menginginkan pernikahan ini? Apa hanya karena hutang budi? Atau karena prestige? Ia tersinggung kalau hanya dijadikan alat pemuas gengsi.
Dinda berdiri diam di sisi ranjang. Napasnya berat. Ia benci merasa bersalah. Akhirnya, Dinda menyerah. Bukan karena ia setuju, tapi karena hatinya mulai lelah.
"Yaudah," ucapnya pelan. "Dinda mau ketemu mereka. Tapi itu bukan berarti Dinda setuju, ya."
Setidaknya, ia akan mencoba bertemu lebih dulu dengan Brata dan Rendra. Siapa tahu mereka berubah pikiran setelah bicara dengannya.
Dinda berulang kali merutuki nasibnya. Ia belum pernah punya pacar sebelumnya. Ia memimpikan kisah cinta pertama yang indah. Tapi kenapa malah terjebak dengan Casanova dari antah berantah?
Dan dalam diam, Dinda hanya bisa berharap. Jika pernikahan ini memang tidak bisa dihindari, semoga setidaknya masih ada waktu. Jangan dalam waktu dekat. Jangan secepat itu.
...***...
Suatu malam, setelah memberanikan diri berkata "ya" , meskipun setengah hati , Dinda membuka laptopnya. Jarinya ragu-ragu mengetik satu nama.
'Narendra Kusumadiningrat'
Halaman Wikipedia pria itu muncul paling atas. Ia membukanya.
Narendra Mahesa Kusumadiningrat, B.Sc.,MBA. Lahir di Jakarta, 07 Januari 1990. Bachelor of Science in Mechanical Engineering dari Cornell University. Master of Business Administration dari Harvard Business School.
Dinda menelan ludahnya. Bahkan nama kampusnya saja sudah membuatnya ngeri. Ia belum lulus S1, dan pria ini lulus dari Ivy League dua kali.
Direktur Utama Mandhala Group, kapitalisasi pasar gabungan US$42 miliar.
Dinda memelototi angkanya. Ada berapa digit kalau dirupiahkan? Ia berhenti menghitung. Yang jelas banyak. Terlalu banyak.
Di usia dua puluh tujuh tahun dia pernah mendapat penghargaan "Future Leader in Strategic Innovation". Setahun setelah itu, jadi pembicara di forum kebijakan internasional. Forbes 30 Under 30.
Dia luar biasa. Tentu saja.
Dinda membatu. Baru saja tadi sore ia bolak-balik merombak outline skripsinya karena dibantai oleh dosen pembimbing.
Sementara pria ini? Jadi panelis di Jenewa?
Ia menatap foto Rendra yang terpasang di laman profil. Setelan jas navy, tatapan tajam, senyum tipis, wajah sempurna.
Ia hanya bisa meneguk pahit.
Ia sudah tau Rendra bukan orang biasa. Tapi ini seperti menonton dunia lain lewat layar kaca.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa ragu bukan karena takut dijodohkan, tapi karena pertanyaan yang jauh lebih jujur.
'Apa aku bisa berdiri di sampingnya tanpa kelihatan seperti itik buruk rupa?'
Mungkin tidak.
...***...
Gimana bab ini? Dan bagaimana kira-kira pertemuan pertama mereka di bab selanjutnya?? Rendra aku buat dingin atau flirty bagusnya?
Mohon pesan, kesan, dan sarannya ☺️☺️
Komentar sangat berarti untuk membakar semangat penulis meneruskan cerita ini. Trimss 💋🥰🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments